“Tumben kamu mengatakan itu didepan keluarga saya?” tanyaku pada Mas Naren yang saat ini duduk di tepi ranjang seraya memainkan ponselnya. Mas Naren meletakkan ponselnya dan menoleh menatapku, tatapannya seolah menyihirku, dia pria dingin yang menggoda dan menawan, wajar saja hatiku cenat-cenut dibuatnya. Walaupun didalam hati ini masih ada Mas Fikram dan masih banyak harapan untuknya, tapi melihat Mas Naren begitu dekat denganku, aku jadi merasa menjadi istri yang bahagia. Padahal ini hanya sandiwara yang akan berakhir kapan pun tanpa di rencanakan. “Jadi, saya salah mengatakan itu? Bukannya kata kamu, saya harus bersandiwara didepan keluargamu? Pura-pura cemburu juga termaksud, ‘kan?” tanyanya dengan tatapan penuh tanya, mungkin dia mau bertanya kenapa aku jadi plin-plan. Apa yang ku h