PART 8

2507 Words
Nency memasuki kelas dengan wajah ceria, ia berjalan setengah melompat dan tersenyum lebar ketika melihat Elle. Perempuan itu merasa berhasil dengan rencananya untuk membuat Sonia dekat dengan Rei. Bahkan Sonia memujinya habis-habisan karena bisa membujuk Rei untuk mengantar Sonia pulang agar dirinya bisa tahu dimana tempat Rei mengajar nantu. Melihat wajah berbinar Sonia, Nency menjadi lebih bersemangat untuk membantu hubungan adik sahabatnya itu dengan laki-laki pujaaannya. Senyumnya semakin meredup ketika melihat Elle sedang melamun di tempat duduknya. Perempuan itu melihat dengan kosong keluar jendela dengan wajah berkerut tampak mengkhawatirkan sesuatu. Nency yang penasaran apa yang dilihat sahabatnya itu sampai serius seperti itu langsung mendongakkan kepalanya ke jendela dan seketika tampak lapangan basket dimana para anak basket sedang berlatih untuk pertandingan besok. Nency tahu ke arah siapa sahabatnya itu melihat, Langit, laki-laki yang sebenarnya Nency harap Elle menjauhinya. Sejak kejadian dimana Elle mengira Langit sebagai Abra, perasaan Nency tidak tenang beberapa hari. Dia sangat mengkhawatirkan akan terjadi sesuatu pada Elle. "Kamu sedang melihat Langit, ya? Baru sadar kalau dia tampan?" "Tidak juga," jawab singkat Elle sambil memalingkan wajahnya dari jendela kelasnya. Elle melihat Nency duduk di sampingnya dan mengeluarkan buku catatan kimianya juga alat tulis. Ia tahu Nency tidak percaya dengan apa yang ia katakan saat ini. Nyatanya apa yang diucapkan Nency tadi benar. Ia sedang melihat anak-anak basket yang sedang latihan tadi. Ruang kelasnya yang berada di lantai dua dan dekat dengan lapangan basket membuat Elle dapat melihat dengan leluasa anak-anak basket itu dari jendela ini. Elle bukannya melihat Langit, tidak. Ia melihat semua orang di sana. Mulai dari kapten basket yang terlihat galak dan keras terhadap anggotanya, lalu laki-laki dengan seragam bernomor urut sepuluh yang terlihat tersenyum lebar pada penonton yang kebanyakan berisi perempuan kelas sepuluh. Sedangkan Pak Badi, guru olahraga sekaligus pelatih basket yang sedang mengangkat tangannya memberikan perintah sambil sesekali berlari mengikuti pemain di lapangan. Namun tak dapat dipungkiri, mata Elle lebih banyak melihat Langit. Langit yang sedang fokus menggiring bola basket ke gawang lawan dengan lari yang cepat dan dengan lincah menghindari pertahanan dari lawannya. Langit yang sedang mengelap keringatnya dengan kaos basketnya yang membuat kain itu terangkat dan menampilkan perutnya yang sempurna di hadapan para perempuan histeris di kursi penonton. Atau langit yang berlari ke samping lapangan untuk meminum gelas yang terlihat iklan air kemasan di mata para adik kelas di depannya. Sebenarnya yang membuat Elle menatap laki-laki itu dengan lebih dalam adalah karena ada perempuan itu, Selena. Selena dan tiga orang perempuan yang sedang berada di kursi pinggir lapangan, dengan beberapa anak basket lainnya. Mengipasi wajahnya sambil sesekali memberikan semangat kepada seseorang di lapangan, yang Elle kira pasti untuk Langit. Elle benci dengan kehadiran perempuan itu yang membuat hidupnya dan kakaknya hancur dua tahun yang lalu. Ia kenal dengan Selena, tentu saja. Bahkan Elle berpikir ia yang paling tahu sifat Selena di dunia ini. Sifatnya yang tidak mau kalah, ingin memiliki sesuatu secara penuh, manja, kasar, dan yang paling tidak Elle suka adalah ego perempuan itu bahwa ia harus menjadi yang terbaik dan memiliki hal yang terbaik. Meskipun Elle terlambat menyadari, tetapi ia cukup tahu bahwa perempuan itu benar-benar tidak punya hati. Perempuan itu yakin tidak ada yang dapat dibanggakan dari Selena, kecuali satu hal. Dia cantik. Nyatanya satu-satunya hal yang ia miliki itu membawanya menjadi predator puncak di sekolahnya, membuatnya digilai semua cowok di SMA ini yang tanpa peduli dengan kelakuan buruk perempuan itu. Semua perempuan membencinya, tetapi mereka tak cukup berani untuk menghadapinya. Kecuali Nency, tentu saja. Tapi, meskipun dari luar perempuan itu terlihat jahat dan kejam, Elle yang paling tahu betapa rapuhnya hati Selena. Perempuan itu tidak bisa membodohinya karena meskipun mereka sekarang menjadi orang asing, dulu Selena adalah orang yang paling dekat dengannya. Selena adalah salah satu sahabat Elle ketika SMP, dia dan Rami, temannya yang pindah ke luar negeri untuk ikut ayahnya yang duta besar itu adalah orang yang menemani Elle saat itu. Elle menganggap Selena sahabat terbaiknya, dulu, ketika Rami tiba-tiba pergi tanpa memberi kabar. Sahabat yang meskipun Elle tidak dapat mengerti dengan sifatnya, Elle tetap bertahan karena bagaimanapun juga mereka saling ada satu untuk yang lain saat itu. Bagaimana Selena selalu menginap di rumahnya ketika orang tua Selena bertengkar di rumah, bagaimana Selena menghiburnya mati-matian ketika ayah Elle meninggal dunia lima tahun yang lalu. Dan bagaimana Elle selalu menemani Selena ketika ia menangis tersedu-sedu saat seorang laki-laki memutuskan hubungan dengannya. Meskipun kini Elle hanya ingin Selena menjauhinya dan tidak mengganggunya lagi seperti dulu, tetapi di dalam hati Elle ada secuil harapan bahwa kelak, Selena akan kembali padanya dan menjadi sahabatnya lagi. Elle hanya berharap perempuan itu tidak terlalu jauh berubah. Namun ia hanya menipu dirinya sendiri. Selena telah berlari sangat jauh, bahkan untuk melihat jejaknya saja Elle tidak mampu. "Kamu suka dengan Langit?" tanya Nency. "Tidak mungkin. Aku tahu siapa dia, Nen," jawab Elle singkat, ia menatap Nency dengan pandangan lelah. Nency sangat ingin memeluk sahabatnya di saat seperti ini. "Sebenarnya El, aku menyesal karena telah mempertemukanmu dengan dia. Seharusnya aku tetap membuatmu tidak mengetahui keberadaanya. Aku menyesal karena mungkin akan melibatkanmu dengan satu-satunya orang yang kamu benci. Aku lega mengetahui kamu tidak punya perasaan apapun pada laki-laki itu. Dan semoga perempuan itu tidak mengganggumu lagi karena masalah ini. Aku sungguh menyesal," ucap Nency serius dan berhenti sejenak ketika Bu Rahmida memasuki kelas. Setelah memastikan Bu Rahmida tidak memperhatikannya, Nency kembali menatap Elle serius. "Aku tidak mempunyai masalah dengan Langit. Aku hanya tidak ingin kamu kembali terlibat masalah dengan Selena. Sekarang tidak akan ada lagi Abra yang akan melindungi kamu jika itu terjadi." Elle menatap lurus papan tulis, memandang kosong barisan rumus yang di buat guru matematikanya itu. Mengingatkannya pada masa lalunya yang menyakitkan. Dimana dirinya ingin sekali menghapus ingatan itu dari pikirannya. Ia ingin ingatan itu hilang ke dasar lautan dan tidak ada yang menemukannya sampai dunia berakhir besok. Ia ingin semuanya berakhir dan Tuhan mengupas sekelebat memori jahat itu dari hidupnya, agar ia tidak merasakan sakit lagi akibat mengingat sesuatu yang setengah mati ia kubur dalam alam bawah sadarnya. Kejadian dua tahun yang lalu, yang rasanya masih baru terjadi dua hari yang lalu. Karena bagi Elle, kebencian Selena padanya begitu nyata hingga ia tidak bisa melupakannya sedikit pun. "Kamu bangga sudah merebut Julio dari aku? Kamu sudah merasa menjadi ratu sekarang? Kamu merasa berani sekarang???" kata Selena dengan tangannya yang masih di tengkuk Elle, menekan Elle ke bak mandi yang berada di salah satu toilet di sekolahannya. "Sel, kita bisa terlibat masalah lagi dengan Abra kalau kamu terlalu kasar seperti ini. Sudahlah, sebentar lagi orang-orang akan menemukan kita." "Benar. Kita tinggalkan saja dia di sini." "Tidak bisa. Perempuan ini belum merasakan sakit yang aku rasakan. Aku harus memberi pelajaran dengan jalang ini hingga ia benar-benar sadar bahwa dirinya memang perempuan jalang. Beraninya dia dengan wajah munafiknya itu merebut Julio dariku. Dia pikir dia siapa? Siapa? Aku kasih tahu kamu sekarang. Kamu hanyalah anak pungut, El," kata Selena tajam. Ia sekarang membanting tubuh Elle ke dinding kamar mandi, membuat Elle menangis tertahan, padahal Elle berjanji tidak akan menangis di hadapan mantan sahabatnya itu lagi. "Kamu merasa dunia ini telah menjadi milikmu karena Abra selalu melindungimu selama ini? Ingatlah kamu hanya orang asing di keluarga itu. Abra bukan kakak kandungmu. Tidak ada hubungan darah di antara kalian. Kamu pikir selama ini keluargamu menganggap kamu bagian dari mereka? Sadar diri, El. Setidaknya sadarlah kalau kamu tidak pantas menerima kebaikan mereka dengan dirimu yang seperti ini." "Ayo pergi, Sel. Kita sudah terlalu lama menahan perempuan ini di sini." "Selena!" Namun, perempuan di belakang Selena itu hanya mendengungkan suara sumbang di telinga perempuan yang sedang membenci itu. Selena menarik rambut Elle lebih keras lagi hingga kepalanya ikut tersentak ke dinding. Salah satu teman Selena menarik tangan Selena dari rambut Elle, membuat Elle terjatuh ke bawah dengan luka menganga hatinya. Ia menangis dengan keras, merasakan hatinya menjadi beku oleh perkataan Selena tadi. Ia bukan anak kandung keluarganya, Elle tahu itu. Lalu kenapa? Apa ada yang salah? Bahkan keluarganya tak mempermasalahkan ini. Bahkan keluarganya memperlakukannya seperti layaknya putri. Tetapi kenapa perempuan itu mempermasalahkan hal itu sekarang? Apakah persabahabatannya selama tiga tahun ini tidak berarti apa-apa di matanya? Elle melangkah keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang basah. Tidak menghiraukan tatapan anak-anak yang menatapnya aneh. Tidak menghiraukan tatapan anak-anak yang menatapnya kasian. Ia hanya ingin menghilang dari tempat ini sekarang juga. Ia sudah lelah dengan semua ini. Kenapa hanya karena satu perempuan itu, ia harus menanggung sakit seperti ini? "Elle!" Elle memutar matanya. Menemukan seorang laki-laki yang sekarang menatapnya khawatir dengan kedua mata sendunya. Ia mengulum senyum kecil pada laki-laki itu, berharap senyum itu menjelaskan segala, bahwa Elle baik-baik saja. Tetapi nyatanya hal itu tidak membuat raut sedih laki-laki itu hilang dari wajah tampannya. Ia ingin segera berlari dan memeluk tubuh tegak laki-laki yang ada di depannya itu. Menangis dan menangis tanpa memedulikan orang-orang. Ia ingin menghilang, menghilang dari pandangan laki-laki di depannya yang sangat ia rindukan. Ia tidak ingin memperlihatkan sisi lemahnya ini padanya. Namun, ia masih ingin menangis dan air matanya bahkan sudah tidak bisa menunggu lama lagi. Hingga Elle untuk pertama kalinya membiarkan hatinya untuk memilih, memilih untuk berlari meninggalkan laki-laki itu dan melupakan perasaan sepihaknya yang menyakitkan sebelah hatinya ini, atau berlari mendekatinya dan memeluknya untuk merasakan untuk terakhir kalinya aroma laki-laki itu dan menyimpannya dalam ingatannya untuk nanti. Sampai ia berani berjuang lagi dan menunggu lagi, nanti. "Revan..." Seolah pertahanan Elle hancur, ia berlari mendekati laki-laki itu dengan langkah pendeknya. Ia memeluk laki-laki itu, menyesap kehangatan yang ia rasakan ketika berada dalam dekapan laki-laki itu. Dia hancur. Ini bukan karena perlakuan Selena tadi, bukan karena wajahnya memerah karena siksaan Selena tadi, bukan karena tangannya seperti mati rasa ketika Selena mendorongnya tadi, bukan juga karena tubuhnya yang bergetar karena seragam basah yang membuatnya kedinginan ini. Tetapi karena itu adalah Selena. Sahabatnya, satu-satunya orang yang ia percaya selain keluarganya. Jadi Elle harus percaya dengan siapa kalau orang yang sangat ia percayai saja melakukan ini padanya? "Jangan menangis," kata Revan sambil memeluk erat Elle. Merasakan kesedihan perempuan yang ia anggap sebagai adiknya itu dengan pekat. Merasakan betapa hancur perempuan itu. Ia melepas jaket yang ia gunakan, memakaikannya dengan lembut ke tubuh Elle yang kecil dan rapuh. "Salahku apa, Re? Kenapa Selena melakukan ini? Kenapa?" kata Elle di tengah isakan tangannya. Revan menarik Elle keluar dari sekolah menuju mobilnya yang terpakir di luar. Ia tidak ingin Elle menjadi tontonan orang-orang dan membuat keributan yang akan sampai ke telinga Abra. Ia tidak mau sahabatnya itu mengamuk lagi karena hal yang sama. Jujur, itu sangat mengerikan. "Apa kau memberi tahu Kak Abra tentang masalah ini?" Kata Elle sambil menatap sepasang mata Revan yang membuat hatinya luluh, rentan, dan dengan putus asa mengharapkan balasan perasaan dari pemiliknya. Meskipun ia tahu, Revan tidak pernah memandangnya sebagaimana yang ia inginkan. "Abra tidak tahu. Tenang saja," kata Revan lembut, selalu dengan nada lembut seperti itu. Ia mengelus rambut pendek Elle yang basah dan merasakan tubuh Elle menggigil kedinginan di dekapannya. "Ayo kita pulang." Biarlah Elle lebih lama merasakan pelukan hangat Revan. Merasakan tangan besar laki-laki itu di kepalanya. Melupakan kenyataan bahwa laki-laki itu hanya menganggapnya sebagai adiknya, tak lebih. Seharusnya ia tidak serakah dan mengharap lebih. Ia bahkan tidak pantas untuk dicintai siapapun. Tetapi kenapa rasanya sakit ketika merasakan laki-laki itu ada di sampingnya, di pelukannya tetapi tidak bisa dimilikinya. Elle melepas pelukannya, meninggalkan jejak basah di seragam putih Revan. "Jangan beritahu ini pada Kak Abra, aku mohon." "Tidak akan." "Jangan melakukan apa-apa pada Selena," kata Elle sambil menatap mata Revan dengan tatapan memohon. Tahu bahwa Revan tidak akan dengan mudah menuruti permintaannya ini. "Aku tidak bisa berjanji." Air mata Elle keluar tanpa tahu penyebabnya, "Aku mohon, Re. Aku tidak mau kalian membelaku lagi di depan Selena. Aku tahu hal itu yang membuat Selena semakin membenciku selama ini. Aku tidak mau kalian ikut campur. Kamu, maupun Kak Abra." Revan tidak menjawab. Laki-laki itu tetap bergeming, tetap menatap jalanan, mengendarai mobilnya dalam diam. Membuat Elle harus menerka-nerka apa yang ada di pikiran laki-laki itu sekarang. Bibir laki-laki itu terkatup rapat, memperlihatkan rahangnya yang keras dan tajam. Elle tidak banyak mengenal laki-laki dalam hidupnya, tetapi Revan seorang laki-laki berhati lembut. Namun, sekarang ia melihat celah kekerasan di matanya itu. "Re?" "Apa?" "Kamu tahu kalau selama ini aku menyimpan rasa untukmu? Aku menyukai teman kakakku yang selalu tersenyum di depanku, memperlakukanku dengan manis, menatapku dengan teduh, dan merangkulku dengan erat di pelukannya. Aku hanyalah perempuan bodoh, tentu saja aku terlena. Namun, kenapa menyadari bahwa itu hanya bentuk kepedulianmu saja, tanpa ada rasa dan keinginan apa-apa, membuatku bisa sesakit ini. Bahkan aku hanya mengatakan pengakuanku ini dalam hati sambil menatap matamu dalam diam. Karena aku tak sanggup harus menerima penolakan lagi," batin Elle diam. "Tidak - aku hanya minta maaf telah membiatmu basah," kata yang akhirnya di ucapkan Elle dengan senyum pahit yang sempat tak luput dari Revan. Setelah kejadian itu, Elle masih merasakan serpihan-serpihan kaca ketika mengingat kejadian yang telah menjadi masa lalunya itu. Serpihan itu masih di sana, menunggu waktu yang tepat untuk kembali merobek hatinya yang masih terluka. "Aku tahu di balik dirimu yang sekarang, masih ada keretakan yang membekas di hatimu karena masalah dulu. Itu penyebabnya kamu menarik diri selama ini, bukan? Aku tahu kamu masih memikirkan Selena. Itulah kenapa kamu membatasi diri kamu dengan lingkungan di sekitarmu, teman kelas kita, laki-laki yang mencoba dekat denganmu, bahkan mungkin keluargamu sendiri. Sekarang aku tanya, apa kamu juga merasa seperti itu juga kepada Sonia?, Aku tahu kamu mencintai keluargamu, khususnya Sonia, kamu kakak yang baik, tapi kenapa aku merasakan perbedaan sikapmu pada Sonia sekarang dengan waktu pertama kali kita bertemu? Aku tahu kamu sering menyembunyikan perasaanmu dari Sonia. Kamu sembunyi karena kamu tidak sepenuhnya percaya dengan kasih sayang yang mereka berikan untukmu. Kamu takut kenyataan itu akan melukaimu lagi, itulah kenapa aku sering melihatmu dengan tatapan kosongmu itu, El. Seakan kamu sedang tidak berada di dirimu sendiri. Tidak ada yang boleh masuk, bahkan aku sekalipun," ucap Nency yang membuat Elle kembali mematung. Menyesapi setiap kata dan perih yang membuatnya kembali merasakan perasaan terkutuk ini. Nency benar, berapa kalipun ia membohongi dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa dengan kembali memperjuangkan cinta satu-satunya yang ia miliki, ia akan bahagia dan semua akan menjadi lebih baik. Bahwa dengan melupakan masalah keluarganya dan tetap menerima kasih sayang dari keluarganya sekarang, ia akan bahagia dan tidak ada lagi yang bisa menyakitinya. Tetapi Elle melupakan bahwa hal itu bisa menjadi bom untuk dirinya sendiri. Elle dengan sadar melupakan rasanya penolakan dan kenyataan yang pernah membuatnya terjatuh dahulu. Ia telah berbohong pada dirinya sendiri untuk membuat kesempatan bagi hatinya yang rapuh. Apakah itu juga tidak diperbolehkan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD