Rei menatap perempuan di depannya itu. Perempuan yang masih terlihat tak percaya dengan sebuah fakta yang baru ia katakan tadi. Rei tahu, bahkan ketika pertama kali melihat perempuan itu terlihat ketakutan di parkiran tadi, Rei tahu. Hanya saja, ia tidak akan mengira bahwa perempuan itu akan mengingatnya dan membicarakan ini dengannya. Ia perempuan yang beberapa saat lalu membuatnya sedikit kaget karena keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk dan menuduhnya sebagai maling. Perempuan yang membuatnya jatuh dari tangga dan membuat kepala Rei terantuk lantai kamarnya yang keras dan pingsan.
Tidak seharusnya Rei membawa seorang perempuan memasuki wilayah pribadinya seperti ini. Seharusnya ia menyuruh perempuan itu pergi sejak awal. Seharusnya ia bisa lebih tegas membatasi hidupnya. Seharusnya perempuan itu tahu bahwa ini bukan sesuatu yang boleh ia masuki.
"Ya, aku benar, kau tukang AC itu," kata perempuan itu dengan sedikit wajah lega. "Aku ingin minta maaf waktu itu, tetapi kau sudah hilang waktu aku pergi ke dapur mengambil air hangat. Aku minta maaf."
"Tidak apa-apa."
Perempuan itu tampak berpikir. Rei masih dapat melihat kerutan di keningnya ketika perempuan itu mulai memberesi obat-obat yang ia gunakan untuk mengobatinya tadi. Hal itu membuat Rei lebih leluasa mengamati wajah menarik perempuan itu. Melihat gerak-geriknya yang begitu halus dan rentan seperti sebuah permata yang sedikit terbelah ujungnya. Retakan halus yang menghiasi wajahnya yang bersinar sayu meskipun tertutupi oleh untaian rambut hitamnya yang berkilau di cahaya remang kamarnya yang Rei tidak pernah berpikir akan pernah menjadi secantik dan seindah ini.
Perempuan itu menutup kotak putih itu dan membuat kain penuh darah di mejanya ke tempat sampah yang dekat dengan pintu masuk kamarnya. Terpaan angin yang masuk dari jendela kamarnya yang ia biarkan terbuka sepanjang waktu meniup rambut tebal perempuan itu dan membuka silau wajahnya hingga Rei dengan jelas melihat mata perempuan itu untuk sekian kalinya. Bewarna coklat dengan sinar kehijauan yang sejuk dan sedikit lembab. Menyejukkan dan membuat Rei merasa berdosa karena merasakan perasaan indah ini sekarang. Ia takut akan menyukai perempuan itu jika ia bertemu dengannya lagi setelah ini.
"Namaku Rei," tutur Rei memperkenalkan dirinya sendiri untuk pertama kalinya sejak ia lahir.
"Aku Elektra, biasanya dipanggil Elle," jawab Elle sambil mengulurkan tangannya, sebagai etika berkenalan yang diajarkan oleh keluarganya dari kecil. Meskipun sekarang Elle merasa menyesal karena berpikir laki-laki itu tidak akan membalas uluran tangannya. Namun, tangan yang diperban itu terangkat di depan Elle dan menggengam telapak tangan Elle dengan ringkih dan cepat.
"Aku lebih suka panggil kamu Elektra. Boleh?"
Perempuan itu mengangkat bahunya "Tidak ada yang melarangmu."
Suasana di antara dirinya dan Elle menjadi canggung tanpa bisa Rei kendalikan. Namun, entah kenapa, Rei suka dengan perasaan ini, Rei suka ketika perempuan itu dengan malu-malu menatapnya lalu memalingkan wajahnya ketika ia menatapnya balik. Ia menyukai cara perempuan itu duduk diam di tempatnya dengan rambut panjang terurai yang sering ia sisir dengan tangannya ke belakang. Ia menyukai cara perempuan itu tak menanyakan apa yang terjadi padanya dengan kejadian yang pastinya menimbulkan pertanyaan besar di benaknya itu.
"Kamu benar-benar tinggal sendiri?" tanya Elle tanpa berani menatap Rei. "Apa tidak apa-apa kalau aku meninggalkanmu sendiri dengan keadaan seperti ini nanti?"
Rei tersenyum kecil, senyum pertamanya hari ini."Tidak apa-apa. Aku bukan anak kecil."
"Baiklah," kata Elle singkat, walaupun dalam hatinya ia mengharapkan ada seseorang yang menemani laki-laki itu ketika ia pergi nanti. "Kalau boleh tahu, keluargamu dimana? Apakah tidak lebih baik kamu menghubungi keluargamu? Atau mereka sedang tidak tinggal di kota ini?"
Rei menatap Elle kosong, membuat Elle sedikit tidak nyaman dengan pandangan baru itu. "Aku tidak punya keluarga."
Elle menatap Rei dengan alis berkedut. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ia mengurungkan niatnya mengetahui ia sekarang hanya orang asing di mata Rei. "Maaf."
Rei mengangguk pelan lalu berdiri. "Sebaiknya kamu pergi sekarang. Aku akan memanggilkan taksi."
"Tidak perlu, aku naik bis saja." Elle yang merasa kehadirannya tidak diharapkan lagi segera mengambil tasnya yang tergeletak di meja lalu berjalan menjauh dari laki-laki itu. "Sampai jumpa, Rei."
Saat itulah, Rei merasa ada yang mengganjal di hatinya ketika melihat perempuan itu pergi. Ia ingin mencegah, menggenggam tangannya, tak ingin perempuan bermata besar itu pergi. Tetapi ia hanya mematung di tempat, hati terdalamnya sedikit berharap ia akan bertemu dengannya lagi. Atau sebenarnya, ia tidak mau bertemu dengan perempuan itu lagi. Karena ia tahu itu bukanlah hal yang baik.
Rei menatap ponselnya yang bergetar di meja. Melihat nama Derren terpampang di layar kacanya.
"Halo?" Kata Rei pelan.
"Rei? Kamu baik-baik saja? Kamu dimana sekarang?" Rei mendesah pelan mendengar runtutan pertanyaan dari sahabatnya itu.
"Aku baik-baik aja. Aku ada di apartemen, kamu tidak perlu ke sini."
"Sialan, orang-orang berengsek tadi mengirim video waktu mereka menyerangmu ke Seji. Sekarang dia sedang marah berat," kata Derren yang hanya di balas dengan desahan pelan oleh Rei. "Kamu benar-benar tidak apa-apa? Aku lihat si b******k Theo membawa pisau tadi. Bagaimana keadaan tanganmu?"
"Aku baik-baik saja, Der. Bilang ke Seji untuk tidak melakukan hal gila lagi."
"Kali ini mereka udah keterlaluan, Rei. Kita bisa lawan mereka kalau kamu mau. Kita punya banyak anggota daripada mereka. Kita kuat," ucap Derren. Ya, kita kuat tetapi kita tidak mempunyai kekuasaan. Itu hal yang berbeda, Der.
"Tidak. Ini masalah pribadi. Kalian tidak perlu ikut campur." Rei membuka lemari esnya, mengambil satu kotak s**u kotak rasa strawberi yang bagian bawahnya sedikit membeku. Ia tersenyum singkat, bahkan ia belum bisa lepas dari minuman ini.
"Ini bukan lagi masalah pribadi jika sudah menyangkut keselamatan anggota, Rei. Mereka sekarang bukan main-main lagi. Seji tidak akan tinggal diam melihatmu diperlukan seperti ini. Begitu pula aku, Reon, Zero, Tegar, dan yang lain pasti juga merasa seperti itu. Masalah ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi."
"Dengar, aku tidak akan senang atau mengucapkan terima kasih jika kalian melakukan serangan balik. Aku hanya ingin kalian mengerti bahwa masalahku ini tentang uang. Jangan sampai masalah sepele seperti ini merusak apa yang selama ini dibangun Seji dan kalian semua," kata Rei sambil membuang kotak s**u yang sudah habis itu di tempat sampah. Mengerang pelan saat tangan kirinya menyenggol ujung kursi makan.
"Aku hanya tidak ingin kamu terluka karena besok minggu akan ada pertandingan besar."
"Kamu tahu itu tidak akan terjadi."
"Jangan terlalu percaya diri, Rei. Ini Kenzie. Dia orang yang paling ingin kamu mati di dunia ini." Ucap Dereen dengan nada serius. Rei hanya tersenyum kecil, raut wajahnya gelap dan tak tersentuh. Apa yang dikatakan Derren tidak benar.
"Aku tahu siapa orang yang paling ingin aku mati, Der. Dan itu bukan Kenzie," ucapnya pelan, menyiratkan kesedihan yang mendalam di setiap katanya. "Jadi kamu tenang saja."
Tanpa menjawab Derren, Rei mematikan ponselnya. Ia meletakkan kepalanya di sandaran sofa di belakangnya. Merasakan wangi bunga mawar yang tertinggal dari perempuan itu di sana.
***
Rei mengeratkan hoodienya lebih dalam menutupi wajahnya. Ia melihat anak-anak yang melewatinya menatapnya dengan heran, namun itu tidak cukup mempengaruhi seorang Rei. Di lingkungan sekolahnya memang tidak boleh memakai pakaian selain pemberian dari sekolah, Rei tahu itu. Tetapi nyatanya tidak ada yang menegurnya sampai saat ini. Tidak ada yang membentaknya, menghukumnya, dan menyuruhnya untuk membersihkan lantai kamar mandi seperti anak lain ketika melanggar peraturan. Karena tidak ada yang berani melakukan itu.
Rei anak kebanggaan sekolah. Bahkan kepala sekolah menurunkan nada bicaranya yang tinggi ketika berbicara dengan Rei. Rei bukan dari keluarga kaya penyumbang uang tertinggi di sekolahan swasta ini, ia juga bukan anak seorang pejabat tinggi atau ketua yayasan apapun. Ia hanya seorang murid yang sering menyumbangkan piala bergengsi ke sekolahan ini. Murid yang memberi sekolahan ini sebuah kebanggaan yang jarang didapatkan sekolah-sekolah lain. Itulah mengapa seisi sekolah ini membiarkannya layaknya seorang raja. Atau orang asing? Karena itu yang ia rasakan saat ini.
Sekolah, seperti biasa membosankan. Ia harus bangun pagi-pagi, berdiri di depan kaca untuk menyamarkan bekas lukanya agar tidak membuat gempar isi sekolahnya karena menemukan murid teladan di sekolah itu berwajah berantakan oleh memar dan goresan benda tajam yang jelas seperti akibat perkelahian. Bagi Rei, sekolah hanyalah tempat Rei berharap, berharap dengan melakukan semua ini, ia akan mendapatkan tiket untuk melanjutkan hidupnya dengan lebih baik. Ia berharap mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Di manapun itu asal ia bisa pergi dari tempat ini selamanya.
"Kak Rei?"
Rei mengangkat alisnya menatap perempuan berambut pendek sedikit ikal di depannya itu. Seorang perempuan berkacamata menatapnya ragu-ragu sambil membawa sebuah buku tebal bewarna hijau.
"Bisa membantuku menyelesaikan soal ini?" ucap perempuan itu sambil menunjuk sebuah soal di buku yang ia pegang. Namun, Rei tetap memandang perempuan itu datar, ia tidak yakin mengenal perempuan yang di seragamnya tertulis Zeira Paramitha itu sebelumnya.
"Aku anak kelas sepuluh. Anggota klub olimpiade fisika yang baru. Bu Henna menyuruhku untuk bertanya pada Kakak kalau ada kesulitan," kata perempuan itu dengan nada formal yang membuat Rei jengah. Rei tahu anak itu berbohong, Bu Henna, guru pembimbingnya itu cukup tahu bahwa Rei bukan tipe orang yang mau bersusah payah mengajari seseorang. Dan Rei sudah mengatakan pada Bu Henna dengan jelas ketika memasuki klub olimpiade sekolah ini, bahwa dirinya tidak akan bersikap seperti anak lain dan jangan mengharapkannya untuk menjalin kerjasama atau bersikap ramah dengan anak-anak lain. Rei tahu Bu Henna sudah paham selama ini dan dengan baik menjaganya dari pertanyaan guru-guru maupun teman-temannya.
"Maaf, aku tidak bisa membantu. Lebih baik kamu meminta bantuan kepada Rena, anak kelas XI IPA 1. Dia satu tim denganku kemarin. Aku harus pergi sekarang."
"Tetapi, Kak, aku-"
"Aku pergi." Rei baru saja melangkahkan kaki panjangnya ketika perempuan itu menarik jaketnya, hingga pelindung kepala jaketnya turun dari wajahnya. Rei cukup tahu reaksi perempuan itu ketika melihat wajah Rei sekarang, yang meskipun ia mati-matian menutupinya tadi, tidak terlalu berpengaruh pada ujung matanya.Perempuan itu menatap wajah Rei kaget, terutama ketika melihat ujung mata Rei yang masih membengkak merah, semakin parah. "Mata kakak kenapa?"
"Bukan urusan kamu," ucap Rei sambil melepaskan dengan kasar pegangan perempuan itu dari jaketnya.
"Sebentar," Perempuan itu terlihat menyapukan matanya ke sekelilingnya yang sepi. "Aku cuma ingin mengatakan kalau aku suka pada Kakak. Dari pertama kali melihat kak Rei di kelas waktu itu," lanjut perempuan itu sambil menutup matanya, tak mampu melihat mata Rei.
"Jangan menghabiskan waktumu untuk hal yang tidak berguna seperti menyukaiku. Aku tidak suka denganmu, dari awal saat bertemu denganmu tadi, dan aku yakin seterusnya juga akan seperti itu. Maaf," balasnya telak, sudah terbiasa dengan kata-kata yang sering ia ucapkan pada perempuan-perempuan yang berani mendekatinya. Membuat perempuan itu membelalakkan matanya kaget.
Rei meninggalkan perempuan berkacamata yang menatapnya sedih itu dan melangkahkan kakinya menuju perpustakaan. Tak ada tempat lagi untuk sebuah drama baru di kehidupannya saat ini. Langkah kakinya berhenti ketika ia melihat lapangan basket yang tidak pernah ia pedulikan itu ramai oleh orang-orang kurang kerjaan yang berteriak-teriak di tengah teriknya matahari siang yang sangat panas itu. Rei melihat para anak-anak basket kelas dua belas itu bermain melawan SMA lain yang Rei tidak tahu namanya karena ia berdiri terlalu jauh. Dengan sedikit penasaran, Rei mendekatkan dirinya ke sebuah kawat-kawat besi yang membatasi lapangan basket dan jalan setapak yang ia lewati tadi. Melihat beberapa wajah tak asing kakak kelasnya yang dari tadi mendapat teriak dari para perempuan yang menontonnya. Mereka melihat anak-anak basket itu dengan tatapan memuja yang membuat Rei muak.
Kenapa perempuan selalu menilai seseorang dari penampilannya? Bukankah perempuan tadi juga menyukainya karena penampilan luarku? Karena kalau dia tahu seperti apa aku sebenarnya, dia tidak akan berani mengatakan hal itu kepadaku.
"Rei!"
Sebuah suara perempuan membuat Rei mengalihkan penglihatannya pada dua orang perempuan yang sedang menatapnya saat ini. Ia mengenalnya, perempuan yang berambut pendek itu adalah perempuan yang menemuinya di perpustakaan beberapa hari yang lalu.
"Hai, kamu masih ingat aku, tidak?" tanya perempun itu yang mendapatkan anggukan singkat dari Rei. "Kamu tidak menjawab pesanku kemarin, jadi aku harus menemuimu untuk membicarakan perjanjian kita secara langsung. Kuharap kamu tidak berubah pikiran," ucap Nency dengan sedikit berteriak karena suasana lapangan yang ramai. "Namaku Nency kalau kamu lupa karena waktu itu kita begitu asik membahas harga buku fisikamu itu. Kenalkan juga, ini Sonia, dia adik seseorang yang akan kamu ajar nanti. Kebetulan tadi aku ketemu dia saat jalan ke sini."
Rei menatap perempuan berambut hitam lurus berkacamata bundar yang bernama Sonia itu. Sonia mengulurkan tangannya dengan wajah semangat, lalu dengan sedikit berat hati, Rei menerima uluran itu. Rei heran ketika Sonia belum juga melepaskan jabatan tangan mereka, hingga perempuan bernama Nency itu bersuara.
"Heh, sadar kamu," bisik Nency yang masih dapat di tangkap oleh Rei. Lalu, Sonia melepaskan jabatan tangannya dengan wajah cemberut sambil terus melihat Rei dengan tatapan memuja. Mengingatkan Rei dengan tatapan perempuan yang ia ia temui tadi dan tatapan para perempuan di kursi penonton itu, tetapi perempuan itu sedikit lebih berani dan percaya diri.
"Jadi gimana, Rei?"
Rei mengerutkan kening, berpikir sebentar. Ia memang sangat membutuhkan uang saat ini. Sangat banyak. Tetapi apakah ia harus rela berurusan dengan perempuan yang menatapnya memuja itu hanya untuk mendapatkan uang? Jawabannya adalah iya. Karena baginya saat ini, uang adalah segala yang ia butuhkan saat ini. Rei bahkan tidak peduli jika perempuan itu sedang mencoba mendekatinya.
"Jadi, mulai kapan aku bisa bekerja untuk kakakmu?"