Prolog
284 Words
Zakiya harusnya merasa bahagia karena saat ini orang yang menjadi tembok penghalangnya dalam menggapai impian tertingginya akan pergi. Benar-benar pergi meninggalkannya.
Entah akan kembali atau tidak. Kalau pun kembali, Zakiya rasa sudah ada tangan lain yang menggandeng laki-laki itu. Ia tersenyum. Ia akan bahagia juga setelah ini. Tapi, kenapa hatinya menjadi pilu dan sakit? Kenapa ia merasa akan kehilangan sesuatu yang besar, seolah itu adalah bagian dari hatinya?
Pria yang sedang menggengam koper biru tua itu tersenyum lebar. Sama lebarnya ketika membuat ia kesal dan marah saat membuatnya repot. Kenapa hatinya bergetar melihat senyum itu?
Lelaki itu berjalan menuju Zakiya. Tanpa kopernya. Zakiya merasa senang tapi kebahagiannya tiba-tiba terhempas ketika ingat bahwa pria itu tidak akan lagi berjalan menujunya. Tidak akan pernah lagi.
"Mbak, saya pamit ya. Jaga diri baik-baik." Laki-laki itu berdiri didepan Zakiya, tangannya bergerak mengelus surai hitam itu. Hati Zakiya tergugu saat mendengar panggilan yang selalu ia benci itu. Dan, hatinya merasa benar-benar kosong ketika laki-laki itu mentakan kata 'pamit'.
"Kalo nanti Mbak mau menika...." Pria itu menahan nafasnya. Tangannya yang semula mengelus rambut hitam itu berhenti, membuat Zakiya merasa kehilangan. "Jangan lupa ngundang Aku ya, Mbak. Aku pasti datang!" ujar pria itu sambil terkekeh.
"Entah sendiri atau berdua, Mbak..." kelakar laki-laki itu mencoba mencairkan suasana.
Sembari menarik nafas panjang laki-laki itu membalikan tubuhnya ketika merasa akan ada air mata yang akan melesat dari matanya. "Aku pamit, Mbak." dan aku cinta sama Mbak.
Laki-laki itu pergi.
Benar-benar pergi meninggalkannya.
Haruskah ia bahagia?
Tapi, kenapa harus sesakit ini?!
Zakiya menepuk-nepuk dadanya, hatinya pedih, matanya sudah basah dengan air mata. Harusnya lelaki bodoh itu menghiburnya saat ini, seperti yang sudah-sudah. Tapi, kenapa laki-laki itu pergi ketika ia sudah mencintainya?
"Saya cinta kamu, Zhafif...."
- Writer
