Mbok Darmi yang tidak dapat menahan air matanya segera menghentikan ceritanya. Hal itu semakin membuat Maura penasaran, ia benar-benar ingin tahu tentang masa lalu suaminya itu.
“Lalu apa yang terjadi pada Zia, Mbok.”
“Nona Zia meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat akan mengantarkan undangan pernikahan ke rumah saudaranya.” Mbok Darmi berusaha melanjutkan ceritanya.
“Jadi pernikahan mereka batal karena Zia meninggal dalam sebuah kecelakaan,” ucap Maura dengan lirih.
“Benar, Non. Padahal pernikahan mereka akan dilangsungkan satu minggu lagi, dan sejak saat itu Tuan Dewa menutup rapat-rapat hatinya. Ia seakan masih berpikir jika Nona Zia akan datang menemui dan menjadi istrinya.”
Ya Allah, jadi luka yang dia pendam selama ini begitu berat, pantas saja dia selalu bersikap dingin pada semua perempuan.” batin Maura dengan tatapan kosong.
“Tapi semua berubah saat Nona Maura hadir dalam kehidupan Tuan Dewa, Mbok lihat dia sudah menemukan dunianya. Dia juga sangat mencintai Non Maura, bahkan melebihi Nona Zia.” Mbok Darmi mengusap air matanya yang sejak tadi tumpah begitu saja.
“Enggak, Mbok dia tidak mencintaiku. Aku yakin dihatinya masih Ada Zia.” Maura menunduk sedih, rasa bersalah dalam hatinya begitu besar. Pasalnya selama ini sudah menganggap Dewa sebagai bujang tua yang tidak laku-laku.
“Nona salah. Tuan Dewa sangat mencintai, Non Maura.”
Mbok Darmi mulai menceritakan kejadian beberapa bulan yang lalu. Bagaimana Dewa merawat Maura yang sedang sakit. Bahkan tanpa sepengetahuan Maura, sebenarnya Dewa ‘lah yang selalu membuatkan s**u hangat untuknya. Tidak hanya itu, Dewa juga selalu mengecek makanan di dalam lemari es. Dia seolah tidak ingin Maura dan bayinya kekurangan gizi.
“Jadi, selama ini dia ….”
“Benar, dia adalah orang yang merawat Non Maura. Bukan Mbok,” ucap Mbok Darmi. “Non, Mbok mohon jangan sakiti Tuan Dewa, sudah cukup dia merasakan sakit hati karena kehilangan, Nona Zia. Sekarang biarkan dia bahagia hidup dengan Nona.” Mbok Darmi langsung memotong ucapan Maura.
Ya Allah, jadi selama ini dia begitu perhatian padaku dan Albert.” Ia membatin sambil berdiri dari tempat duduknya. Tanpa terasa air matanya mulai menetes.
“Sayang, ternyata kamu di sini. Aku sejak tadi mencarimu kemana-mana.” Tiba-tiba Dewa sudah berada di dalam kamar. Mbok Darmi dan Maura segera mengusap air mata mereka.
“Iya, ada apa. Mas? Apa ada yang bisa aku bantu.”
“Kamu nangis, kenapa? Apa ada masalah, atau mungkin kamu sedang sakit. Katakan saja, atau gini saja kita ke Dokter sekarang. Ya.” Wajah Dewa langsung panik saat melihat air mata yang jatuh dari kedua mata Maura. Kini pria itu duduk di hadapan Maura sambil memeriksa setiap lekuk tubuh istri kesayangannya itu.
“Aku nggak apa-apa. Mas, aku hanya bahagia karena aku bisa mempunyai suami sebaik kamu.” Maura berusaha tersenyum di hadapan Dewa, walaupun sebenarnya hatinya masih merasa bersalah.
“Kamu yakin. Kamu bisa kok mengantarmu ke Dokter.”
“Enggak usah, Mas. Aku baik-baik aja kok,” jawab Maura yang langsung mengusap pipi Dewa dengan lembut.
Mbok Darmi yang merasa tidak enak segera berdiri dari tempat duduknya dan langsung sedikit membungkuk di hadapan Dewa dan Maura.
“Tuan, Nona. Saya permisi dulu, karena ada pekerjaan yang harus saya kerjakan.”
“Oh, iya. Mbok,” Dewa langsung menoleh ke arah Mbok Darmi. “Oh ya, Mbok. Tolong jaga Albert di kamarnya sebentar, karena aku haris mengobati Maura sebentar.” Perintah Dewa yang langsung dijawab anggukan oleh Mbok Darmi.
Setelah berpamitan, wanita paruh baya itu segera meninggalkan Maura dan Dewa berdua di dalam kamar. Ia yakin Maura akan menanyakan tentang apa yang baru saja diketahuinya.
“Mas, duduk sini sebentar. Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu!” ucap Maura sambil menepuk tempat tidurnya dengan perlahan.
“Ada apa. Katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku.” Dewa langsung berdiri dan segera duduk di samping sang istri. Pria itu terus menggenggam tangan Maura dengan erat.
“Apa kamu ingat dengan Zia?” tanya Maura sambil menatap mata Dewa dengan lekat. Ia berharap jika pria itu kali ini bisa bicara dengan jujur tentang sosok Zia.
“Kamu tahu dari mana nama itu, apa Mbok Darmi yang mengatakan hal itu padamu.” Pria itu langsung melepaskan genggaman tangannya dan segera berdiri dari tempat duduknya. “Jangan bahas masalah itu lagi, lebih baik sekarang kita turun untuk menikmati makan siang.”
Dewa segera berjalan ke arah pintu. Namun, dengan segera tangan Maura memegang tangan sang suami.
“Kenapa kamu nggak mau menjawab pertanyaanku, apa kamu masih mencintai Zia.”
“Aku nggak mau bertengkar denganmu, lagi pula enggak ada yang perlu kamu ketahui tentang Zia. Jadi sebaiknya lupakan nama itu dari pikiranmu,” jawab Dewa tanpa menoleh ke arah Maura yang masih duduk di tempatnya.
“Mas! Aku hanya ingin tahu siapa Zia, aku hanya ingin mengenalnya. Itu saja!” bentak Maura yang langsung berdiri.
“Apa yang ingin kamu ketahui tentang dia! Kamu kamu ingin tahu seberapa besar aku mencintainya, atau kamu ingin membandingkan perasaan ku padamu dan pada Zia.” Dewa langsung menoleh ke arah Maura sambil berteriak dengan kencang. Mata pria itu kini terlihat begitu tajam saat menatapnya.
Kamar itu kini menjadi sepi, mereka terlihat diam dan hanya saling menatap. Maura merasa yakin jika perasaan Dewa masih utuh untuk Zia, walaupun kini pria tampan itu sudah menjadi suaminya secara utuh. Tetapi tidak menutup kemungkinan hatinya masih merasakan cemburu dengan seorang wanita yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
“Mas. Aku hanya ….”
“Aku harap kamu nggak menanyakan dia lagi, karena memang nggak ada yang perlu ditanyakan atau dibicarakan tentang Zia di kehidupan kita saat ini.” Dewa langsung memotong ucapan Maura. Ia juga segera melepaskan tangan Maura dan segera keluar dari kamar itu.
Sementara itu Maura yang masih di dalam kamar langsung terduduk di tempat tidur. Entah kenapa hatinya kini merasakan sakit yang luar biasa. Entah karena cemburu, atau karena ia dapat merasakan bagaimana perasaan Dewa saat kematian Zia beberapa tahun yang lalu.
Sesaat ia membayangkan bagaimana rasanya menjadi Dewa saat itu. Mencintai seseorang dengan cukup dalam, dan kegagalan pernikahan yang dikarenakan sebuah kematian. Sebenarnya dia tahu sesakit apa perasaan Dewa saat itu, karena ia juga mengalami kegagalan dalam pernikahan. Tetapi bedanya Dewa gagal karena kematian, sedangkan Maura gagal karena sikap pengecut Marko yang nekat melarikan diri di hari pernikahan mereka.
“Bagaimana mungkin aku bisa melakukan kebodohan ini, lagi pula bagaimana bisa aku cemburu pada orang yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.” Omel Maura pada dirinya sendiri. Perlahan tangannya mulai meremas sprei tempat tidurnya.