“Mbok. Kenapa diam, apa selama aku nggak di sini Mas Dewa membawa perempuan lain ke rumah ini.” Maura memandang wajah Mbok Darmi yang terlihat gugup. Sebenarnya bukan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Dewa. Namun, ia paham jika pria berumur seperti suaminya pasti akan sangat merindukan seorang wanita.
“Nggak, Non. Tuan Dewa tidak membawa wanita ke rumah ini, dia hanya mencintai Nona Maura sama seperti dia mencintai Nona Zia.”
Sambil berdiri dari tempat duduknya, dan memandang wajah gugup Mbok Darmi.
“Zia. Siapa dia, apa dia kekasih gelap Mas Dewa selama aku nggak di sini. Apa mereka —”
“Bukan, Non. Nona Zia hadir jauh sebelum Non Maura bertemu dengan Tuan Dewa, hubungan mereka juga bukan hanya sebagai seorang kekasih.” Wanita itu perlahan memberanikan diri menatap Maura yang berdiri di hadapannya. Wajah Maura kini terlihat begitu bingung, pasalnya yang ia tahu selama ini adalah Dewa adalah seorang pria berumur yang tidak memiliki kekasih, bahkan menikah.
“Jadi dia sudah pernah menikah,” ucap Maura dengan lirih. “Mbok, bisa tolong ceritakan padaku siapa dan seperti apa Zia. Serta, kenapa mereka berdua bisa berpisah.”
Maura memegang tangan Mbok Darmi, dapat dibaca dari kedua mata Maura jika saat ini ia sangat berharap Mbok Darmi mau bercerita tentang masa lalu Dewa. Sesaat Mbok Darmi memperhatikan Maura yang masih berdiri di hadapannya.
“Aku mohon, Mbok. Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan Mas Dewa dan Zia.”
Perlahan Mbok Darmi langsung menggandeng tangan Maura dan mengajaknya untuk duduk di tempat tidur. Ia mulai menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
“Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat Tuan Dewa berusia dua puluh tujuh tahun. Dia memiliki seorang kekasih bernama Zivanna Maria, dan kami biasa memanggilnya dengan Zia.” Mbok Darmi seolah mengingat kejadian yang sempat ia lupakan selama ini.
“Lalu, kenapa Mas Dewa masih sendiri. Apa mereka bercerai?” tanya Maura yang semakin penasaran dengan siapa Zia.
Sepuluh tahun yang lalu, Dewa yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2 nya menjalin hubungan dengan seorang wanita cantik dan lembut bernama Zivanna Maria. Ia adalah seorang gadis keturunan Cina yang beragama Islam, sekaligus putri kedua dari seorang pengusaha besar. Keduanya saling mengenal saat masih berkuliah di tempat yang sama walaupun dengan jurusan yang berbeda.
“Halo, Sayang!” teriak Zia sambil melambaikan tangannya ke arah Dewa yang saat itu sedang berjalan bersama dua temannya.
Zia adalah sosok wanita yang ceria, cantik dan baik. Bahkan wanita itu begitu sangat menghormati orang tua Dewa, jadi tidak heran jika utami begitu sangat menyayanginya.
“Halo, Zi. Siang ini kamu masih ada mata kuliah?” tanya Dewa yang sudah berdiri di hadapan kekasihnya itu. Wajah gadis itu begitu cantik dan sangat enak dipandang.
“Sepertinya nggak ada, karena Dosen mata pelajaran siang sedang ada di tempat yang lain, memangnya kenapa.”
“Enggak sih, aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Dan kebetulan juga sekarang ada film baru yang diputar di bioskop, kata Bimo dan Surya filmnya bagus. Makanya aku ingin mengajakmu kesana, bagaimana kamu mau ‘kan.” Dewa terus memandang wajah cantik kekasihnya sambil terus tersenyum.
“Ehm … boleh, tapi kamu yang traktir aku ya.” Zizi tertawa sambil memukul pundak Dewa dengan perlahan.
“Boleh, nanti aku akan traktir apapun yang kamu mau.” Pria itu mencubit hidung Zia dengan lembut. Kasih sayang Dewa pada Zia sangat begitu jelas terlihat, bahkan keduanya sering sekali terlihat bersama. Bisa dibilang, dimana ada Zia di situ pasti ada Dewa.
Keduanya akhirnya berjalan ke arah mobil Dewa dan segera berangkat ke bioskop. Hubungan antara Dewa dan Zia tidak romantis seperti film korea, Zia yang memiliki sifat tomboy selalu memperlakukan Dewa layaknya seorang sahabat, begitu juga sebaliknya. Sepanjang perjalanan dari dalam mobil itu terdengar suara alunan lagu jazz yang menjadi favorit mereka berdua.
Tidak berapa lama, keduanya akhirnya tiba di sebuah pusat perbelanjaan ternama di Jakarta. Dewa yang sejak tadi merasa lapar segera mengajak sang kekasih untuk berjalan ke arah food court yang ada di lantai empat pusat perbelanjaan itu.
“Kamu mau makan apa, Zi.” Dewa menyerahkan daftar menu pada gadis yang ia cintai. Sesaat Zia melihat ke arah buku menu, hingga akhirnya ia memesan seporsi kentang goreng dan segelas s**u coklat dingin.
“Sudah aku tebak, kamu pasti mencari menu itu,” ucap Dewa sambil melirik ke arah Zia dan tersenyum kecil. Ia sangat hafal apa saja makanan favorit Zia dan apa saja yang sangat dibenci gadis itu, termasuk apa yang menjadi ketakutannya selama ini.
“Kalau kamu tahu kenapa kamu memintaku memilih? Kenapa nggak kamu pesan saja sendiri.” Zia menyangga kepalanya dengan kedua tangannya sambil menatap wajah tampan Dewa yang masih sibuk memilih menu makanan.
“Aku hanya ingin tahu seberapa cinta kamu pada makanan itu, dan sepertinya kamu sangat mencintainya daripada aku.” Dewa menjawab sambil tersenyum pada sang kekasih. Ia jua menyerahkan buku menu pada seorang pelayan yang sejak tadi berdiri di dekat mereka.
“Tentu aku sangat mencintai makanan itu, melebihi cintaku kepadamu.”
Dewa mulai mendekatkan wajahnya ke arah Zia.
“Jadi kamu lebih memilih kehilangan aku daripada makanan itu.”
“Enggak, aku jauh lebih takut kehilangan kamu.” Zia tersenyum ke arah Dewa yang wajahnya hanya berjarak beberapa centi darinya.
“Itu artinya kamu lebih mencintai aku, beginilah nasib pria tampan yang selalu menjadi idola banyak wanita.” Pria itu mulai menyombongkan diri. Zia seketika tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Dewa.
“Aku takut kehilangan kamu bukan karena cinta, tapi karena aku takut nggak ada lagi yang mentraktirku makan dan nonton bioskop.”
“Dasar, awas kamu ya.” Dewa memukul jidat Zia dengan sangat perlahan, hingga membuat gadis itu semakin tertawa dengan kencang.
***
Waktu berlalu dengan begitu cepat, Zia dan Dewa akhirnya berhasil menyelesaikan S2 mereka. Dan Dewa juga sudah melamar Zia bersamaan dengan acara wisuda mereka beberapa bulan yang lalu. Pernikahan mereka juga sudah mulai disiapkan, sebagian undangan juga sudah disebar.
“Dewa! Dewa.” Utami yang awalnya berada di halaman depan langsung berlari masuk ke dalam rumah dengan panik.
“Ada apa, Ma. Apa ada hal yang penting sampai Mama terlihat begitu panik.” Alex yang duduk di sofa sambil menyaksikan siaran televisi menoleh ke arah Utami. Wanita itu berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
“Iya, ada apa sih. Ma? Bikin penasaran aja.” Dewa menoleh ke arah Utami dengan heran, tidak biasanya sang ibu terlihat sepanik hari ini.
“Zia. Zia, Dewa.” Wanita itu hanya mampu mengucap nama Zia dengan nafas yang masih tak beraturan.
“Zia! Ada apa dengannya, Ma. Apa yang terjadi padanya?” tanya Dewa yang mulai ikut khawatir.
“Kamu bicara saja sendiri.” Utami menyerahkan ponselnya pada Dewa. Pria itu langsung mengambil ponsel Utami dan segera menempelkannya di telinga. Tidak berapa lama ponsel itu terjadi bersamaan dengan tumbangnya tubuh Dewa.
“Kenapa harus sekarang, kenapa harus aku.” Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Dewa saat ini.