Kini kedua bibir itu telah bertaut satu sama lain. Dewa yang sudah tidak dapat menahan hasratnya perlahan mulai melakukan sentuhan di setiap tubuh Maura yang terlihat memejamkan mata.
"Aku sangat merindukanmu, Marko."
Dewa yang tersadar jika hubungan yang dilakukannya hanyalah sebuah pelampiasan Maura atas kerinduannya pada Marko langsung menghentikan aktivitasnya.
"Rupanya dia masih berpikir aku adalah pria b******n itu." Gumam Dewa dalam hati.
"Kenapa kamu berhenti? Apa kamu nggak mencintaiku." Wajah gadis yang ada di hadapannya langsung terlihat bingung.
"Istirahatlah, aku akan keluar sebentar." Dewa langsung membaringkan tubuh Maura di tempat tidur. Ia terlihat begitu kecewa dengan apa yang baru saja di dengarnya.
"Nggak! Aku nggak mau, kamu nggak boleh pergi dari sini. Aku masih merindukanmu, Sayang." Maura menarik tangan pria tampan itu agar mau memeluk tubuhnya.
"Istirahatlah, Maura. Aku nggak mau terjadi sesuatu dengan anak di dalam kandunganmu, aku janji akan menjagamu di sini." Dewa menatap kedua mata gadis itu dengan lekat. Wajah gadis di hadapannya itu kini terlihat benar-benar cantik.
Apa mungkin aku sudah jatuh cinta pada gadis ini, atau ini hanya perasaan sesaat." Batin Dewa yang terus memandang wajah Maura.
Setelah membaringkan tubuh Maura di atas tempat tidur. Perlahan mata wanita itu mulai terpejam sambil terus memegang tangan Dewa.
***
Pagi hari, Dewa yang baru saja dapat memejamkan mata di samping Maura tiba-tiba terkejut saat sebuah tangan menyentuh pundaknya.
"Mbok Darmi." Ia terlihat terkejut sambil mengusap matanya yang masih terasa berat.
"Tuan, istirahat saja di kamar. Biar Non Maura, Mbok yang menjaganya di sini." Wanita paruh baya itu menatap Maura dengan iba.
Mbok Darmi adalah seorang wanita paruh baya berusia 67 tahun. Hampir 40 tahun ini ia mengabdikan dirinya bekerja di keluarga Atmaja, saat itu ia memulai pekerjaannya sebagai seorang pengasuh saat Dewa baru saja dilahirkan.
Bahkan saat Marko memutuskan untuk keluar dari rumah orang tuanya. Mbok Darmi adalah orang satu-satunya yang rela menemani Dewa di masa sulitnya seperti sekarang. Walaupun dengan upah yang relatif lebih rendah daripada sebelumnya.
"Apa Mbok yakin?" tanya Dewa dengan perasaan ragu.
"Tuan tenang saja, saya akan menjaga Non Maura seperti saya menjaga Tuan Dewa selama ini." Senyum kecil kini terlihat di wajah keriput Mbok Darmi.
"Yasudah kalau begitu aku kembali ke kamar dulu, jika dia bangun segera berikan sarapan untuknya. Aku nggak mau terjadi apa-apa pada gadis ini dan bayinya." Pesan Dewa sebelum meninggalkan kamar Maura.
Beberapa jam berlalu, kini mereka sudah berada di meja makan. Wajah Maura terlihat begitu pucat, bahkan tubuhnya juga begitu sangat lemas.
"Setelah sarapan kamu cepat ganti baju, hari ini aku akan mengantarmu ke Dokter."
"Nggak mau! Daripada kamu mengurusi hidupku, lebih baik urusi hidupmu sendiri." Maura langsung menoleh ke arah Dewa dengan tajam.
Entah kenapa Maura masih kekeh pada pendiriannya untuk tidak mau memeriksakan kandungannya ke Dokter kandungan. Apa dia sengaja ingin mencelakai bayinya atau yang lain.
"Dasar perempuan keras kepala! Aku melakukan ini bukan karena aku peduli padamu, tapi semua aku lakukan karena aku sadar akan kewajibanku sebagai suami." Dewa yang merasa kesal langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Apapun alasanmu aku nggak akan mau ke rumah sakit." Gadis itu kini langsung berdiri dan segera beranjak dari tempat duduknya.
Dewa yang merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa, segera duduk kembali di tempat duduknya. Ia terlihat menyanggah wajahnya dengan kedua tangannya. Cukup lama pria tampan itu terlihat melamun di kursinya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk langsung meninggalkan rumah.
"Sepertinya Tuan Dewa sudah berangkat bekerja." Diam-diam Mbok Darmi mengintip mobil majikannya dari kejauhan.
Dengan segera ia segera menemui Maura yang ada di dalam kamarnya. Perlahan wanita paruh baya itu mulai mengetuk pintu kamar Maura sebelum akhirnya ia membukanya.
"Ada apa, Mbok."
"Non Maura baik-baik saja, apa Non mau saya pijat." Wanita itu mendekati Maura yang masih duduk termenung di tempat duduknya.
"Boleh, jika itu nggak merepotkan. Kebetulan kaki ku rasanya sakit," jawab Maura sambil tersenyum ke arah Mbok Darmi.
Wanita itu kini duduk di tempat tidur dengan segera ia meminta Maura meletakkan kakinya di atas pahanya.
"Kenapa Non Maura nggak mau ke Dokter. Apa Non masih marah dengan sikap Tuan Dewa." Mbok Darmi membuka obrolan antara dirinya dan Maura.
"Aku --" Maura terlihat bingung saat akan menjawab pertanyaan Mbok Darmi. Pasalnya selama ini pria paruh baya itu tidak mengetahui tentang kehamilannya.
"Non, usia kehamilan muda itu memang sulit. Apalagi untuk wanita yang baru pertama mengalami masa kehamilan." Mbok Darmi menjelaskan sambil terus memijat kaki Maura yang terlihat mulai membengkak.
Mbok Darmi tahu, apa jangan-jangan sopir itu sudah membuka semua rahasiaku," batin Maura.
"Darimana Mbok Darmi tahu kalau aku sedang hamil." Gadis itu mulai memberanikan diri membuka mulutnya.
Pertanyaan Maura langsung membuat Mbok Darmi tersenyum. Usianya yang sudah di atas lima puluh tahun tentuya membuatnya sangat paham tentang ciri-ciri wanita hamil. Apalagi saat melihat perut Maura yang sedikit lebih menonjol.
"Non, usia Mbok ini sudah hampir seabad, jadi pasti tahu bagaimana ciri-ciri wanita hamil. Apalagi perut Non Maura sudah mulai membuncit, Mbok bisa tebak jika anak ini sudah berusia empat bulan." Wanita paruh baya itu mulai mengusap perut Maura dengan lembut. Ia berusaha untuk membuat gadis itu merasa begitu nyaman saat ada di dekatnya.
Terlebih kini ia tahu jika sebenarnya wanita yang menjadi istri majikannya itu sedang mengalami masa kehamilan. Walaupun bukan darah daging dari Dewa, tapi ia terus berusaha untuk memperlakukan Maura dengan sangat baik.
"Untuk apa aku ke Dokter jika di dunia ini nggak ada yang peduli padaku, terlebih Papa dan Mamaku. Mereka tega membuangku seperti sekarang," umpat Maura sambil melipat tangannya.
"Nggak ada orang tua yang mau membuang anaknya sendiri, lagi pula selama ini Mbok lihat Tuan Dewa sangat peduli dengan Non Maura. Bahkan dia mau menikahi Non Maura walaupun sekarang dia tahu kamu dalam keadaan hamil."
"Dia 'kan menikahiku karena uang dan harta orang tuaku, makanya dia bisa tinggal di rumah mewah ini." Gadis itu benar-benar keras kepala, ia benar-benar bersikeras jika apa yang dilakukan Dewa selama ini hanya karena uang.
"Karena uang dan harta? Mbok rasa Tuan Dewa nggak seperti itu, dia tulus menolong Non Maura. Buktinya dia nggak pernah menerima uang sepeserpun dari keluarga Non Maura, malah dia membawa Non ke rumah ini." Mbok Darmi yang tersadar jika ia baru saja membocorkan sedikit rahasia Dewa segera menghentikan aktivitasnya.
"Rumah ini, maksudnya."
Perlahan wanita paruh baya itu mulai menyingkirkan kaki Maura.
"Sudah selesai, Non Maura istirahat saja. Mbok mau kembali ke dapur untuk memasak makan siang."
Ia segera beranjak dari tempat duduknya dan segera berjalan ke arah pintu. Sementara Maura yang masih duduk di tempat tidurnya masih terlihat penasaran dengan ucapan asisten rumah tangganya itu.
"Membawaku ke rumah ini, apa maksud Mbok Darmi."