Bab 7. Khayalan

1034 Words
Perlahan Maura mulai membuka kedua matanya dengan sangat hati-hati. Kini gadis itu bisa melihat betapa tampannya wajah Dewa hanya dalam jarak beberapa centi saja. Tenyata pria ini cukup tampan," batin Maura sambil terus memandang wajah Dewa yang semakin mendekat ke arahnya. Maura yang tidak ingin menyia-nyiakan kejadian malam itu langsung menutup kedua matanya kembali. Ia kini berharap Dewa segera menciumnya dan membawanya terbang ke surga dunia. "Auh!" pekik Maura saat tubuhnya jatuh di lantai. Dewa yang tadi ia pikir akan menciumnya tiba-tiba mendorongnya dengan keras. Seketika bayangan indah tentang malam pertama buyar dari pikiran Maura. Gadis itu kini terlihat memegangi tangannya yang sakit dan segera berdiri dari tempat duduknya. "Dasar gadis sombong! Kamu pikir dirimu siapa, bisa mempermainkanku seperti ini. Asal kamu tahu sampai kapanpun aku nggak akan mau mengakui anak itu." Dewa terus meracau tak karuan. Bahkan ia tak membiarkan Maura berbicara walaupun sesaat. "Dasar pria sinting! Lebih baik sekarang kamu keluar dari kamar ku. Kamu pikir aku mau menjadi istri sopir miskin sepertimu." Maura yang sudah muak dengan pria itu, langsung menarik tangan Dewa ke arah pintu kamarnya. Dengan kasar gadis itu langsung mendorong tubuh Dewa keluar dari kamarnya. *** Esok harinya Dewa yang masih merasakan pusing di kepalanya segera berjalan ke meja makan. Terlihat Maura sedang menikmati sepotong roti dan s**u hangat yang ada di hadapannya. "Aku akan meneruskan pernikahan ini, paling nggak sampai anak yang ada di dalam kandunganmu lahir." Ucapan itu terdengar sangat terpaksa keluar dari mulut sopir tampan itu. "Ehm." Maura berdehem sambil terus menikmati sepotong roti di hadapannya. "Memang siapa b******n yang sudah menghamili mu? Apa jangan-jangan dia pria yang sering aku temui di kampusmu." "Bukan urusanmu." Maura menjawab tanpa menoleh ke arah Dewa. "Dasar bocil," gerutu Dewa sambil mulai menyantap roti yang ada di hadapannya. "Apa kamu bilang!" bentak Maura yang langsung melebarkan matanya. Gendang telinga pria itu terasa seperti pecah saat mendengar teriakan Maura. Ia dengan segera berdiri dari tempat duduknya. "Cepat ganti bajumu, pagi ini aku akan mengantarmu ke Dokter sebelum aku berangkat ke rumah orang tuamu." "Nggak mau! Kamu nggak perlu ikut campur urusanku." Gadis itu segera berdiri dari tempat duduknya dan langsung berjalan ke arah kamarnya. "Dasar keras kepala." Dewa langsung menggunakan kaca mata kesayangannga. "Mbok! Jaga bocil ini selama aku pergi, ingat dia nggak boleh kemana-mana sampai aku kembali." Dewa berteriak sambil langsung meningalkan rumah. Sementara Maura yang merasa menjadi tawanan di rumah itu segera mengajukan protes pada sang suami. "Apa kamu bilang, aku nggak boleh keluar dari rumah ini. Kamu pikir aku ini tawanan yang bisa kamu kurung di rumah ini!" Maura menarik tangan Dewa agar menoleh ke arahnya. "Terserah kamu mau berpikir seperti apa, aku hanya menjalankan tugas yang di berikan Tuan Damar." Dewa segera menarik tangannya dan langsung meninggalkan Maura begitu saja. "Dewa. Eh supir sombong! Kamu nggak bisa memperlakukan aku seperti ini, lihat saja aku akan memberi pelajaran padamu." Dewa yang sudah berdiri di samping mobilnya langsung masuk ke dalam mobil, sambil sekilas menoleh sekilas ke arah Maura. Ia hanya tersenyum dingin ke arah gadis yang terus berteriak ke arahnya. Perlahan mobil itu mulai meninggalkan pekarangan rumah mewah tersebut. "Dasar sopir kurang ajar, bisa-bisanya dia memperlakukanku seperti tawanan di rumah ini." Maura mengumpat sambil melipat tangannya. *** Malam hari, sepulang Dewa dari kerja. Mbok Darmi yang sudah menunggunya sejak tadi langsung menyambutnya dengan wajah panik. "Ada apa Mbok." "Non Maura, Tuan." Wanita paruh baya itu berusaha mengatur nafasnya. Ia terlihat begitu panik dan ketakutan. "Maura. Memang apa yang sudah dia lakukan hari ini." "Non Maura --" belum selesai Mbok Darmi menjelaskan Dewa yang sudah tidak sabar langsung berlari masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan segera langsung menuju ke kamar sang istri. Dengan perlahan ia mulai membuka pintu kamar Maura. Gadis itu sudah terlelap dalam tidurnya. "Non Maura demam tinggi, Tuan. Dan sejak tadi ia menyebut nama Marko." Wanita paruh baya itu kini sudah ada di samping Dewa. Marko, siapa pria itu. Apa dia ayah dari anak yang dikandung Maura." Dewa bicara dalam hati sambil berjalan mendekati Maura yang masih terlelap dalam tidurnya. "Mbok. Cepat ambilkan air hangat untuk mengompres," perintah Dewa yang mulai menggulung lengan bajunya. "Baik, Tuan." Mbok Darmi segera berpamitan dan langsung meninggalkan kamar itu. Sementara Dewa masih terus menatap wajah Maura dengan lekat. Entah apa yang ada di hatinya kini, tapi yang pasti malam ini di matanya gadis itu terlihat begitu cantik. "Permisi, Tuan." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba masuk hingga membuyarkan lamunan Dewa. "Ini air hangatnya." "Letakkan di atas meja, dan segera keluar dari sini." Perintahnya tanpa menoleh ke arah asisten rumah tangganya. Beberapa saat setelah Mbok Darmi keluar dari kamar. Pria itu langsung melepas kemejanya, kini tinggal kaos putih polos dan celana levis yang menempel di tubuhnya. Dengan telaten ia mulai meletakkan sebuah kain yang sudah dibasahi sebelumnya di dahi Maura. "Gadis ini begitu cantik, tidak heran jika banyak pria yang ingin memilikinya. Tapi sayang sekali, ia nggak bisa menjaga kehormatannya," ucap Dewa dengan lirih sambil terus memandang wajah Maura yang masih terlelap dalam tidurnya. Suasana kamar yang hening, serta udara ruangan yang dingin membuat pria itu merasakan gejolak yang tidak bisa dia ungkapkan. Tangan kekar yang sejak tadi ia letakkan di samping sang istri. Kini terlihat mulai mengusap wajah Maura dengan lembut. "Marko." Tiba-tiba kedua mata Maura terbuka, hingga membuat Dewa terkejut dan langsung menghentikan aktivitasnya. "Kamu sudah sadar, lebih baik kamu istirahat. Aku mau langsung kembali ke kamar ku." "Tunggu! Kamu nggak bisa ninggalin aku seperti ini, kamu harus bertanggung jawab atas anak ini, Marko." Maura yang masih terlihat lemas langsung memeluk tubuh kekar Dewa yang akan segera bangkit dari tempat duduknya. Air mata gadis itu kini terlihat menetes dengan deras. Ia terus meracau tak karuan, terdengar seperti mengungkapkan isi hatinya. "Kamu salah, aku bukan Marko. Aku Dewa." Pria itu kini mulai mencoba melepaskan diri dari pelukan Maura. Ia meminta gadis itu untuk menatapnya dengan seksama, jika dirinya bukanlah pria yang dimaksud Maura. Kini dua mata saling memandang satu sama lain. Tangan kekar yang sejak tadi memegang Maura dengan kasar, kini mulai melemah. Dua bibir perlahan mulai saling mendekat, seakan ingin terpaut satu sama lain. "Aku mencintaimu." Sebuah kata terdengar keluar dari mulut Dewa tanpa sengaja. Sementara Maura masih memejamkan mata merasakan aroma nafas pria yang ada di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD