Bab 9. Perginya Maura

1242 Words
Sementara itu, di rumah orang tua Dewa. Terlihat Utami sedang duduk di sebuah kursi sambil menatap ke arah kolam ikan dengan tatapan kosong. Ia seakan masih penasaran dengan gadis cantik yang ia lihat beberapa minggu yang lalu, tepatnya saat ia dan sang suami baru saja tiba di rumah Dewa. “sebenarnya siapa wanita itu, Apa mungkin dia adik salah satu teman Dewa. Tetapi … bagaimana mungkin dia bisa hamil, Apa mungkin dewa –” “Aku mencarimu di mana-mana, rupanya kamu di sini.” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Utami, hingga membuat wanita paruh baya itu langsung menoleh ke arah suara. “Ada apa, Pa. Apa kamu mau aku buatkan kopi.” Utami langsung menoleh ke arah Alex yang sudah berdiri di dekatnya. Jelas sekali wajah wanita itu tampak tegang, seakan menyembunyikan sesuatu dari Alex. “Enggak usah, Imah sudah aku perintahkan membuatnya.” Ia mulai duduk di samping sang istri. “Kamu kenapa, sepertinya ada hal yang mengganggu pikiranmu.” “Iya, nih. Enggak tahu kenapa aku masih penasaran dengan gadis muda yang ada di rumah Dewa, sepertinya gadis itu sedang hamil muda. Apa jangan-jangan.” Utami langsung menghentikan ucapannya dan langsung memandang ke arah sang suami. “Jangan-jangan apa? Apa kamu berpikir jika putramu sudah menghamili gadis itu.” Kini Alex mencoba menebak pikiran istrinya. “Ya … soalnya aku sempat melihat perut wanita itu sedikit membuncit, aku hanya khawatir jika Dewa sudah melakukan hubungan terlarang dengannya.” Alex menarik nafas panjang, sambil langsung menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kamu terlalu berlebihan, apa kamu lupa kalau Dewa bilang gadis itu adalah adik salah satu temannya yang sengaja di titipkan di rumah itu.” “Aku dengar, tapi … enggak tahu kenapa perasaanku begitu kuat jika gadis itu dan Dewa ada hubungan spesial.” Kini Utami sudah berdiri dari tempat duduknya. “Bagaimana kalau kita selidiki siapa gadis itu sebenarnya.” Utami langsung menoleh ke arah Alex yang masih duduk di kursinya. “Enggak! Kali ini aku nggak mau menuruti permintaanmu, lagi pula kalau pun mereka ada hubungan spesial itu sudah menjadi pilihan putramu. Jadi untuk apa kita ikut campur urusan anak sombong itu.” Rahang pria itu kini mulai mengeras, ia masih terlihat sangat membenci Dewa. “Tapi, Pa. Bagaimanapun juga Dewa itu putra kita, apa kamu mau dia menikah dengan wanita yang salah. Bagaimana jika wanita itu hanya mengincar harta Dewa saja!” bentak Utami yang terlihat tidak terima dengan perkataan Alex. “Dewa memang putraku, tapi sejak dia menolak tawaranku dengan sombong, aku nggak mau tahu tentang apapun urusannya. Jadi lupakan saja ide konyol mu itu.” Pria paruh baya itu segera berdiri dari tempat duduknya dan segera berjalan meninggalkan sang istri. “Baik, kalau kamu nggak mau menuruti keinginanku. Aku akan mencari tahu sendiri, tapi jangan pernah berharap aku akan bicara denganmu lagi.” Ancam Utami yang masih berdiri di tempatnya. Tidak ada kata yang keluar dari mulut pria paruh baya itu. Tubuhnya yang masih gagah terlihat berdiri tegak di hadapan Utami. “Baik, nanti aku pikirkan lagi.” Pria itu menjawab tanpa menoleh ke arah Utami. Dan segera melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat tersebut. Mendengar jawaban suaminya, membuat Utami tersenyum bahagia. Wanita itu paham betul sikap Alex. Di balik sifatnya yang keras kepala dan egois yang tinggi, ia adalah sosok ayah yang sangat bertanggung jawab dan begitu menjaga keluarganya. Bahkan karena kasih sayangnya yang begitu besar pada Utami dan Dewa, ia tidak pernah menolak apapun permintaan anak dan istrinya. “Alhamdulillah, semoga aja dia benar-benar mencari tahu siapa wanita itu. Karena dengan begitu aku bisa tahu asal usul gadis muda itu,” ucap Utami sambil mengepalkan kedua tangannya. *** Waktu berlalu dengan begitu cepat, kehamilan Maura kini sudah memasuki usia delapan bulan. Ya, satu bulan lagi ia akan menyandang status barunya sebagai seorang ibu muda. Usia kehamilan yang semakin mendekati persalinan, serta perut yang semakin membesar. Membuat Maura begitu sangat kesusahan dalam berjalan dan beraktivitas. Bahkan kedua kakinya kini terlihat semakin membengkak, jadi tidak heran jika setiap harinya gadis muda itu hanya menghabiskan waktunya untuk duduk di taman atau istirahat di kamarnya. “Mbok, buatin aku coklat hangat dan langsung bawa ke taman depan!” perintah Maura yang sudah berdiri di depan dapur. “Baik, Non.” Wanita paruh baya itu membungkukkan badannya sedikit sambil menunduk. “Tunggu, Non.” Tiba-tiba Mbok Darmi berteriak hingga membuat Maura terkejut dan langsung menoleh ke arahnya. “Ada apa, Mbok.” Wajah gadis itu kini terlihat penasaran. Mbok Darmi yang sejak tadi fokus pada kedua kaki Maura langsung duduk di hadapan majikannya itu. “Kaki Non Maura kenapa bisa begitu bengkak seperti ini?” tanya Mbok Darmi sambil memegang kedua kaki Maura secara bergantian. “Enggak tahu nih, Mbok. Rasanya nggak enak banget deh.” “Kalau menurut Mbok, lebih baik Non Maura periksa ke Dokter. Lagian kan selama ini Non belum pernah memeriksakan kehamilan.” Mbok Darmi memberi usul pada Maura. “Ke Dokter? Enggak ah, udah lebih baik cepat buatkan aku coklat hangat dan segera bawa ke depan.” Wanita itu segera meninggalkan Mbok Darmi yang masih memandang kakinya dengan lekat. Sejak awal kehamilan Maura memang tidak pernah memeriksakan kehamilannya. Bahkan sampai saat ia akan melakukan persalinan ia tetap kekeh menolak untuk memeriksakan kehamilannya. Dengan alasan malu, dan ia tidak mau kehamilannya diketahui banyak orang. Tidak berapa lama Dewa yang sejak tadi masih di dalam kamar langsung berjalan ke arah meja makan. “Mbok! Mbok Darmi.” Dewa yang baru saja duduk langsung memanggil nama asisten rumah tangganya. “Iya. Tuan, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita paruh baya yang sudah berdiri di sampingnya. “Dimana Maura, apa dia masih tidur di kamarnya.” Dewa yang belum melihat keberadaan sang istri mulai bertanya kepada Mbok Darmi sambil mengambil sepotong roti yang ada di hadapannya. “Non Maura sudah ada di depan. Tuan, baru saja saya mengantar coklat hangat untuknya di taman depan,” jawab Mbok Darmi. “Tuan, maaf sebelumnya kalau saya lancang, tapi ada hal yang ingin saya sampaikan.” Dewa yang penasaran segera meletakkan roti yang ada di tangannya. “Ada apa, Mbok. Apa ini tentang Maura.” “Iya, Tuan. Mbok sarankan agar Tuan segera mengajak Non Maura untuk memeriksakan kandungannya, karena Mbok khawatir dengan kakinya yang semakin membengkak.” Wajah wanita itu terlihat begitu khawatir. Dewa yang khawatir dengan keadaan Maura langsung berdiri dari tempat duduknya. “Ya udah kita ke Maura sekarang, Mbok bantu saya membujuknya.” Kedua orang itu segera berjalan ke halaman depan untuk menemui Maura. Namun, mereka justru tidak menemukan wanita itu di halaman depan, yang ada hanyalah cangkir berisi coklat hangat yang sepertinya belum disentuh sama sekali. “Mbok yakin Maura tadi di sini?” tanya Dewa yang langsung menoleh ke arah Mbok Darmi. “Yakin, Tuan. Tadi saya sendiri yang mengantar coklat hangat ini, dan Non Maura saat itu sedang memainkan ponselnya.” “Tapi kenapa dia nggak ada, apa jangan-jangan dia sudah masuk ke dalam kamar.” Dewa memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Mbok, cepat masuk dan lihat apa Maura sudah ada di dalam kamarnya.” Tanpa menunggu lama Mbok Darmi segera berjalan menuju ke kamar Maura. Hampir lima menit Dewa menunggu kedatangan Mbok Darmi di halaman depan. Hingga tiba-tiba wanita paruh baya itu datang dengan wajah panik. “Tuan, Non Maura nggak ada di kamarnya.” Nggak ada, kemana bocil itu. Bisa-bisanya dia pergi tanpa berpamitan, apa jangan-jangan dia pulang ke rumah orang tuanya,” batinnya sambil berdiri di hadapan Mbok Darmi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD