“Saya suaminya. Silahkan lakukan persalinan ini sekarang.” Dewa kini sudah berdiri di hadapan Dokter Mira.
“Mas Dewa, akhirnya kamu datang juga. Mas.” Wajah Maura terlihat begitu bahagia melihat kedatangan Dewa. Ia tidak menyangka pria yang selama ini benci masih mau membantunya di saat sulit seperti sekarang.
Pria itu kini mulai berjalan ke arah Maura yang masih berbaring sambil merintih kesakitan. Keringat dan air mata terlihat menyatu memenuhi wajah Maura. Dengan lembut ia mulai mengusap setiap butir air mata yang keluar dari mata sang istri.
“Kamu tenang saja, aku sudah di sini. Aku janji akan selalu disampingmu sampai persalinan selesai.”
“Terima kasih, Mas.” Maura berusaha tersenyum di hadapan Dewa.
Linda yang sejak tadi berdiri mematung di depan pintu mulai berjalan mendekati Dewa dan Maura.
“Maura, Mama keluar dulu. Ya, Sayang.” Ia mengusap kening Maura sambil tersenyum. “Dewa, saya titip Maura padamu. Tolong temani dia di sini.” Linda menoleh ke arah Dewa dan Maura secara bergantian.
“Nyonya tenang saja, saya janji akan menemaninya di sini.” Dewa meyakinkan Linda sambil terus menggengam tangan Maura.
Mendengar jawaban menantu sekaligus supir pribadi keluarganya, wanita paruh baya itu kini bisa bernafas lega. Dengan segera wanita itu pun langsung berjalan keluar meninggalkan ruang bersalin.
“Bagaimana keadaan Maura, Ma? Apa dia dan anaknya baik-baik saja.” Damar langsung menyambut kedatangan sang istri dengan berbagai pertanyaan. Tidak bisa di pungkiri pria bertubuh kekar itu begitu sangat khawatir dengan keselamatan Maura dan anaknya.
“Maura baik-baik saja, Pa. Sekarang dia sedang menjalani proses persalinan,” jawab Linda yang terus berjalan ke arah sebuah kursi yang ada di koridor rumah sakit.
“Syukurlah kalau begitu, semoga persalinan Maura berjalan dengan lancar.”
Wajah sepasang suami istri itu kini terlihat begitu cemas dan khawatir. Semua doa terus mereka panjatkan untuk keselamatan Maura dan calon anaknya. Satu jam sudah Maura berjuang antara hidup dan mati di ruang persalinan.
Hingga tiba-tiba terdengar suara tangis bayi memecah keheningan sore itu. Mendengar suara itu Linda dan Damar langsung tersenyum bahagia.
“Itu pasti suara tangisan cucu kita, Ma.” Wajah Damar begitu bahagia mendengar suara tangis sang cucu untuk pertama kali.
“Kamu benar, Pa. Alhamdulillah, akhirnya cucuku lahir dengan selamat.” Linda menengadahkan tangannya sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Rasa syukur terus terucap dari mulut wanita berusia 46 tahun itu.
Damar yang sudah tidak sabar melihat cucu pertamanya segera menarik tangan Linda.
“Kalau begitu sekarang kita masuk ke dalam.”
“Jangan dulu, Pa. Lebih baik kita di sini dulu, paling tidak sampai Dewa keluar dari ruang bersalin.” Linda segera mencegah keinginan suaminya. Ia yakin saat ini Maura pasti masih mendapatkan perawatan intensif.
“Menunggu Dewa! Memangnya kenapa aku harus menunggunya? Maura putriku dan bayi itu cucuku, jadi aku berhak atas mereka.” Damar segera melepaskan tangan Linda. “Kalau kamu masih mau di sini silahkan! Biar aku sendiri yang masuk ke dalam.”
“Pa! Tunggu, Pa.” Damar terus berjalan tanpa mau mendengarkan teriakan Linda yang berjalan di belakangnya. Pria itu seakan tidak sabar ingin menggendong cucu pertamanya.
Kini Damar sudah berada di dalam ruang bersalin. Pandangannya langsung tertuju pada Dewa yang menggendong seorang bayi kecil, sambil mengumandangkan suara adzan di telinga bayi itu.
“Maura bagaimana keadaanmu, Nak. Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu merasakan sakit lagi, biar Papa sampaikan pada Dokter.” Damar segera memberikan berbagai pertanyaan kepada putri kesayangannya, hingga membuat Maura tertawa. Sementara Linda yang merasa jika suaminya terlalu berlebihan segera mencubit tangan Damar secara diam-diam.
“Aduh!” pekiknya sambil langsung menoleh ke arah Linda. “Kamu apa-apaan sih, Ma. Apa salah aku menanyakan keadaan putriku sendiri.”
“Pertanyaanmu nggak salah, yang salah itu caramu bicara. Apa kamu tahu pertanyaanmu yang sepanjang kereta api itu bisa membuat Maura pusing.” Linda mulai melebarkan matanya ke arah Damar.
“Ah. Kamu terlalu berlebihan,” gerutu Damar yang langsung membuang muka.
Dewa yang baru saja selesai mengumandangkan suara adzan di telinga si jabang bayi. Segera menyerahkan bayi laki-laki itu pada Maura.
“Ini putramu, dia sangat tampan dan sehat.” pria itu menyerahkan bayi mungil itu. “Tugasku sebagai seorang suami sudah selesai, aku pamit dulu. Dan sesuai dengan permintaanmu, aku akan segera mengurus perceraian kita.”
“Cerai.” Linda dan Damar terlihat terkejut dengan perkataan Dewa.
“Dewa, tunggu!” panggil Damar hingga membuat Dewa langsung menghentikan langkahnya. “ Apa kamu yakin akan menceraikan Maura.” Damar yang sudah berdiri di hadapan Dewa mencoba untuk meyakinkan supir pribadinya.
“Saya yakin, Tuan. Lagi pula itu juga sesuai dengan keinginan Maura,” Dewa menoleh sekilas ke arah Maura sambil tersenyum. “Dan saya juga mau pamit, karena mungkin setelah ini saya nggak lagi bekerja sebagai supir pribadi Tuan dan Nyonya Damar.”
Ucapan Dewa terdengar bergetar, ia seolah menahan luka dalam hatinya. Sebenarnya terasa berat bagi Dewa meninggalkan Maura, seorang gadis yang kini sudah menjadi cinta pertamanya.
“Jika memang itu yang menjadi keputusan kalian, kami nggak bisa memaksa lagi. Semoga apa yang kalian ambil bisa menjadi jalan terbaik untuk kalian berdua.” Damar menepuk pundak Dewa yang terlihat menunduk di hadapannya.
“Kalau begitu, saya pamit dulu. Tuan, Nyonya.” Dewa menoleh ke arah Damar dan Linda secara bergantian.
“Mas Dewa aku –”
“Maura, berjanjilah padaku. Kalau kamu akan menjadi Ibu yang baik untuk anak ini.” Dewa memotong ucapan Maura sambil berjalan mendekati wanita cantik itu. Sesaat ia memandang wajah Maura dengan dalam, wajah cantik dan ceria yang selama ini menemani hidupnya. Sebentar lagi akan meninggalkannya untuk selamanya.
Perlahan pria tampan itu mengecup kening Maura dan bayinya secara bergantian. Sebelum akhirnya melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.
Air mata yang sejak tadi sudah berhenti kini kembali mengalir keluar dari kedua mata Maura. Ia sadar semua ini adalah permintaannya, Dan sebagai seorang suami Dewa hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya.
Apa nggak ada kesempatan kedua untukku, Mas,” batin Maura sambil menangis sambil memandang Dewa yang terus berjalan meninggalkannya.
Ingin rasanya kakinya melangkah mengejar pria itu. Tetapi kondisi tubuhnya yang begitu lemas pasca bersalin memaksa Maura untuk tetap diam tanpa melakukan apapun.
Sementara Damar dan Linda hanya bisa mencoba menenagkan putrinya.
“Kamu yang sabar ya, Nak. Mama yakin jika dia memang ditakdirkan untukmu, kalian akan bersama lagi suatu saat nanti.” Linda langsung memeluk Maura.
“Ini semua kesalahanku, Ma. Seharusnya sebagai seorang istri aku bisa menghargainya.” Ia terus menangis sambil memeluk Linda dan mendekap putranya dengan erat.