“Astagfirullahaladzim. Maura!” teriak Linda saat ia sudah berada di dalam kamar putri kesayangannya.
Wanita itu begitu terkejut saat melihat Maura sudah tergeletak di lantai sambil menangis dan berteriak kesakitan. Tidak hanya itu sebuah darah segar mulai keluar dari sela-sela pakaiannya. Darma yang sejak tadi menunggu di luar segera masuk ke dalam kamar sang putri.
“Ada apa, Ma.” Darma kini sudah berdiri di hadapan Linda yang sudah duduk di lantai.
“Maura, Pa. Dia pendarahan, kita harus secepatnya membawanya ke rumah sakit.”
“Ok … ok kamu tunggu di sini sebentar aku akan siapkan mobil sekarang juga.” Pria bertubuh tegap itu segera keluar dan langsung berlari ke arah garasi mobil.
“Sakit, Ma! Perutku sakit sekali.” Maura terus meraung kesakitan sambil memegangi perutnya yang membuncit.
“Sabar, Nak. Istighfar, sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit. Papa sedang menyiapkan mobil untuk kita.” Air mata Linda kini terlihat menetes deras dari kedua matanya. Ia benar-benar tidak tega melihat penderitaan putri tunggalnya itu. Dalam hatinya Linda terus memanjatkan doa untuk keselamatan anak dan cucunya saat ini.
“Sakit, Ma! Mas Dewa. Tolong aku Mas, perutku sakit.” Tanpa sadar bibir mungil Maura menyebut nama Dewa dengan begitu keras.
Ia tidak dapat memungkiri jika sebenarnya perlakuan Dewa selama ini memiliki kesan tersendiri di hatinya. Perasaan yang sebelumnya tidak pernah ada kini mulai tumbuh di dalam hatinya. Tetapi rasa ego yang tinggi dan gengsi membuatnya menutup rapat-rapat perasaan itu.
“Sabar ya, Nak.” Linda terus menenangkan Maura yang berbaring di pangkuannya. “Ya Allah, dimana Mas Darma. Kenapa dia lama sekali.”
Lima belas menit sudah Linda dan Maura menunggu kedatangan Darma. Kini pria itu sudah mulai masuk dan langsung menggendong Maura. Sambil sedikit berlari pria dengan perut sedikit membuncit itu mulai menuruni anak tangga.
“Kamu cepat hubungi Dewa, karena bagaimanapun juga dia suami dari Maura!” perintah Darma yang masih menggendong Maura.
“Baik.”
Linda yang berjalan di belakang Darma segera berlari ke dalam kamarnya untuk mengambil ponsel yang sebelumnya ia letakkan di atas meja rias miliknya. Sambil berjalan wanita itu terus mencoba menghubungi sang menantu, tapi rupanya tidak mendapat jawaban dari pemilik nomor.
“Bagaimana? Apa kamu sudah menghubungi Dewa?” tanya Darma saat mereka sudah berada di dalam mobil.
“Sudah, tapi nomornya nggak bisa dihubungi.”
“Yasudah, lebih baik kita bawa saja dulu Maura. Biar nanti aku yang menghubunginya.” Darma langsung menyalakan mesin mobilnya, dengan perlahan ia mulai mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumahnya.
Maura yang duduk di kursi belakang bersama Linda terdengar terus menangis dan berteriak kesakitan.
“Mas Dewa! Tolong aku, Mas. Perutku sakit.”
“Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit.” Linda terus menguatkan Maura sambil mengusap kepala sang putri dengan lembut.
“Dimana Mas Dewa, Ma. Dia harus menemaniku di sini, aku membutuhkannya. Ma.” Maura terus meracau tidak karuan, kali ini ia benar-benar menyadari betapa berartinya sosok Dewa di sampingnya.
“Sabar ya, Nak. Dewa sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, dia pasti akan menemanimu melewati semua ini.” Bujuk Linda yang terus menangis sambil memandang Maura dengan iba.
Tidak berapa lama mereka akhirnya tiba di sebuah rumah sakit mewah di pusat kota Jakarta. Dengan segera Damar meminta para perawat agar membawa putrinya ke ruang perawatan. Ia juga meminta Linda untuk menemani Maura sampai Dewa tiba di rumah sakit.
“Kamu temani Maura, biar aku hubungi Dewa.”
Linda segera mengangguk dan langsung berjalan ke ruang bersalin bersama Maura dan beberapa perawat rumah sakit.
“Semoga kali ini dia angkat telponnya.” Darma segera menekan nomer menantu sekaligus supir pribadinya.
***
Sementara itu di ruang bersalin, Maura terus berteriak kesakitan. Ia terus memanggil nama Dewa dengan kencang. Sambil meremas seprai tempatnya berbaring saat ini.
Beberapa perawat dan Dokter juga terlihat menyiapkan beberapa peralatan medis untuk membantu proses persalinan Maura. Sementara Linda hanya bisa berdoa sambil terus menenangkan Maura.
“Mas Dewa mana, Ma. Kenapa dia belum juga datang, apa dia nggak mau bertemu dengan ku lagi.” Gadis itu terus menangis dan menanyakan keberadaan Dewa.
“Kamu sabar ya, Mama yakin sekarang dia sedang dalam perjalanan kemari. Lebih baik sekarang kamu fokus pada persalinanmu saja.” Linda terus mengusap kepala dan air mata Maura dengan lembut.
“Nggak mau! Aku nggak mau melahirkan tanpa Mas Dewa, aku mau dia ada di sini bersamaku.” Maura memandang Linda dengan penuh harap. “Ah.” Teriakan itu kini terdengar semakin keras hingga memecahkan keheningan di ruang persalinan.
“Permisi ya, Mbak. Kami periksa dulu sebentar.” Seorang Dokter tiba-tiba menghampiri Linda dan Maura. Dengan perlahan ia meminta Maura untuk melipat kakinya dan sedikit membukanya. Kini jari sang dokter sudah masuk ke area sensitif Maura untuk melakukan pemeriksaan.
“Bagaimana, Dok?” tanya Linda setelah beberapa saat Dokter tersebut selesai memeriksa Maura.
“Sudah pembukaan sembilan, sebentar lagi kita akan segera melakukan persalinan terhadap putri Ibu.” Dokter itu menjelaskan secara terperinci pada Linda.
“Sabar ya, Mbak. Sepuluh menit lagi kita akan melakukan proses persalinan.” Kini sang dokter terlihat tersenyum ke arah Maura.
Sepuluh menit berlalu, Maura kini sudah siap melakukan persalinan pertamanya. Rasa sakit yang sejak tadi ia rasakan juga semakin bertambah.
“Sepertinya sudah pembukaan akhir, kita akan melakukan persalinan sekarang.” Dokter itu mulai menggunakan sarung tangannya.
“Enggak! Aku nggak mau.” Maura berteriak sambil menutup kedua kakinya.
“Ya Allah, jangan seperti ini. Nak, kasihan bayimu. Sekarang buka kakinya, biarkan Dokter membantumu melahirkan.” Bujuk Linda.
“Enggak, Ma! Aku enggak akan melakukan persalinan sebelum. Mas Dewa datang!” bentak Maura sambil berlinangan air mata.
“Kamu nggak bisa seperti ini. Sayang, kasihan anak itu.”
“Enggak! Aku akan menunggu Mas Dewa.” Maura terus bersikeras dengan keputusannya.
“Bagaimana ini, Dok?” tanya Linda kepada sang dokter yang sejak tadi sudah berdiri di dekat kaki Maura.
“Lebih baik Ibu hubungi suaminya, minta dia segera kemari. Saya akan menunggu lima menit lagi,” perintah sang dokter sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangannya.
“Maura, kamu di sini dulu. Mama keluar sebentar untuk menemui Papa di depan.” Linda berpamitan kepada sang putri. Dengan penuh kasih sayang wanita yang sudah mulai memiliki uban di rambutnya itu langsung mencium kening Maura.
Linda yang tidak memiliki banyak waktu segera berjalan ke arah pintu. Namun, belum juga ia sampai di ambang pintu. Terlihat pintu itu terbuka dengan lebar. Sesosok pria terlihat masuk ke dalam ruang bersalin.
“Silahkan lakukan proses persalinan ini sekarang.” Sebuah suara yang sangat hafal di telinga Maura mulai terdengar. Gadis cantik itu kini mulai terlihat tersenyum melihat orang yang ia sayang sudah berada di sampingnya.