[Kayhan Pov]
"Astaga Kay, masih marah aja gara-gara yang tadi?" Aku menoleh pada Haras yang sedang meneguk air mineral dengan iklan paling fenomenal yang pernah aku tonton itu. Le minerale.
Kami sedang berhenti di sebuah minimarket, membeli minuman sekaligus istirahat. Perjalanan dan pertemuan dengan senior tadi ternyata cukup menguras tenaga dan pikiran.
"Nggak.."
"Emang siapa sih yang nabrak? Setahu gue anak lingkungan asrama gue nggak ada yang bangunnya jam segitu. Lo doang mah yang selalu bangun pagi dan muncul di asrama gue."
"Nggak tau juga gue. Baru sekali itu gue lihat mukanya. Maba kali."
"Maba?" Haras mengerutkan kening. "Emang mukanya muka maba?"
Aku menatapnya dengan kening mengerut. "Emang muka maba gimana?" tanyaku dengan bingung. Jujur, aku benar-benar tidak tau.
Haras pun terdiam, menatapku dengan muka bodohnya. "Ya gitu," katanya. "Muka-muka polos gitu loh. Masa sih lo nggak tau?"
Aku manggut-manggut. "Ohh. Hmm, nggak juga sih. Nggak ada muka polosnya sama sekali. Eh tapi, dia ada ngasih nomor hapenya sama gue. Lupa gue tarok di mana.."
"Emang lo bakalan minta ganti rugi?"
Aku memainkan botol air mineral. "Lihat mood deh."
"Bokap lo tajir gitu jangan serakah jadi orang."
Botol air mineral itu melayang sempurna ke arah Haras. Tapi dia dengan cekatan menghindarinya.
"Kan bukan salah gue. Ngapa harus duit bokap gue yang keluar?"
Haras terkekeh.
"Berarti lo mau minta ganti rugi?"
"Ya enggak juga sih.." kali ini botol air mineral Haras yang melayang ke arahku dan dengan sempurna hingga tepat di keningku.
"b*****t! Sakit woy!"
Sebelum Haras sempat menjawab, ponselku lebih dulu berbunyi. Aku menjawab panggilan dari tukang bengkel kenalanku yang tadi aku minta untuk memperbaiki mobil.
"Udah?" tanya Haras begitu aku selesai menelpon.
"Tiga hari katanya. Bahannya dipesan dulu. Ah elah, bikin kesel aja."
"Anjir, lo depan gue jangan belaga jadi orang miskin. Geli gue lihatnya.." maki Haras.
Aku menatapnya datar. Rasanya mau memaki tepat di depan wajah gantengnya itu.
"Har, lo pengen banget gue maki kayaknya ya?"
Haras tertawa kencang. "Ih nyonya besar lagi pe em es ya?"
Aku angkat jari tengah.
"Ih, kok kasar gitu?"
Aku segera berdiri, pergi dari sana. Aku bisa dengar tawa Haras. Tak lama ia menyusulku, merangkul pundakku.
"Canda doang, astaga. Sensi banget.."
Kami meninggalkan area minimarket. Melanjutkan kembali perjalanan kembali ke kampus. Ada beberapa hal yang harus diperiksa. Memastikan semua keperluan untuk besok sudah aman.
"Har lo udah lihat ini?"
"Apaan?"
Aku menunjukkan layar ponselku pada Haras. Aku sedang iseng membuka i********:. Di explore tidak sengaja aku melihat foto yang mentag akun i********: si kembar, adik Haras. Oh iya, si kembar merupakan model beberapa brand pakaian. Jadi tidak akan aneh melihat foto mereka berkeliaran di i********:.
Foto yang tadi aku perlihatkan pada Haras merupakan foto Haras yang tengah menggendong Eira, di bandara. Tidak hanya Haras dan Eira. Di foto itu juga ada Baby dan Noel. Aku tau itu Baby meskipun wajahnya tidak terlihat karena fotonya diambil dari belakang.
"Si Baby nggak apa-apa?" Aku kembali melihat-lihat isi explore i********:.
"Kalau wajahnya nggak kelihatan gitu sih dia nggak apa-apa. Tapi nggak tau juga reaksinya bakal gimana lihat foto ini."
"Mau sampai kapan kalian sembunyiin hubungan kalian?"
"Kok lo perhatian gitu sama gue? Jangan-jangan beneran lo naksir gue.."
Pletak. Sebuah jitakan mendarat di kepala Haras.
"Aduh, sakit njir."
"Telinga gue udah bebal denger begituan. Makin aneh-aneh aja rumornya."
Haras terkekeh. "Yang terbaru gue dikabarin gay. Jangan-jangan lo juga."
Aku memutar bola mata. Memang benar. Akhir-akhir ini aku semakin sering mendengar gosip orang-orang mengatai aku dan Haras gay. Dasar mereka gila. Kenapa mereka bisa menyimpulkan begitu?
"Ya itu karena mereka lihatnya kita nggak ada yang punya pacar. Terus karena lo nempel mulu sama gue.." Haras menjawab seolah bisa membaca pikiranku. Haras manggut-manggut, memandangku dengan mimik menyebalkan.
"Kapan gue nempel sama lo?"
"Ih sok jual mahal banget nyai.."
Aku bersiap menjitak kepalanya, tapi kata-kata Haras membuat aku membatalkan niatku.
"Makanya lo cari pacar, Kay. Kalau lo punya pacar mereka bakal berhenti gosipin lo gay."
Aku menghela napas.
"Cuman lo doang orang yang berani nolak Milani," tambah Haras tiba-tiba. Kenapa jadi bawa-bawa Milani?
"Gimana lo nggak bakal digosipin gay coba. Nolak cewek sekelas Milani. Queen kampus cuy.."
Aku menatap Haras dengan ekspresi malas. "Ini bukan masalah cantik, Har. Lo kayak baru kenal gue tadi pagi."
Yap. Masalahnya adalah..
"Kenapa? Jangan bilang lo masih naksir sama cewek gue?"
Aku menatapnya dengan ekspresi please-deh-Harasatya Kevano!
"Ya mana tau kan?" Haras terkekeh. Aku tau dia cuma bercanda. Tapi, tidak aneh Haras berkata begitu. Soalnya... kami punya selera yang sama soal perempuan. Bisa dibilang tipe kami sama. Persis. Tapi tenang saja, aku tidak naksir pada Baby. Kenapa? Karena dia sudah jadi pacar Haras. Dan lebih dari siapapun, aku tau bagaimana hubungan mereka.
"Atau..." Haras menggantung kalimatnya. "Masih belum move on?" Ia menatapku dengan ekspresi serius. Kali ini aku terdiam.
Haras menghentikan mobil di lampu merah.
"Kay, gue ngomong gini bukan karena gue usil. Tapi karena lo sahabat gue. Ini udah mau 3 tahun. Bukankah ini udah saatnya untuk melepaskan?" Aku dan Haras jarang bicara serius. Obrolan kami lebih banyak bercandanya. Bisa dibilang 90% bercanda.
"Bukan karena itu, Har, gue serius."
Haras masih menatapku tak percaya.
"Beneran, Har. Bukan karena itu. Gue udah move on dan gue udah nggak ada urusan sama Arimbi."
"Terus? Jujur Kay, kadang gue nggak tau apa yang sebenarnya lo pikirin. Soal ini gue bener-bener nggak tau."
Aku tertawa. "Lo mau tau kenapa lo bisa nggak tau?"
Haras menggeleng.
"Karena emang nggak ada yang gue pikirin, Har. Gue nggak mau jalin hubungan bukan karena gue belum move on atau karena gue patah hati. Tapi karena emang lagi nggak pengen aja. Gue ngerasa sekarang hidup gue baik-baik aja."
Haras manggut-manggut. Kami saling pandang cukup lama.
Haras tiba-tiba menatapku dengan ekspresi aneh. "Jangan ada pikiran ya lo mau nyium gue.."
"b******k!"
Haras terkekeh. "Tapi gue serius, Kay. Lo perlu pikirin ini baik-baik. Tapi," Aku menoleh pada Haras menunggu lanjutan kalimatnya. "Apa sih yang dilihat Milani dari lo? Sampai dia berani nembak lo langsung.."
Aku membuang napas, melipat tangan di d**a. "Udah hijau tuh.."
Mobil kembali melaju.
"Kalau karena ganteng, kayaknya masih banyak yang lebih ganteng dari lo yang bisa dia dapat dengan muka secantik itu.."
"Lo kenapa pacaran sama Baby?"
Haras terdiam selama beberapa detik dengan pertanyaan tiba-tibaku.
"Karena dia cantik?"
Haras menggeleng. Baby memang cantik, tapi banyak yang lebih cantik dari dia. Aku sendiri mengkategorikan Baby bukan sebagai gadis yang cantik, tapi manis. Jujur saja, menurutku Baby punya wajah yang tidak membosankan untuk dilihat. Lebih dari itu, dia pribadi yang menyenangkan. Siapapun bisa jadi orang baik, tapi Baby beda. Dia seperti punya magnet yang bisa membuat orang nyaman berada di dekatnya. Tapi entahlah. Apa hanya aku dan Haras yang bisa melihatnya atau semua orang merasakan hal yang sama.
"Karena dia baik?"
Haras kembali menggeleng.
"Terus kenapa?"
"Karena dia Baby.."
Yap itu dia. Nggak ada alasan untuk suka sama orang. Kita hanya suka karena kita suka. Nggak perlu ada alasan.
"Nah itu dia."
"Berarti Milani bener-bener suka sama lo.." ujar Haras tiba-tiba. Sial!
"Nggak usah dibahas deh." Aku alihkan pandangan ke luar kaca.
"Gue nyuruh lo cari pacar nggak hanya buat meredakan gosip-gosip nggak penting itu. Tapi juga buat diri lo sendiri. Nggak tau deh kalau lo ada niat mau langsung nikah. Hastag Indonesia tanpa pacaran. Hastag no pacaran-pacaran club. Hastag—"
"Udah nyetir aja, jangan bacot!"
...
"Kak Kayhan.."
Aku menoleh ke belakang. Seorang perempuan, mungkin junior, yang jelas bukan maba, tengah mengulurkan sebuah kotak padaku.
Aku menatapnya dengan dua alis terangkat. Bertanya tanpa suara.
"Buat kakak, aku yang bikin. Semoga suka ya." Ia tersenyum, kemudian pergi setelah aku menerima kotak itu.
Oke. Kue. Lagi.
Aku letakkan kotak itu di atas meja, kemudian kembali melanjutkan pekerjaan.
"Eit, apa nih?" Tiba-tiba Ogi menepuk punggungku.
"Kue? Lo beli, Kay?"
Aku menggeleng.
"Dikasih lagi?"
Aku mengangguk kecil.
"Kalo mau makan aja.."
"Enggak ah, nggak enak gue. Kasihan sama mereka udah susah-susah ngasih ke elo. Hargai kek.."
Aku menatap Ogi. "Kalau gue makan setiap kue yang mereka kasih, gue nggak perlu lagi makan nasi.."
"Njir. Mentang banget ya lo banyak fans.."
Aku mengendikkan bahu.
"Udah makan aja, jangan sok baik lo."
"Oke, kalau lo maksa."
Aku geleng-geleng. "Faro mana?"
"Tau. Ngapelin ceweknya kali. Eh btw, Kay, gue pinjem mobil lo ya ntar malem. Motor gue masuk bengkel.."
Aku menghela napas. "Sayangnya nasib mobil gue sama ma motor lo.."
"Hah? Mobil lo di bengkel juga?"
"Hm.."
"Kenapa? Tumben banget. Service?"
Aku menggeleng. "Lagi demam."
Ogi mengerutkan kening. Mungkin dia bingung.
"Gue cabut dulu ya. Oh iya, nih proposalnya udah gue perbaiki. Ini udah final. Coba lo cek lagi, takutnya ada yang salah EYD nya." Aku menepuk bahu Ogi.
"Lo mau ke mana?"
Aku angkat tangan sebelah, memilih tidak menjawab pertanyaan Ogi.
...
Apa hari ini adalah hari sialku?
Aku merasa jalan cukup lebar untuk beberapa orang lewat tanpa perlu menyentuhku atau menabrakku. Tapi kenapa aku masih saja ditabrak? Sialnya ponsel yang sedang aku pegang melayang bebas hingga berakhir tragis di lantai keramik. Dan... benda pipih itu pecah.
"Damn!" Aku mengumpat tanpa sadar. Aku mengambil ponsel itu, lalu bersiap memaki siapapun yang sudah menabrakku.
"Lo lagi?!" Aku melotot tak percaya perempuan di depanku. Orang yang sudah menabrak mobilku tadi pagi. "Nggak cukup lo nabrak mobil gue? Apa lo juga harus nabrak gue?" Ujarku sarkatis.
Seperti tadi, dia memandangku dengan wajah angkuhnya. Bedanya kini dia tidak pakai kaca mata. Aku bisa melihat dengan jelas mukanya.
"Nggak perlu marah juga lah. Tenang aja, gue bakal ganti rugi. Gue beliin hape yang baru.." hebatnya dia tidak merasa bersalah sama sekali.
Aku menatapnya dengan seringai kecil. Takjub. "Apa hal pertama yang ada di kepala lo itu cuma duit? Dua kali lo bikin kesalahan tapi nggak sekalipun gue denger lo minta maaf.."
"Lo kenapa sih? Sensi banget. Heran. Udah bagus gue mau ganti rugi."
"Ya lo harus ganti rugi lah."
Dia kemudian membuka tasnya, merogoh dompet. Kemudian ia mengeluarkan beberapa helai duit dari dalam dompetnya. "Gue cuma ada cash segini. Mana rekening lo, biar gue transfer.."
Aku geleng-geleng. "Simpan aja duit lo. Atau pakai duit itu untuk bayar les, belajar ngomong maaf." Aku kemudian berlalu melewatinya begitu saja. Sebelum aku semakin kesal.
"Heh! Woy!! s**t!" Aku mendengarnya mengumpat.
...
"Kay.."
"Kayhan!" Aku tersentak saat ada yang menepuk bahuku.
"Eh, By.."
Baby tersenyum. "Gue manggil-manggil dari tadi nggak kedengeran.."
"Hah, iya ya? Sorry, gue nggak denger.." aku nyengir.
"Kay.." Haras muncul setelahnya.
"Proposalnya gue kasih Ogi suruh cek sebelum dikirim ke Dekan."
Haras mengangguk.
"Lo udah makan, Kay?" Tanya Baby. "Yuk bareng. Kami beli banyak nih tadi." Baby mengangkat kantong plastik yang dipegangnya.
"Iya. Yuk.." ajak Haras. "Udah yuk, kelamaan mikir lo.." Haras merangkul pundakku, menarikku bersamanya. Baby tersenyum kemudian mengikuti langkah kami.
"Mau minum apa?"
"Aku soda ya," kata Haras.
"Apa aja deh," kataku. Baby meletakkan dua gelas soda di atas meja dan segelas air putih untuknya sendiri.
"Ayo makan.."
"Gue nelpon lo kok nomor lo nggak aktif?" tanya Haras.
Aku menghela napas. Lalu mengeluarkan ponselku dan meletakkannya di atas meja. Haras dan Baby shock seketika.
"Kenapa hape lo? Jatuh dari lantai berapa nih?"
"Lo inget cewek tadi pagi? Yang nabrak mobil gue?"
Haras mengangguk.
"Dia nabrak gue dan ini hasilnya.."
Haras melongo. Dia pasti juga terkejut.
"Nggak mau hidup, Kay?" tanya Baby.
Aku mengangguk. "Langsung mati total."
"Lo minta ganti rugi nggak?"
Aku meletakkan sendok di atas piring. "Sumpah ya, belum pernah gue ketemu cewek model begitu. Dua kali dia bikin salah, tapi nggak pernah sekalipun minta maaf."
"Lo ketemu di mana sama dia? Di depan asrama ini?" Haras mengerutkan kening.
"Nggak. Di kampus. Deket FK.."
"FK?"
"Hm."
"Anak FK?"
"Nggak tau gue."
"Jodoh kali, Kay," celetuk Baby membuat aku dan Haras otomatis memandang ke arahnya dengan tampang paling bodoh yang kami punya. Melongo.
Lalu tawa Haras meledak sampai dia terbatuk dan Baby dengan cekatan mengulurkan gelas berisi air.
Teman b*****t!
"Harus banget jodohnya sampai ngerusakin barang-barang, By?" tanyaku.
Haras menepuk-nepuk pundakku. Dramatis. Baby nyengir.
"Hehe, iya sih.."
"Kalau sampai ketemu ketiga kalinya berarti kalian emang jodoh, Kay," timpal Haras.
"Apa lagi yang bakal rusak? Masa depan gue?"
Pletak. Sebuah jitakan mendarat di kepalaku. Anjir.
"Sakit, woy!!"
Haras memaki tanpa suara. Dasar sok suci. Di depan Baby bisa-bisanya dia sok jadi orang baik.
Baby tertawa saja. Dia sudah terbiasa melihat kami seperti ini.
"Lo bilang dia kasih nomornya ke lo kan? Mana sini. Telpon, minta ganti rugi. Enak aja dia ngerusakin tapi nggak ganti rugi."
Aku mengeluarkan secarik kertas tapi tidak langsung memberikannya pada Haras.
"Lo mau ngapain? Nggak usah minta ganti rugi. Ngapain?"
"Eh semprul, jangan belaga sok kaya deh lo.."
Aku menatapnya dengan ekspresi gue-emang-kaya-b******k!
Haras merebut paksa kertas itu. Ia kemudian mengambil ponselnya, menekan-nekan layar. Sesaat aku pun ikut terdiam, menunggu.
Haras menyuap makanannya.
Lalu...
"Uhukkk..." Haras tiba-tiba tersedak. Ia bergegas meneguk isi gelas di depannya sampai habis.
"Kenapa lo?" Ekspresi Haras terlihat tidak baik. Ia menatap lama layar ponselnya.
"Kenapa, Be?" Baby ikut bertanya.
Haras menelan ludah. Ia kemudian memandangku dan Baby bergantian.
"Ini nomernya Cindy.."
Aku terkejut.
"Cindy? Cindy anaknya Tante Fani?" tanyaku meyakinkan bahwa itu Cindy yang sama.
Haras mengangguk.
"Ngapain Cindy di sini?" tanyaku otomatis. Haras dan Baby serempak menoleh padaku.
***