L 05. After A Thousand Years

3149 Words
[Author Pov] Dering ponsel terus berbunyi sejak tadi. Tapi si pemilik ponsel terlihat tak berminat menjawab panggilan. Ia masih betah di balik selimutnya. Setelah berhenti beberapa detik, dering ponsel kembali terdengar. "s**t! Siapa sih yang rese pagi-pagi gini? Nggak tau apa orang ngantuk?" Ia mengumpat. Dengan malas diraihnya ponsel yang tergeletak di atas kasur. "Hallo, Cindy, kamu kenapa lama banget angkat telpon Mami?" Serbu suara di sebrang tanpa menunggu begitu Cindy menswipe layar. Cindy menghela napas, memutar bola matanya. "Ngantuk, Mam." "Ngantuk? Kamu pulang jam berapa semalam?" "Mam, this is Indonesia, bukan New York. So you don't need to be worry, ok." Cindy menghela napas lagi. Setiap menelpon, selalu saja mereka bertengkar. Harusnya saling melepas rindu. Tapi mungkin cara melepas rindu mereka memang berbeda dengan orang-orang. Terdengar helaan napas dari sebrang. Sepertinya si penelepon mulai melunak. "Gimana di sana? Semua baik-baik aja?" "Hm, yeah, i guess.." "Kamu," Fani menjeda. "Udah ketemu Papi?" Mata Cindy terbuka sepenuhnya menatap langit-langit kamar. Dia enggan membahas ini. "Mam, Cindy harus ke kampus. Udah dulu ya, nanti Cindy telpon lagi." Sebelum Fani selesai mengucap salam penutup, Cindy sudah lebih dulu memutuskan sambungan. Ia kemudian meletakkan ponsel asal. Ia pejamkan mata sesaat, kemudian menghembuskan napas kasar. ... "Baiklah, tunggu sebentar ya.." laki-laki paruh baya itu bangkit, meninggalkan Cindy sendirian di dalam ruangannya. Perempuan itu mengedarkan pandangan. Tak banyak yang bisa dilihat karena ruangan ini memang tertutup. Hanya ada jendela tidak terlalu besar yang Cindy yakin pun tak akan menyuguhkan pemandangan yang indah. Ia memainkan kukunya. Sesaat ia teringat tentang kejadian kemarin. Rasanya sehari kemarin kesialan berpihak dengan baik padanya. Cindy tak menyangka ia akan menabrak mobil orang pagi-pagi. Mungkin efek kelelahan karena dia memang belum tidur sama sekali. Siangnya terjadi hal yang sama. Jika pagi ia menabrak mobil, maka siangnya orangnya yang ia tabrak. Yang membuat Cindy amat sangat kesal adalah respon yang orang tersebut berikan. Ia ingat betul bagaimana laki-laki itu menolak ganti rugi yang ia tawarkan. Padahal jarang-jarang ia baik bahkan sampai mau ganti rugi. "Yaudahlah, ngapain juga gue pikirin? Bagus deh nggak ngerepotin.." tapi tetap saja ada kesal di hatinya. Semacam harga diri yang terluka. Hmm, atau sebenarnya hanya ego. Tak lama laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Dekan Fakultas Kedokteran tadi kembali. Ia dan Cindy bercakap-cakap sebentar. Sepertinya urusan mereka sudah selesai karena setelahnya Cindy pamit meninggalkan ruangan. "Ok, selesai." Ia bernapas lega. Untung saja ada nama kakek yang bisa ia gunakan sehingga urusannya tidak akan berbelit-belit. Tapi sebenarnya tidak juga. Harusnya Universitas ini yang berterimakasih padanya karena dia sudah bersedia menerima tawaran ini. Yap, selama beberapa waktu ia harus belajar di Universitas ini, ATTAIR University. Sebenarnya Cindy malas membahas alasan kenapa ia sampai berakhir di Universitas ini. Pulang ke Indonesia setelah sekian lama. Hm, sebenarnya tak pernah ada di dalam benaknya. Jika boleh memilih, Cindy tak pernah ingin kembali. Tak pernah ingin menginjak Indonesia lagi. Kenapa? Karena Indonesia punya luka sendiri baginya. Luka masa kecil yang tak akan pernah bisa ia lupakan. Tapi sudahlah, toh dia sudah di sini. Nikmati saja selama satu tahun ini. Sebenarnya kembali ke Indonesia tidak begitu buruk. Sebab, Indonesia melekat dengan dua nama yang punya peran tersendiri dalam ingatannya. Itu juga alasan kenapa ia mau menerima tawaran kampusnya dan kampus ini. Papinya, Jonattan. Dan.. Haras, musuh bebuyutannya saat SD. Orang paling ia benci nomor satu dalam hidupnya. Kapan terakhir mereka bertemu? Sudah sangat lama. Tapi Cindy tau berita tentang Haras. Bagaimanapun, ia masih anak Jonattan. Papinya itu masih kerap menghubungi dan juga mengunjunginya baik saat ia masih di Jepang ataupun saat ia di Amerika. Ya, saat akan masuk kuliah, ia memutuskan untuk melanjutkannya di Negeri Paman Sam. Meski tak diminta, kadang Jonattan keceplosan bercerita tentang Haras. Haras. Cindy benar-benar benci nama itu. Ia tak akan pernah lupa. Haras adalah orang yang sudah merebut Papinya. Orang yang sudah menghancurkan kebahagiaannya. Sampai kapanpun Cindy tidak akan lupa. Ponsel Cindy bergetar. Ia sudah merubahnya ke mode silent tadi. Cindy meletakkan tasnya di samping westafel, kemudian menjawab panggilan setelah melihat siapa yang menelpon. "Hallo, Pi.." "Cindy, sayang. Kamu di mana?" "Kampus.." "Kenapa nggak kasih tau Papi kalau udah di Indo?" "Ini Cindy udah kasih tau.." Terdengar helaan. "Kamu tunggu di situ, Papi suruh orang jemput. Makan siang di rumah sama Papi.." Cindy diam sebentar, seperti menimbang apa ia harus mengikuti keinginan Jonattan atau menolak. Ke rumah berarti ia akan bertemu dengan Ayura dan keluarga bahagia mereka. "Cin.." "Nggak usah jemput, Cindy ke sana sendiri aja pake mobil.." putus Cindy akhirnya. "Kamu yakin? Emang kamu tau jalanan Jakarta?" "Pi, i'm not a kid anymore. Ada GPS.." Tawa Jo terdengar. Kemudian sambungan terputus. Cindy memeriksa ponselnya sebentar, fokus pada benda pipih itu. Beberapa orang memasuki toilet. Cindy tidak begitu perduli karena ponselnya lebih penting. Lalu tiba-tiba tas Cindy jatuh ke dalam westafel yang kerannya tengah menyala. Cindy jelas saja kaget. Ia langsung mengambil tasnya yang sudah basah itu. "Eh sorry, sorry, nggak sengaja," ucap si perempuan yang tadi masuk ke toilet. Cindy menatap perempuan itu. Terlihat tak ada raut bersalah pada wajahnya. Ia justru tersenyum miring bersama teman-temannya. Memandang Cindy dengan pandangan mencemooh. "Sorry?" ulang Cindy dengan ekspresi tak percaya. "Ya sorry, nggak denger? Ups, atau nggak ngerti bahasa Inggris?" Lalu ketiga perempuan itu tertawa entah karena apa. Cindy menatapnya dengan ekspresi sama. "Eh tapi nggak perlu minta maaf juga sih. Yaudah, gue ganti tas lo tenang aja. Paling berapa sih harganya? Paling juga kawe.." Cindy meletakkan ponselnya di sebelah westafel. Bersamaan dengan tasnya yang sudah basah. Ia kemudian maju selangkah. "What did you say?" tanya Cindy dingin. "Nggak usah sok Inggris. Nggak usah sok gaya deh depan gue. Gue tau lo itu miskin, mau sok-sok jadi hits pake barang kawe. Malu-maluin.." Cindy benar-benar geram. Seumur-umur belum ada yang berani merendahkannya begini. Cindy maju kemudian tanpa aba-aba ditamparnya perempuan itu. Jelas saja perempuan itu dan teman-temannya menjerit histeris. "Watch your mouth when you are talking to me!" "Berani-beraninya lo nampar gue! Sialan! Lo nggak tau siapa gue, hah?!" Perempuan itu marah. Ia hendak melayangkan tangan ke Cindy, tapi Cindy lebih dulu mendorongnya. "Jangan berani lo nyentuh gue!" Bentak Cindy. Ia benar-benar sudah marah. "Maju sini kalau berani?!" Tantangnya saat 2 perempuan lainnya ingin maju. Mereka seketika terdiam. Cindy mengambil tasnya. "Kawe?" Ia tertawa. Ia kemudian membuka tasnya, mengeluarkan uang dari dalam dompet. Kemudian dilemparnya uang itu ke perempuan tadi. "Gue kasih cuma-cuma buat beli baju. Beli baju yang lebih layak. Soalnya lo kelihatan murahan.." setelahnya Cindy melengos pergi. Tak lupa mengambil ponselnya tentu saja. ... Cindy benar-benar kesal. Tas ini baru dipakainya dua kali. Bukan karena itu saja, tapi tas ini limited. Bukan karena harganya, tapi karena orang yang memberikannya. "Ah, sial!" Rasanya kesialan tak pernah berhenti mengikutinya. Cindy melirik jam. Ia sedang menunggu taksi onlien pesanannya di depan gedung FK. Mobilnya sedang di bengkel, jadi ia tak punya pilihan selain memakai jasa taksi online. Tas nya sudah basah sekarang dia juga harus menunggu. Bayangkan betapa menyebalkannya itu. Di saat tengah menunggu, pandangan Cindy menangkap sosok yang kemarin berhasil merusak moodnya seharian. Laki-laki itu tengah berbicara dengan dua laki-laki lain. Mungkin temannya. Tak lama kemudian datang satu orang lainnya yang membuat kening Cindy mengerut. Kemudian bola matanya membesar. "Haras?" Gumamnya tanpa sadar. "Hai..." Cindy mendengar suara sapaan yang berasal dari seorang perempuan yang baru datang menghampiri keempat laki-laki tadi. Tidak jelas, Cindy hanya mendengar mereka tertawa. Ia masih memperhatikan sampai kelima orang itu berpisah. Haras pergi bersama si perempuan. Cindy berpikir sebentar. "Nggak mungkin, kan?" Ia seolah bertanya pada dirinya sendiri. ... [Cindy Pov] Aku sampai di depan rumah megah yang tidak berhasil membuat aku tercengang. Jika mengingat siapa penunggu rumah ini, aku sama sekali tidak terkejut. Papi sepertinya begitu mencintai keluarganya sampai rela membangun rumah semewah dan semegah ini. Sudahlah tidak usah dibahas. Aku sedang tidak mau mengingat betapa bahagia mereka. Dengan tenang aku memasuki rumah setelah ART membukakan pintu. Aku tidak tau kenapa mereka bisa mengenalku karena mereka langsung menunduk sopan dan mempersilahkan aku masuk. Mereka bahkan memanggilku dengan sebutan nona. "Tilaaaaa......!!" Sesosok makhluk kecil langsung berlari ke arahku. Ia langsung memelukku tanpa aba-aba. Tak lama Papi muncul, bersama istrinya Tante Ayura. "Sena, kasih kakak istirahat dulu," tegur Tante Ayura. "Ayo Cindy, duduk. Pasti capek kan.." Jujur saja, aku tidak suka keramahan Tante Ayura. Bagaimanapun, ia adalah orang bersalah di mataku. Tapi... "Til.." Sena menarikku agar mensejajarkan posisi dengannya. Ia membisikkan sesuatu padaku. Aku otomatis tersenyum, meliriknya dengan cibiran. "Bohong.." Ia menatapku dengan muka serius. "Ih, Sena nggak bohong.." "Iya, iya percaya.." entah bagaimana aku bisa dekat dengan Sena, anak kedua Papi dengan Tante Ayura, adik Haras. Padahal aku tidak suka bahkan pada adikku, anak Mami dengan suami barunya. Tapi Sena, semacam ada magnet yang membuatku tidak bisa membencinya. Papi menghampiriku kemudian memelukku. "Papi kangen sama kamu.." Aku hanya tersenyum. Kami—aku, Papi dan Sena sedang berkumpul di ruang keluarga. Tidak heran para ART mengenalku. Fotoku terpajang di dalam rumah. Aku tidak melihat Tante Ayura. Mungkin ia sedang menyiapkan makan siang untuk kami. Aku tidak perduli. "Gimana urusannya? Udah beres?" "Hm.." Sena sedang memainkan game di iPadnya dengan posisi bersender sepenuhnya padaku. Sepertinya ini posisi favoritnya karena ia terlihat sangat nyaman. "Terus Cindy tinggal di mana?" "Ada, asrama dekat kampus.." asrama yang aku sebut itu sebenarnya apartemen. Semacam tempat tinggal khusus yang memang dibangun untuk anak-anak kampus. Mungkin itulah kenapa mereka menyebutnya asrama padahal sebenarnya bukan asrama juga. Toh tinggal di situ tidak gratis. "Hmmm, Cindy udah ketemu Haras?" Aku yakin Papi cukup hati-hati saat menanyakan itu karena nada suaranya berubah. Tapi Papi tidak perlu tau bahwa aku membenci anaknya, setidaknya ia tidak perlu tau kalau aku "sangat" membenci anaknya. "Belum. Emang Haras tinggal di mana?" "Dia.." belum sempat Papi menjawab, tiba-tiba ada suara dari arah depan. Setelah mengucapkan salam aku mendengar ia memanggil "Mami". "Mi, Har bawain.." kalimatnya terpotong saat pandangan kami bertemu. Tidak hanya aku, Haras pun sepertinya terkejut. Sungguh, aku tidak tau Haras akan datang, maksudku akan pulang hari ini. "Har.." Papi bersuara. Aku berdehem pelan. Haras terdiam selama beberapa waktu, lalu kemudian ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak lama Tante Ayura muncul. "Haras udah datang, ayo makanannya udah siap.." "Ayo, Cindy.." ajak Papi. Kenapa harus bertemu Haras di sini? ... Selama makan, aku benar-benar hampir 100% diam. Bahkan pertanyaan Papi ataupun Tante Ayura aku jawab sekenanya saja. Kadang aku jawab dengan gumaman. Kenapa Haras harus duduk di depanku. "Til.." Sena menyenggol lenganku. Aku menoleh. "Kenapa?" "Tidur di sini kan?" "Ehm, enggak.." "Kenapa?" Kami jadi bicara bisik-bisik. "Kenapa ngomongnya bisik-bisik gitu?" Sela Papi. "Rahasia," jawab Sena. Tante Ayura tersenyum. "Sok rahasia.." Sena mengendikkan bahu kemudian melanjutkan makannya. "Har," Papi memandangi Haras yang sejak tadi juga tidak bersuara. "Iya, Pi.." jawabnya. Mukanya benar-benar menyebalkan. Rasanya aku ingin melempar piring makananku ke wajahnya. Kemudian Papi menoleh padaku. Kenapa Papi memandangiku? "Kayak yang Papi kasih tau kemarin, Cindy selama beberapa waktu ini akan ada di Indonesia." Papi menjeda. Aku perhatikan ekspresi Haras diam-diam. "Nggak cuma itu, Cindy juga akan belajar di ATTAIR selama kurang lebih satu tahun.." Uhukk.. Haras tersedak. Tante Ayura bergegas memberikan air. Apa-apaan reaksinya itu? "Apa, Pi?" "Iya, Cindy akan melakukan pertukaran pelajar. Ia akan kuliah di kampus kamu selama satu tahun." Dan Haras terus saja memandang ke arah Papi. Ia sama sekali tidak memandang ke arahku. "Jadi, Papi harap kamu bisa menjaganya. Bagaimanapun kalian berdua itu anak Papi. Papi mau kalian saling menjaga satu sama lain.." Uhukk.. gantian aku tersedak. Sendok yang aku pegangi jatuh ke lantai. "Biar aja, Tante ambil yang baru.." Aku meneguk habis air dalam gelas. Tante Ayura menyerahkan sendok baru. Saling menjaga satu sama lain? Aku menatap Papi dan Haras bergantian. Apa Papi sedang bercanda? Aku pandangi Haras lagi. Ia hanya menatap piringnya tanpa bicara lagi. Sepertinya kami sama-sama tidak menyukai satu sama lain. ... "Cindy nggak bawa mobil?" Aku menggeleng. "Cindy nggak pakai mobil?" "Pake kok, cuma.." aku malas menjelaskan pada Papi bahwa aku baru saja menabrak mobil orang. "Sengaja aja ditinggal.." "Yaudah, baliknya sama Haras aja. Har, anterin Cindy ya. Sekalian kalian bisa ngobrol. Udah lama kan nggak ketemu.." Papi ini tidak peka apa gimana sih? Apa tidak lihat anaknya saling membenci? Haras tidak membantah. Setelah bincang-bincang sebentar, kami segera pamit. Sena awalnya kesal karena aku tidak menginap, tapi berkat bujukan maut dan janji akan datang lagi, akhirnya dia menurut. Tante Ayura juga membungkuskan aku makanan yang awalnya aku tolak. Karena terpaksa akhirnya aku bawa juga. Selama lima menit perjalanan, tak ada yang bersuara di antara kami. Aku malas dan sepertinya Haras sama. "Kamu tinggal di mana?" Haras bersuara. Aku menoleh tapi ternyata pandangan Haras masih fokus pada jalanan. Aku memutar bola mata. Kamu? Kenapa dia jadi sopan begitu? "Nggak usah sok baik, nggak usah sok ramah juga. Udah nggak ada siapa-siapa di sini. Nggak usah pura-pura.." sahutku ketus. "Nggak berubah ya. Aku kira semakin besar kamu makin dewasa, taunya masih sama, childish." Apa? "Apa? Childish? Lo baru ketemu gue dua jam udah ngatain gue childish!" Haras tak menjawab. Aku melipat tangan di d**a. "Fyi aja ya, supaya lo nggak lupa. Gue nggak suka sama lo. Gue benci banget sama lo." Aku menekan setiap kata-kataku. "Terserah kamu. Itu urusan kamu," jawabnya datar. Lalu kami kembali diam. "Kamu tinggal di mana?" tanyanya lagi. Kami sudah dekat area kampus. "Sampe asrama lo aja, nggak perlu nganterin gue." "Ok." Aku kemudian lebih fokus pada ponselku dan tak memperdulikan Haras. Isi dalam ponsel lebih menarik daripada wajahnya yang menyebalkan. Tak lama mobil berhenti. Aku langsung melepas seatbelt dan berniat turun. "Ngapain di sini? Eh tunggu, lo tinggal di sini?" Aku pandangi gedung di depan. Haras mengangguk. Demi apa? Ia kemudian turun. Haras mengunci mobilnya setelah aku turun, kemudian pergi begitu saja. Saat di tangga, Haras tiba-tiba berhenti. "Kamu ngapain ngikutin aku?" tanyanya. Aku mendengus. "Tunggu, kamu tinggal di sini?" Sambungnya. Aku memutar bola mata jengah. Kemudian berlalu melewatinya begitu saja. "Nasib sial emang gue satu gedung sama lo," ucapku yang aku yakin Haras mendengarnya. ... [Haras Pov] Pintu terbuka tepat pada ketukan kedua. Sebenarnya aku bisa saja langsung masuk karena aku punya kuncinya, tapi Baby sedang di dalam. Tidak mungkin aku nyelonong karena aku tidak yakin apa yang sedang dia lakukan. Aku langsung merebahkan diri di kasurnya. "Kenapa mukanya kusut gitu?" tanya Baby. Ia sepertinya sedang berkutat dengan Mac nya. Mungkin urusan kepanitiaan acara FoA. Aku yakin dia belum mandi karena dia masih memakai pakaian yang sama dengan yang tadi. Rambutnya pun ia jepit secara asal. Aku menatapnya beberapa waktu. Kaca mata besar itu terlihat lucu di hidung mungilnya. Kenapa pacarku bisa sangat menggemaskan begitu? Tidak aneh namanya Baby karena dia memang terlihat imut-imut seperti bayi. "Kok malah bengong?" "Oh, nggak kenapa-kenapa kok. Kamu lagi ngapain?" Baby menjelaskan pekerjaannya. Aku hanya mengangguk mengerti. Kemudian aku kembali merenung. "Be.." Baby kembali memanggil. "Ada apa? Kamu ngelamun gitu.." ia arahkan perhatian sepenuhnya padaku. Memang susah berbohong padanya. "Hmm, aku ketemu Cindy tadi," tak ada reaksi. Dia masih diam. "Di rumah." "Di rumah? Rumah kamu?" Aku mengangguk. Apa aku harus memberitahu Baby semuanya? Aku kemudian duduk. Menopang badan dengan kedua tangan menyangga ke belakang. "Hmmm, sebenarnya.." aku menatapnya. Ia menunggu dengan sabar. "Cindy bakal kuliah di sini, selama setahun.." Baby kali ini terkejut. Siapa yang tidak akan terkejut? Aku saja terkejut. Bagaimana bisa dia tiba-tiba kuliah di sini sementara aku taunya dia di Amerika? "Pertukaran pelajar.." tambahku. "Jurusan?" Aku mengendikkan bahu. Kalau soal itu aku tidak tau. Papi tidak mengatakan dan aku juga tidak bertanya. Tapi Kayhan bilang dia bertemu Cindy di FK. Tapi siapa yang tau? Dia bisa jurusan apa saja kan? Lalu kami sama-sama terdiam. Baby kemudian sudah kembali pada pekerjaannya. "Besok OSPEKnya mulai kan?" "Hm.." aku kembali merebahkan diri di kasur. Malam ini tidak ada kegiatan. Semua persiapan sudah rampung tadi siang. Anak-anak memang mengajak berkumpul malam ini, melepas penat di kafe dekat kampus, tapi aku sedang malas keluar. "Kamu mau cemilan nggak?" "Apa?" "Buah.." "Boleh deh.." Baby kemudian beranjak. Sembari menunggu, aku memilih memainkan game di ponsel. Tiba-tiba pintu kamar Baby diketuk. Baby beranjak menuju pintu. Kemudian aku mendengar ia bicara dengan seseorang. "Ada Haras?" Itu seperti suara Kak Dara. "Hai, Kak," aku menyapa. "Har," sapa Kak Dara sambil tersenyum. "Maaf ya ganggu," ia melirikku. Aku hanya tersenyum. "Kenapa Kak?" tanya Baby. "Kakak titip ini ya, nanti ada temen Kakak yang jemput ke sini. Tenang aja, cewek kok. Kakak agak malam pulang soalnya.." "Oh, oke kak." "Namanya Caca. Ntar kakak suruh dia ke sini." "Makasih ya. Udah lanjut," kata Kak Dara sebelum berlalu. "Kak Dara udah mau tamat kan ya?" Baby mengangguk. "Kalau Kak Dara tamat temen kamu di sini siapa?" Baby menoleh. "Orang di gedung ini kan bukan kak Dara sendiri." "Tapi yang deket sama kamu kan cuma Kak Dara.." Baby terlihat berpikir. "Ya nggak mungkin juga kan aku nahan Kak Dara di sini.." Aku menatap punggung Baby. "Kalau kamu pindah ke gedung aku gimana?" Baby berbalik. "Ih ngaco.." "Atau aku pindah ke sini?" Baby geleng-geleng. Ia kembali pada pekerjaannya. Sebenarnya tidak ada masalahnya juga aku mau tinggal di mana. Toh kami tetap bisa bertemu seperti ini. Tapi kadang karena suatu alasan, aku masih cemas jika Baby tinggal sendiri atau jauh dariku. "By.." "Hm.." "Milani masih suka sama Kayhan?" "Kenapa tiba-tiba nanya itu?" "Nggak, tiba-tiba keinget aja." "Nggak tau sih. Dia nggak pernah bahas soal Kayhan. Bisa aja masih bisa juga enggak. Kayhan udah punya cewek?" Aku menggeleng. Kemudian aku lihat Baby mematikan Mac nya. Ia duduk menghadap lurus ke arahku. "Masih belum move on dia.." "Darina?" Terka Baby. Aku mengangguk. Darina adalah pacar Kayhan yang meninggal beberapa tahun lalu. Bukan kecelakaan, tapi memang sakit. Untuk suatu alasan, kadang orang yang pergi karena sakit justru lebih menyisakan duka. "Aku nggak pernah ngalamin sih, tapi aku bisa ngerti perasaan Kayhan.." ujar Baby. Aku menghela napas. "Aku yang jahat sama dia. Kemarin aku nyuruh dua bikin rumah sebelah kuburan Darina.." "Ih kok jahat gitu," omel Baby. Aku terkekeh pelan. Kayhan tau aku bercanda karena kami memang seperti itu. Tapi aku juga agak menyesal sebenarnya. Lebih tepatnya merasa bersalah. "Ya aku cuma nggak mau dia berlarut-larut. Kadang aku liat dia kaya orang b**o', By.." Baby memanyunkan bibir. "Kasih pengertian baik-baik ke dia. Aku tau kamu perduli sama dia." Aku mengangguk. Pacarku memang baik. "Jadi makin sayang.." aku mengedipkan sebelah mata padanya. Seketika Baby mengerutkan kening tanpa bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. "Tiba-tiba. Udah aku mau mandi.." Baby beranjak dari tempatnya. Saat dia hendak melewati tempat tidur, aku tarik tangannya membuatnya berakhir di kasur. "Aaahhh, Be, kamu mau ngapain?" Jeritnya kaget. Aku tertawa. "Stt jangan kencang-kencang, ntar orang denger.." aku mengurung Baby dengan kedua tangan, setengah memeluknya. "Aku belum mandi.." ucapnya tertahan. Aku tersenyum, menggodanya. "Be.." Dalam gerak cepat aku berikan sebuah kecupan pada bibirnya. Hanya sekilas. "Dah sana mandi.." aku lepaskan dia. "Dasar.." katanya protes sebelum berlalu menuju kamar mandi. Aku hanya tersenyum kemudian menjadikan sebelah tangan sebagai bantal. Sepertinya tidak ada yang perlu aku cemaskan soal Cindy. Toh Baby juga baik-baik saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD