[Baby Pov]
Pak Irman sedang menerangkan tentang tugas yang harus kami kumpulkan minggu depan.
"Satu kelompok boleh 2 atau 3 orang ya.."
"Yah, jangan, Pak. Nanti kasihan jadi obat nyamuk.." si Dicky, si pembuat onar menyahut. Sontak saja kelas langsung heboh meneriakinya.
Pak Irman mengangkat tangan, berusaha mengendalikan kelas. "Yaudah sekelompok cowok semua.."
"Yah m**o dong, Pak.."
Kelas kembali heboh. Aku hanya bisa geleng-geleng melihat ulah temanku itu. Milani menoleh padaku. "Sekelompok ya.."
Aku tersenyum, mengangguk.
"Satu lagi siapa?"
"Terserah aja.."
Pak Irman sudah meninggalkan kelas. Satu persatu mahasiswa juga mulai meninggalkan kelas.
"Lo duluan ke kantin deh, Mil. Gue mau ke perpus dulu..."
"Ih gue ikut.."
"Yakin. Lo kan gasuka perpus. Gue bentar doang.."
"Gue juga malas ke kantin sendirian.."
"Ya udah, ayok.."
Kami meninggalkan kelas. Tapi akhirnya karena suatu alasan Milani berubah pikiran. Ia langsung menuju kantin dan kami berpisah di lorong. Aku ke perpus untuk mengembalikan buku yang aku pinjam.
"Ada kartu mahasiswa?"
"Ada, Buk.." Ibu penjaga perpus menerima kartu yang aku ulurkan. Sembari menunggu, aku memilih untuk melihat-lihat buku di rak terdekat. Ternyata buku-buku tentang literasi dan sastra. Aku mengambil satu buku. Sepertinya cukup menarik.
"Baby.."
Aku langsung menoleh dan mendapati orang yang tidak pernah aku sangka akan berada di perpustakaan fakultasku kini berdiri di depanku tengah tersenyum.
"Bang Ron, ngapain di sini?" spontan aku bertanya. Tentu saja aku terkejut dia muncul di sini. Fakultas kami punya jarak yang lumayan jauh. Ada urusan apa sampai anak teknik ini bisa muncul di perpus SB?
Bang Ron tersenyum. Sebenarnya aku dulu memanggilnya dengan embel-embel Kak, tapi dia memintaku menggantinya dengan Bang. Katanya kalau Kak itu nggak keren. Dia merasa kurang maskulin dipanggil Kak. Jadilah kami memanggilnya dengan sebutan Bang. Ada-ada aja nih si Bang Ron.
"Ada urusan. Mau nyari buku.."
"Di sini?"
Dia mengangguk.
"Kamu ngapain di sini? Nyari buku juga?" ia balik bertanya.
Aku menggeleng. Kemudian menunjuk ke arah penjaga perpus, memberitahu kalau aku sedang mengembalikan buku.
"Udah ketemu bukunya, Bang?"
"Belum. Kirain perpus kalian kecil. Taunya gede juga.." ia menggaruk tengkuk sambil tertawa. Aku jadi curiga. Ini benar-benar sedang mencari buku atau sedang mencari yang lain?
"Haras kapan balik?" tanyanya tiba-tiba membuat aku sedikit terkejut.
"Hah, oh itu.."
"Gausah kaku gitu. Aku tau kali kalian berdua pacaran.." ia tersenyum, melipat tangan di d**a. Aku hanya bisa tersenyum. Tidak menyangka Bang Ron tau. Entah karena dia dekat dengan Haras atau dia memang peka. Rasanya memang terlihat aneh Bang Ron menggunakan aku-kamu bicara denganku. Mungkin karena dia senior, aku juga lebih nyaman bicara sopan begitu dengannya. Ya meskipun anak-anak lain pakai gue-lo saat bicara dengannya.
"Btw nih kamu nggak ikutan marah sama aku, kan?"
Aku menaikkan alis karena bingung.
"Itu yang masalah si Haras sampai pingsan.."
Aku langsung tertawa. "Ya enggaklah. Ngapain juga marah karena itu? Sejujurnya sih emang agak ngeri ngebayangin OSPEK Fakultas Teknik. Tapi aku bisa ngerti sih tradisi di situ masih kuat.."
Bang Ron manggut-manggut. "Harusnya kamu masuk fakultas kami, By.."
Aku kembali tertawa. Begitu urusanku selesai, aku segera meninggalkan perpus. Bang Ron juga sudah melanjutkan pekerjaannya yang katanya mencari buku itu.
...
"Lama banget balikin buku.."
Aku meletakkan tas di atas meja. Kemudian meninggalkan Milani untuk memesan makanan. Tidak butuh waktu lama karena kebetulan tempat aku memesan sedang tidak ramai antrian.
"Tadi ketemu Bang Ron di sana. Ngobrol bentar.."
"Siapa?"
"Bang Ron.."
"Senior si Haras?"
Aku mengangguk. Milani memang mengenal banyak anak teknik. Tapi dia tidak begitu dekat dengan para seniornya. Apalagi Bang Ron sudah mahasiswa akhir. Aku pun sering bertemu Bang Ron secara kebetulan kalau sedang jalan dengan Haras dan Kayhan.
"Yang rambut panjang itu? Yang kayak vampir?"
Aku memutar bola mata. "Iya sayangku. Yang kayak vampir, yang ganteng itu. kenapa? Naksir?"
Milani mencibir. "Sembarangan..."
Aku terkekeh. "Habisnya nanyainnya gitu banget."
Kami kemudian sudah fokus pada makanan masing-masing. Ponselku berbunyi. Pesan dari Haras. Aku baru ingat kalau belum berkirim pesan dengannya seharian ini.
"Eh iya, By, ntar sore ada pertemuan sama duta fakultas kan?"
"Iya. Lo ke sana juga, kan?"
Milani mengangguk. "Iya. Tapi si Haras lagi nggak ada."
Aku menatap layar ponsel, membaca kembali pesan Haras.
...
"Adik-adik semuanya, silahkan berbaris ya!!"
Aku melirik jam yang melingkar di tanganku. Panitia sedang mengumpulkan semua duta. Ada beberapa yang baru datang. Panitia kemudian mengabsen.
"Angga ya?"
"Iya, Kak.."
"Kamu ikut kakak ini ya. Yang lainnya mohon fokus mendengarkan penjelasan dari kakak ya.."
Anak laki-laki bernama Angga itu mengikutiku untuk mengambil foto profil.
"Santai aja, nggak usah kaku.." aku tersenyum. Ia pun tersenyum meski masih terlihat agak tegang. Kemudian fotografer muncul dan meminta Angga untuk bersiap. Untungnya tidak butuh waktu lama.
"Oke kan?" tanya Dito. Aku mengangguk menyetujui foto yang ia ambil. Kemudian aku membawa Angga untuk kembali ke tempat teman-temannya berkumpul.
"Kamu harus kerja lebih keras ya. Soalnya kamu udah agak ketinggalan sama teman-teman kamu. Tapi nggak usah khawatir, temen-temen sama kakak-kakak staff pasti bakal bantuin.." aku menepuk bahunya. Angga mengangguk.
Aku lihat Milani dan beberapa duta fakultas angkatan 17 dan 18 sudah datang. Mereka tengah mengobrol.
"Baiklah, kita akan minta kakak-kakak duta angkatan 18 untuk berbagi pengalaman mereka.."
Sementara duta angkatan 18 sharing dengan para duta angkatan 19, aku pun menghampiri Milani.
"Siap-siap. Lo juga harus kasih nasehat buat mereka.."
Milani mengangguk. "Ih males deh gue sendirian, By." Milani memanyunkan bibirnya. Aku menepuk bahunya.
"Biasanya juga lo sendiri."
"Anjir, jahat banget.."
Aku terkekeh.
"Ih itu Kak Haras..." tiba-tiba duta angkatan 19 itu ribut. Aku tersentak kaget. Haras? Aku menoleh ke arah mereka melihat. Benar. Haras sedang melangkah memasuki gedung tempat kami latihan. Ia tidak sendiri. Seperti biasa ia bersama Kayhan.
"Tenang ya adik-adik.." panitia mengambil alih, menenangkan adik-adik itu.
"Kok kaget gitu muka lo?" Kayhan mencibir padaku.
"Aku kira kamu becanda.."
Haras mengacak rambutku disertai sebuah senyuman di bibirnya.
"Kebetulan nih lo udah datang, Har. Ayo Haras, Milani, kasih sepatah dua patah kata sama adik-adik. Kasih semangat..." ujar salah satu panitia. Haras mengangguk. Ia dan Milani kemudian ikut bergabung dengan yang lain bersama adik-adik duta fakultas.
"Kapan dia datang?" tanyaku pada Kayhan.
"Baru sih. Dia tiba-tiba nelpon minta jemput. Gue juga ngiranya dia becanda.."
Aku manggut-manggut. Dia tadi memang memberitahu kalau dia sudah sampai di bandara.
"Tadi lo jemput ke mana? Bandara apa asrama?"
"Asrama. Kenapa?"
Aku menggeleng. Apa Cindy sudah kembali juga?
...
Pertemuan sudah selesai. Latihan untuk para duta akan dimulai minggu depan. Milani berbincang dengan Paris entah membahas apa. Tak lama ia bergabung bersama kami.
"Makan dulu yuk. Laper nih.." ajak Haras.
Aku mengangguk. Perutku juga lapar. "Paris ke mana?"
"Dia mau kumpul sama temannya katanya ada urusan apa gitu gatau. Kalian pada mau makan ya. Yaudah deh.."
"Eh lo mau kemana?" aku menahan tangan Milani.
"Gue nggak ikut deh.."
"Loh kenapa? Udah ayuk ikut aja. Sekalian. Udah lama juga kita nggak makan bareng.." kali ini Haras yang bicara. Milani terlihat ragu. Aku tau kenapa ia sepertinya enggan untuk ikut. Milani membuang napas pelan, lalu akhirnya mengangguk setuju. Aku tersenyum kemudian merangkul lengannya.
"Yuk.."
Kayhan yang sedang fokus pada ponselnya menoleh, kemudian mengikuti langkah kami.
...
Restoran tempat kami makan sedang tidak terlalu ramai. Kami tidak perlu sampai berebut meja untuk bisa duduk. Sembari menunggu pesanan kami datang, Kayhan dan Haras membahas tentang kegiatan OSPEK fakultas mereka. Aku dan Milani hanya mendengarkan. Sepertinya tidak ada masalah di sana selama Haras pergi. Hanya saja amarah pada Ren sepertinya masih ada meski sedikit.
"Tadi aku ketemu Bang Ron di perpus.."
Kayhan dan Haras saling pandang. "Bang Ron? Perpus mana? Perpus lo?" tanya Kayhan. Aku mengangguk.
"Bang Ron ngapain di perpus kalian?"
"Katanya nyari buku. Nggak tau juga.."
Kayhan hampir tersedak karena menahan tawa. "Nyari buku? Anak teknik semester akhir nyari buku ke fakultas seni? Buku apaan?"
Aku mengendikkan bahu. Sebenarnya aku juga curiga. Tapi kalau dia bilang begitu aku bisa apa.
"Nyari yang lain kali.."
"Nyari yang lain?" Milani akhirnya buka suara. Sejak tadi ia hanya diam saja.
Haras dan Kayhan mengangguk. "Mungkin ada yang ditaksir sama dia di fakultas kalian..." ujar Kayhan lagi.
Itu kemungkinan paling besar. Aku juga sempat menduga begitu. Sepertinya Bang Ren sedang pedekate dengan anak dari fakultasku. Tapi kenapa harus di perpus?
"Tapi kenapa harus ke perpus coba?" aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku.
"Kali aja yang dia suka tuh cewek yang rajin ke perpus.." timpal Milani. Ada benarnya juga.
"Gue baru tau Bang Ren sukanya sama yang anak perpus gitu.." Haras menambahi.
Kami manggut-manggut.
"Tapi kalau anak perpus di fakultas seni sih cantik-cantik. Nggak yang nerd-nerd banget lah..." itu Milani yang bicara. "Nih contohnya.." ia menunjukku.
"Ih apaan. Kok gue?"
"Ya kan lo temen akrab sama perpus. Tiap hari ada aja alasan lo buat ke perpus.." Milani mencibir.
Aku memanyunkan bibir.
"Jangan-jangan Bang Ron lagi pedekate sama lo, By.." ujar si Kayhan tiba-tiba. Aku melotot.
"Itu asumsi dari mana?"
Kayhan terkekeh, mengendikkan bahu cuek.
"Nggak mungkin lah.."
"Loh kenapa?"
"Bang Ron tau kali gue sama Haras pacaran."
"Emang ada jaminan gitu dia nggak mau nikung?"
Aku memutar bola mata. Aku tau kalau dua anak manusia ini sedang berusaha menggodaku.
"Udah becandanya. Nggak lucu. Bang Ron tuh senior lo, loh. Tega banget ngatain dia.."
"Ya mana tau aja kan gue bisa nonton tinju gratis habis ini." Kayhan tersenyum, menepuk bahu Haras. "Lo nggak cemburu kan, bro?"
Haras menepuk tangan Kayhan. "Cemburu pala lo peyang.."
Makan malam kami berlangsung hangat. Kecanggungan antara Kayhan dan Milani yang biasanya aku lihat juga sepertinya berkurang drastis. Mereka bahkan sudah mulai bicara satu sama lain. Biasanya jangankan mengobrol, bertatap muka saja tidak. Aku tidak yakin atas sikap Milani. Apa dia sudah move on dari Kayhan atau belum. Dia juga tidak pernah lagi bercerita tentang Kayhan padaku sejak semester baru dimulai. Tapi terserahlah. Bagiku yang penting mereka sudah tidak saling menghindar lagi.
...
"Lo bareng Milani ya, asrama kalian kan sebelahan. Gue sama Baby mau pergi dulu sebentar..."
Kayhan mengangguk. Haras kemudian melaju mobilnya meninggalkan parkiran kampus, di mana mobil Kayhan parkir. Kami meninggalkan mereka berdua di sana. Semoga saja mereka tidak saling jambak rambut nanti.
"Mau ke mana?" akhirnya aku bertanya pada Haras.
"Makan es krim.."
Aku menatapnya dengan mata membesar. "Kenapa nggak tadi aja sekalian?"
"Tadi ada si Kay.."
"Ih kok gitu.." aku mencubit lengannya. Haras hanya mengaduh pelan.
"Be.."
"Hmm?"
"Gimana Cindy?"
"Baik."
"Dia pulang bareng kamu?"
Haras menggeleng. "Es krim tempat biasa kan?"
Aku mengangguk. Aku menatap laki-laki yang sudah bersamaku hampir seumur aku hidup itu. Dan aku menyadari bahwa ia menghindari pembahasan tentang ini lagi.
...
Aku sampai di kamar. Berbaring di kasur menatap langit-langit kamar. Begitu mengantarku ke asrama, Haras langsung pulang. Dia pasti sudah kelelahan. Aku merogoh ponsel di dalam tas. Tapi yang aku temukan justru ponsel Haras. Astaga, ponselnya tertinggal di dalam tasku. Ada beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari teman-teman dan seniornya. Sepertinya Haras sangat membutuhkan ponsel ini. Aku tidak bisa menghubunginya jadi aku putuskan untuk mengantar ponsel ini ke asramanya.
"Kak.." sapaku begitu Kak Dara membuka pintu kamarnya. Sepertinya dia sudah tidur tadi karena wajahnya agak kusut dan dia sudah memakai piyama. Aku jadi tidak enak membangunkannya. "Duh, maaf ya Kak, Baby bangunin kakak.."
"Nggak kok. Kakak baru bangun sebenarnya, tidur dari tadi siang.." ia terkekeh. Kak Dara memperbaiki letak kaca matanya. "Kenapa?"
"Kakak mau keluar ya?"
Kak Dara menggeleng. "Nggak sih."
"Mau pinjam mobil, Kak. Boleh nggak?"
Kak Dara mengangguk. Ia kemudian mengambil kunci mobil dan menyerahkan padaku. Aku sedikit terkejut karena kunci mobilnya berbeda dengan kunci mobil kak Dara yang biasa. Apa dia ganti mobil?
"Pinjem dulu ya. Mau nitip sesuatu nggak?"
"Kamu mau ke mana emang?"
"Asrama Haras.."
"Oh.. hmm boleh deh nitip kwetiau yang deket asrama si Haras." Kak Dara menyerahkan selembar uang.
"Ok deh."
"Hati-hati ya.."
Sampai di bawah aku menekan remot, untuk mencari yang mana mobil Kak Dara. Ternyata benar. Sebuah Mercy baru terlihat mengkilat di antara banyak mobil di parkir asrama. Mungkin Kak Dara sedang mengganti suasana. Padahal seingatku dia pernah bilang kalau dia sangat sayang pada mobilnya yang lama. Sudahlah. Aku menekan pedal gas, meninggalkan asrama.
Begitu memasuki gedung asrama Haras, aku menemukan masih cukup banyak orang di sekitar lobi. Ada yang berkelompok ada juga yang hanya berdua. Aku langsung menuju ke atas. Ponsel Haras sudah tidak berbunyi. Sebenarnya tadi ada telfon dari Kayhan dan dia menawarkan untuk mengantarkan ponsel Haras. Tapi aku menolak karena aku tau Kayhan juga lelah seharian.
Aku sampai di depan pintu kamar Haras. Ternyata pintunya tidak dikunci dan terbuka sedikit. Kenapa rasanya seperti de javu. Rasanya kejadian ini tidak asing. Entah kenapa jantungku berdebar sangat kencang. Aku hendak mengetuk saat samar-samar aku mendengar suara obrolan dari dalam.
"Kaki lo tuh masih sakit. Kenapa sih bandel banget dibilangin?"
"Kaki aku nggak sakit.."
"Kaki lo tuh merah, masih bengkak tuh sedikit. Coba deh jangan mengabaikan hal kecil kayak gitu. Kalau tambah parah gimana?"
"..."
"Angkat coba.."
"Mau ngapain?"
"Udah diam. Ini salep biar bengkaknya cepet hilang. Lo udah dibilang kakinya jangan dibawa jalan dulu, bandel banget.."
Tak ada jawaban lagi dari Haras. Aku menarik napas dalam, kemudian mengetuk pintu. Begitu pintu aku dorong, keduanya menoleh padaku secara bersamaan. Dan Haras terlihat sangat terkejut dengan kehadiranku.
Cukup lama kami saling bertatap. Cindy sepertinya juga kaget.
Aku tersenyum. "Hape kamu ketinggalan di tas aku.." aku melangkah mendekat. Menyerahkan ponselnya pada Haras. Ia menerima ponselnya tanpa mengalihkan tatapan dariku. Ekspresinya masih sama.
Cindy kemudian langsung berdiri. Membiarkan kaki Haras tergeletak di lantai. Mereka keduanya bungkam.
"Kaki Haras gimana, Cin?" tanyaku.
Cindy berdehem. "Udah lumayan, cuman masih agak bengkak aja."
"Yakin kamu nggak mau ke rumah sakit, Har?" tanyaku. Dan aku jadi pengecut lagi.
Aku lihat ada perubahan ekspresi pada wajah Haras. Rahangnya terlihat mengeras. Dia tidak menjawab.
"Nggak harus ke rumah sakit, kok. Dikasih salep aja yang teratur.." Cindy kembali bersuara.
Aku mengangguk.
"Gue balik dulu.." Cindy berlalu.
"Cin.." panggilku membuat langkah Cindy terhenti. ia menoleh. Aku tersenyum lagi padanya.
"Makasih ya..."
Tak ada jawaban. Cindy kemudian meninggalkan kamar Haras. Aku menggigit bibir bawah. Masih belum mengarahkan pandangan pada Haras. Jujur saja, aku tidak tau bagaimana bicara padanya saat ini. Meski ingin, tapi sulit.
"By.." Haras meraih tanganku.
Aku menarik napas, balik badan, tersenyum padanya. "Hmm.."
"Cindy ke sini karena ada barangnya yang kebawa sama aku. Dia Cuma jemput itu."
Aku mengusap tangan Haras. "Iya. Tenang aja.." aku kemudian jongkok. Melihat kaki Haras yang ternyata memang masih sedikit bengkak. Aku tidak menyangka bisa separah ini.
"Ini beneran nggak apa-apa?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, Haras justru menarikku ke dalam pelukannya. Aku agak terkejut.
"Kamu jangan salah paham ya, By..." pintanya di sela rambutku.
Jika bisa, aku sebenarnya tidak ingin jadi pengecut bodoh. Tapi sayangnya aku benar-benar seorang pengecut. Dan dalam konteks ini, sangat susah untuk membuat otak dan hati jadi sejalan.
"Kayhan tadi nelpon. Kayaknya penting. Coba telfon dia dulu..."
***