'Kumpulan harapan soal masa depan yang baik itu seolah pupus berganti menjadi ambisi, hingga apa pun pasti dilakukan.'
Back to Normal With Me
~Thierogiara
***
Bas meminum air putih yang sedari tadi teronggok di sebelah tangannya, laki-laki itu lantas menatap mamanya, dia sudah mengambil keputusan, dia yakin dia mencintai Jacob, dia hanya harus menikahi seorang pembantu, mereka tak harus hidup bersama selamanya.
"Bas mau menikah," ujar Bas tiba-tiba.
Sonya langsung meletakkan sendoknya, wanita elegant itu menatap Bas.
"Baik, seminggu lagi kalian akan menikah," ujar Sonya.
Bas sedikit melebarkan matanya. "Cepat sekali."
"Lebih cepat lebih baik." Lebih tepatnya Sonya ingin Bas cepat-cepat bisa menyukai wanita, kemudian dia akan menikahkan anaknya itu denga calon pilihannya yang sebenarnya.
Bas lantas mengangguk, toh semuanya hanya sandiwara, dia hanya harus bermain peran, pernikahan ini bukan sesuatu yang serius untuknya.
"Aku perlu datang ke rumah keluarganya?" tanya Bas.
Sonya terdiam, benar juga anak perempuan harus didampingi wali saat menikah dan keluarga Avasa masih lengkap, papanya masih hidup.
"Kalau itu kamu bisa bicara langsung dengan Avasa," ujar Sonya.
Bas mengangguk. "Bukankah ketika melamar aku juga harus membawa keluarga?" tanya Bas, dia sering melihat teman-temannya melamar dan semuanya cukup dipersiapkan.
"Kamu yakin ingin membuat semuanya seserius itu? Kamu tidak mau menikah dengan wanita lain suatu saat?"
Bas terdiam, dia mungkin tak akan menikah dengan wanita lain, tapi dengan Jacob mungkin, mereka akan pergi keluar negeri dan hidup bahagia di sana.
"Oke," putus Bas akhirnya, berarti sebenarnya mamanya juga tak ingin memiliki menantu seperti Avasa?
Bas lantas berdiri dari duduknya dia membawa gelas sisa minumnya ke cucian piring, laki-laki itu mendekat ke Avasa lantas berbisik, "Gue mau ngomong sesuatu, gue tunggu di belakang."
Bas lantas keluar dari pintu belakang menuju gazebo belakang rumah.
"Biar Mbak aja yang lanjutin, Sa," ujar Jila pengertian, dia mungkin masih pensaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, namun dia tahu pasti ada sesuatu antara Avasa dan Bas.
Avasa keluar dan langsung menuju ke gazebo belakang rumah.
"Gue nggak tau apa yang sebenarnya mama rencanakan, tapi kayaknya tawaran gue yang tadi pagi batal, gue mau nikah sama lo," jelas Bas.
Avasa hanya mengangguk.
"Lo beneran mau ngorbanin masa depan lo demi gue?" tanya Bas, dia yakin Avasa bukanlah sosok yang selamanya akan jadi pembantu, dari mata gadis itu Bas yakin ada banyak mimpi besar di sana.
"Sejak awal semuanya udah hancur," ujar Avasa.
"Gue mungkin hanya jadi suami sementara lo," ujar Bas.
"Ya gue juga nggak ngarep bakal selamanya sama lo," balas Avasa percaya diri, rumah dan pendidikan yang dijanjikan nyonya besar sudah jauh lebih dari cukup untuknya.
"Lo bakal jadi janda dan kemungkinan kalau kita punya anak, lo nggak bakal ketemu lagi sama anak lo," lanjut Bas masih ingin Avasa mempertimbangkan.
Avasa mengedikkan bahu. "Nggak masalah, hidup udah banyak kali ngelukain gue, gue udah siap sama segala luka di depan sana." Ingin sekali rasanya gadis itu mentertawakan kehidupannya sendiri.
"Gue mungkin bakal ngerenggut beberapa hal berharga dalam hidup lo," ujar Bas.
"Nggak masalah, demi rumah dan biaya pendidikan di luar negeri."
"Lo nggak seharusnya jadi semurahan ini," kata Bas, meski dia bukan manusia benar, paling tidak dia masih punya hati, dia tak sama dengan mamanya.
"Demi kehidupan yang lebih baik, apa sih yang bida didapatkan seorang bocah lulusan SMA sebatang kara, selagi ada yang bisa gue manfaatin gue manfaatin, sekalipun tubuh dan segala harga diri gue." Avasa berkata tanpa keraguan, Bas jadi semakin yakin kalau cewek di hadapannya bukan cewek lugu dari kampung yang memang memiliki niat menjadi pembantu.
Bas mengangguk. "Gue harap lo bener-bener siap sama segala drama ini, bantu gue untuk pura-pura kalau gue udah suka sama cewek," ujar Bas.
"Ya semoga kita bisa bekerja sama," kata Avasa penuh dengan keikhlasan dia sudah tak punya apa-apa lagi, selain Allah.
"Gue mau dateng ngelamar, bisa?" tanya Bas, ya walau semuanya hanya drama paling tidak, sebelum akad terucap dia sudah meminta Avasa dari orang tuanya.
Avasa tertawa remeh, apa orang tuanya masih mau menerimanya? Apa masih mau menjadi walinya?
"Lo yakin?" tanya Avasa.
"Yakin," jawab Bas.
"Ya udah besok ke rumah, persiapkan mental lo, gue nggak yakin lo nggak bakal kaget," ujar Avasa.
"Gue pengacara kalau lo lupa."
"Ini lebih gila dari kasus-kasus yang lo tangani kayaknya," balas Avasa lagi.
"Gue hadepin! Btw kayaknya gue jauh lebih tua dari lo, sopan dikit." Bas menepuk puncak kepala Avasa sebelum kembali berjalan masuk ke dalam rumah.
***
Dengan kaus dan celana bahan, Avasa sudah siap pagi ini, mereka akan ke rumah keluarga Avasa, Avasa keluar dari kamarnya, gadis itu memegang tas tangan kecil dan berjalan menuju garasi, Bas mengiriminya pesan bahwa laki-laki itu sudah menunggu di dalam mobil.
"Lama?" tanya Avasa begitu masuk ke mobil Bas.
"Lumayan," jawab Bas.
Avasa meremas-remas tangannya sendiri, jujur sebenarnya dia sama sekali belum siap untuk kembali ke rumah itu, rumah yang seharusnya menjadi tempatnya untuk pulang namun malah menjadi tempat yang paling enggan untuk Avasa datangi.
"Seseram itu?" tanya Bas.
"Sebenarnya nggak serem, tapi gue lagi berusaha untuk membiasakan diri dengan penolakan," jawab Avasa.
"Kita bakal diusir?" tanya Bas menoleh ke Avasa.
"Kemungkinan besar," jawab Avasa yakin.
Bas lantas tertawa, sebagai seseorang bekerja di bidang jasa dan seringkali berurusan langsung dengan masyarakat langsung merasa bahwa melamar sama sekali tak ada apa-apanya.
Avasa mengajak Bas masuk ke sebuah kompleks perumahan mewah, Bas kembali tertawa. "Udah gue duga sejak awal lo bukan pembantu biasa," ujar Bas.
Memasuki beberapa blok mereka akhirnya sampai di rumah keluarga Avasa.
"Lo nggak seharusnya nyuci piring di rumah gue," kata Bas.
"Itu pilihan gue," kata Avasa, gadis itu turun dari mobil.
Bas ikut turun keduanya berjalan menuju pagar dan membunyikan bel.
"Non Avasa?" Satpam penjaga rumah Avasa menatap majikannya yang sudah kabur dari rumah itu dengan tatapan heran.
"Saya mau ketemu papa sama mama, mau ngenalin calon suami saya," ujar Avasa tanpa keraguan.
Pak Joko selaku satpam membelalakkan matanya, majikannya itu sudah lama tidak pulang, malah ketika pulang membawa calon menantu.
Avasa dan Bas dipersilakan masuk, namun begitu melewati pagar keduanya langsung dihentikan asisten rumah tangga.
"Kenapa Mbak?" tanya Avasa pada mbak Siska—asisten rumah tangga yang selama ini melayaninya.
"Tuan nggak mengizinkan, katanya Avasa bukan lagi anaknya, jadi jangan pernah kembali."
Avasa langsung menatap Bas. "See? Ayo pulang," ajak Avasa langsung.
Bas menoleh ke atas dan tersenyum pada papa Avasa, laki-laki yang menolak anaknya sendiri itu harus tahu kalau Avasa akan memiliki kehidupan yang lebih baik, apalagi Mercy yang mereka bawa terparkir gagah di depan pagar sana.
***