'Karena kuncinya adalah ikhlas, ikhlas menjalani takdir meski sebenarnya tak ingin.'
Back to Normal With Me
~Thierogiara
***
Saat sampai di rumah keluarga Bas, Avasa langsung ke belakang ke kamarnya sementara Bas hanya mampu menatap heran kemudian berjalan menuju kamar mamanya. Aneh sekali karena Avasa seperti tinggal di rumah ini juga, di rumah mamanya, dari mana sebenarnya mamanya mendapatkan gadis itu?
Ada banyak keanehan, termasuk kenapa mamanya tiba-tiba ingin dirinya menikah?
"Jadi dia pembantu di rumah ini?" tanya Bas langsung sessat setelah ia masuk ke kamar mamanya.
Sonya mengangguk. "Tapi kamu bisa lihat wajahnya cantik dan tubuhnya bagus, paling tidak cucu Mama akan tetap terlihat lebih baik," ujar Sonya dengan santainya, dia sendiri sebenarnya tak tahu pasti apa alasan yang mendasari dirinya memilih Avasa, yang pasti ketika pertama kali melihat gadis itu dia hanya merasa bahwa Avasa bisa dimanfaatkan. Dia merasa setidaknya harus memilih yang fisiknya baik agar cucunya juga terlahir dalam kondisi baik.
Bas menghela napas. "Tapi pembantu?" tanya Bas heran.
"Dia bukan pembantu biasa, Mama nggak mungkin nikahin kamu tanpa tau latar belakang calon istrimu," ujar Sonya.
"Kenapa Bas harus nikah?" tanya Bas.
"Kamu adalah anak laki-laki satu-satunya dan hanya kamu yang tinggal di Indonesia, Mama ingin punya cucu," jelas Sonya.
Bas memutar bola matanya malas, alasan yang sangat biasa, dua kakaknya sering pulang ke Indonesia. Keduanya sudah punya anak, mamanya sudah memiliki 4 cucu, apa masih kurang?
"Ma..."
"Menikahlah Bas, kamu harus memiliki penerus," ujar Sonya.
"Berapa Mama bayar dia?"
"Kamu harus menikah..."
Bas langsung keluar dari kamar mamanya dan masuk ke kamarnya sendiri, berdebat dengan mamanya adalah kesia-siaan, selama ini juga Bas selalu memberontak karena memang mamanya selalu mengatur semua yang harus ia lakukan.
Bas membuka jas dan kemejanya, dia berjalan ke balkon dan memikirkan nasibnya, sekuat apa pun dia mencari celah kalau Avasa juga salah, ternyata mereka berdua hanya korban, korban dari mamanya yang selalu menginginkan kesempurnaan dalam hidup.
***
Cahaya mentari pagi menelusup dari balik jendela kamar Bas membuat laki-laki dia puluh tujuh tahun tersebut terusik dari tidurnya. Perlahan bulu mata lentik itu bergerak-gerak kemudian kelopaknya terangkat dan mata itu terbuka sempurna.
Bas mendudukkan dirinya, sudah lama sekali dia tak tidur senyenyak ini, memang rumah yang ada ibunya pasti akan selalu menyajikan kenyamanan.
Bas keluar dari kamarnya, bertepatan dengan dirinya menutup pintu, Avasa muncul dengan kain pel dan embernya. Bas mengerutkan dahinya, Avasa sudah hapus make up tapi wajahnya tetap saja cantik, apa benar dia memang seorang pembantu?
Avasa mengabaikan Bas dan melanjutkan pekerjaannya, Bas terus memperhatikan gadis itu, Avasa bertingkah seolah tak ada yang terjadi dengan mereka.
"Saya mau bicara sama kamu," ujar Bas.
"Aku masih ngepel," jawab Avasa mengabaikan Bas.
"Iya nanti," kata Bas lagi.
"Ya udah," kata Avasa dengan santainya, kalau Bas adalah nyonya besar, maka mungkin Avasa sudah bergetar ketakutan.
Bas lantas berjalan ke bawah, perutnya sudah keroncongan meminta untuk diisi. Agak mengesalkan melihat wajah songong Avasa, tapi Bas sangat malas ribut sepagi ini.
Selesai membersihkan lantai dua di mana kamar Bas ada di sana, Avasa turun kemudian melewati Bas begitu saja, gadis itu langsung berjalan ke belakang untuk membereskan kolam renang. Avasa selalu berusaha mencari kegiatan karena kalau dia sampai memegang ponsel semuanya akan langsung buyar.
Selesai membersihkan daun-daun kering dari atas kolam, Avasa mendudukkan dirinya di bangku samping kolam. Bas menyusul, dia duduk di sebelah Avasa.
"Kalau satu miliar gimana?" tanya Bas.
Avasa langsung menoleh. "Apanya?"
"Harga diri lo, kalau satu miliar nggak cukup?" tanya Bas lagi. "Berapa mama bayar lo?" lanjut Bas.
Avasa tertawa. "Dikit banget satu miliar, gue butuhnya rumah, mobil, biaya kuliah ke luar negeri sama biaya kuliah adek gue." Dan karena Bas tak lagi formal dengannya maka Avasa melakukan hal yang sama.
"Ya udah gue kasih semua itu," ujar Bas, dia tak mau menikah dengan orang asing, hidupnya bukan lelucon, walaupun menjalani hidup hanya karena dia dilahirkan, Bas tetap ingin menghabiskan waktu dengan orang yang ia cintai.
"Okey, tapi tanya nyonya besar ya, soalnya sekarang gue ada dibawah kuasa beliau." Avasa langsung bangkit dari duduknya kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Di belakangnya Bas sudah mengumpat, mengesalkan sekali kelakuan pembantu barunya itu.
"Kok kayaknya kamu deket banget sama Den Bas?" tanya mbak Jila.
Avasa mengedikkan bahu, kenapa semua orang sangat kepo?
***
Bas menjemput Jacob—pacarnya—di kampus tempat laki-laki itu bekerja, Bas merindukan Jacob karena belakangan banyak kasus yang ia tangani, intensitas mereka bertemu juga jadi sangat berkurang.
"Lama ya?" tanya Jacob begitu masuk ke dalam mobil.
"Nggak kok, aku juga baru dateng," jawab Bas yang lantas menekan pedal gas dan melaju menuju restaurant.
"Lagi banyak kasus ya, kok kamu kayaknya kelihatan lesu banget,"
"Iya dan ada masalah juga," jawab Bas.
"Butuh bantuan?" tanya Jacob, dia mencintai Bas, jadi apa pun beban laki-laki itu maka dia akan berusaha untuk meringankannya.
"Nggak, cuma butuh saran aja," jawab Bas jujur.
"Ayok cerita, kalau aku bisa aku bantu."
"Mama minta aku nikah, udah ada calonnya," mulai Bas.
Jacob terdiam, siapkah ia melepas Bas? Jawabannya tentu saja tidak.
"Terus?"
"Mama mau aku punya anak, menikah dan punya penerus," lanjut Bas.
"Gimana kalau kamu tetep nikah aja?"
Bas langsung menghentikan mobilnya, laki-laki itu menepi ke pinggir jalan.
"Maksud kamu?" tanyanya heran, mereka saling mencintai, mereka belum sampai dilevel mampu mengikhlaskan satu sama lain.
"Iya, semua orang mempertanyakan status kamu, kamu mapan, tampan, kamu punya segalanya dan menurut orang Indonesia goals dari itu semua adalah menikah, kamu harus menikah kalau nggak mau orang-orang berpikiran aneh-aneh," jelas Jacob, mereka berdua selama ini menutup diri berkedok sahabat, semuanya tak mudah, perlu sebuah kenyataan lain agar orang-orang percaya.
Bas terdiam, benar juga, dia menikah dengan Avasa kemudian membawa gadis itu tinggal bersama dan para tetangga tak akan lagi membicarakannya.
"Kamu gimana?" tanya Bas.
"Cewek suruhan mama kamu itu dibayar?" tanya Jacob.
Bas mengangguk. "Rumah, mobil dan biaya sekolah serta biaya hidup."
"Semua ini hanya demi penerus, suatu saat kalau kalian mau berpisah, 'kan nggak masalah, lagian mama kamu nggak selamanya hidup." Jacob mengatakan itu dengan santai, dia bisa menerima apa pun keadaan Bas dan apa yang harus mereka hadapi ya karena dia juga tidak bisa memberikan Bas keturunan, sekalipun mereka menikah.
Bas terdiam, benar juga.
***