Gadis berambut sebahu itu berjalan tergesa-gesa menuju lapangan di kampusnya untuk mengikuti kegiatan simulasi gawat darurat dari klub kesehatannya. Sudah banyak anggota klub yang berkumpul di sana, Vina langsung duduk di samping Naima meluruskan kakinya yang sudah diajak terburu-buru sepagian ini.
“Kok tumben baru berangkat?”
“Ada urusan tadi bentar, belum mulai kan?” jawab Vina masih terengah.
“Belum kok” Naima menjawab singkat.
Pagi tadi saat menggeliat setengah sadar Vina merasa ada yang mengganggu tidurnya. Masih mencoba mengumpulkan nyawa melihat jam di ponselnya, masih ada waktu dua jam sebelum dia berangkat ke kampus. Mencoba mengambil posisi yang lebih hangat untuk mencoba memejamkan matanya lagi sebelum beraktivitas di akhir pekan ini tetapi Vina semakin merasa tidak nyaman.
Bangun dari tidurnya dan turun dari kasur barulah Vina mengetahui penyebab gangguan itu. Vina mengacak sebal rambutnya yang memang masih acak-acakkan sehabis bangun tidur begitu melihat keadaan tempat tidurnya. Membelakangi cermin besar di kamar kosannya Vina mencoba menengok bagian belakang tubuhnya. “Aaaaaarrrrrrgggghhh” Vina menggeram semakin sebal.
Kegiatan di kampus Vina sedang banyak apalagi dia sering begadang mengerjakan tugas-tugasnya. Belum lagi pikirannya yang penuh membuat stress yang memicu jadwal datang bulannya mundur. Setelah lewat beberapa hari dari yang seharusnya pagi ini akhirnya siklus itu datang. Biasanya selalu Vina rasakan gejalanya namun kali ini justru datang tiba-tiba saat ia tengah tertidur.
Seharusnya pagi ini Vina habiskan dengan lebih santai namun semua berubah menjadi super sibuk dalam sekejap karena ia harus mencuci bed cover, selimut juga membersihkan kasur, belum lagi pakaian tidurnya yang terkena noda juga. Saat seperti itu barulah Vina meratapi kosannya yang tidak ada fasilitas mesin cuci, nasib anak kosan.
Selesai membersihkan tubuhnya, Vina dengan rambut terbungkus handuk terkejut melihat waktunya tinggal tiga puluh menit sebelum acara yang akan dia ikuti di mulai. Kepalang panik dia pun segera mencari baju, menyisir rambutnya mencoba mengeringkan dengan menyalakan hair dryer yang tentu saja tidak optimal. Beruntung ada roti yang dibelikan Dean yang katanya sebagai perayaan dia acc ke bab berikutnya. Vina mengganjal perut dengan roti itu meski memberengut sedih karena nasi hangat dan kering tempe di dapur kosannya tampak menggoda. Waktu sudah begitu mepet, sekali lagi Vina memastikan penampilannya rapi sembari menenggak botol minum dalam tumbler kemudian gadis itu siap berangkat ke kampus.
Pemateri juga beberapa teman-teman Vina melakukan simulasi penanganan korban gawat darurat di depan barisan yang diikuti Vina. Hari masih pagi terik matahari masih terasa hangat tapi Vina sudah merasa bahwa matahari menyorot tepat di atas kepalanya. Beberapa kali Vina mengerjapkan mata juga memijat tengkuknya yang kini mulai terasa dingin.
Perempuan dengan segala hal istimewanya dan kini Vina tengah berkutat dengan salah satu keistimewaannya. Sudah menjadi hal biasa jika setiap datang bulan Vina akan merasa nyeri di perutnya, pusing, hingga muntah-muntah dan di antara semua yang biasa terjadi itu Vina berharap hari ini menjadi luar biasa jadi dia tidak perlu merasakannya. Acara hari ini hanya setengah hari harusnya dia bisa melewati dengan baik-baik saja meski tengah mens hari pertama. Vina menyugar rambutnya merasakan nyeri yang mulai menyerang perut dan area pinggang juga panggulnya.
“Kamu sakit Na kok pucat?” Sarah berbicara lirih mendekatinya.
“Ga papa kok kak”
“Kamu beneran pucat banget lho Na” Naima yang berada di samping Vina juga memastikan.
“Kayaknya gara-gara aku ga sempet pake make up kalik ya hehe” Vina mencoba melucu sebenarnya juga untuk mengalihkan rasa sakitnya.
Tekad Vina untuk mengikuti sampai akhir acara begitu bulat rasanya dia tidak mau kalah dengan siklus menstruasi yang tengah dia alami ini. Mungkin juga itu akibat hormone datang bulannya hingga Vina malah bertarung sebal dengan egonya sendiri. Lagi pula materi hari ini begitu seru juga penting untuk diikuti sampai akhir.
Segala cara dilakukan Vina untuk tetap berdiri fokus memperhatikan pemateri yang saat ini sedang praktik evakuasi korban. Mulai dari mengatur napas seperti menarik dan menghembuskan perlahan, menekan pangkal jari-jari tangannya, hingga pijatan untuk tengkuknya. Sayang keringat dingin justru semakin menyerangnya dan nyeri pada pinggangnya terasa semakin parah. Vina memegang pinggangnya sedikit membungkuk karena merasa itu akan membuat perutnya yang nyeri terasa lebih nyaman.
Satu sentakan di lengannya membuat Vina keluar dari barisan “Jangan dipaksain kalau lagi sakit!” suara Hanan penuh penekanan yang tajam. Masih digandeng Hanan untuk diarahkan ke tempat yang teduh. Beberapa angkatan atas yang menjadi panitia kegiatan mulai mendekat membantu memapah. Belum juga sampai, Vina menolak berjalan dan menutup mulutnya “HOOEEEK” rasa mual menyerang bukan main. Ini biasa terjadi tapi tetap saja Vina tidak pernah terbiasa. “HOEEK” lagi Vina mencoba memuntahkan isi perutnya namun tidak ada yang keluar.
Kepalanya pening, tubuhnya lemas, Vina sudah tidak menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Saat itu juga pandangannya menggelap dan tubuhnya ambruk. Vina masih bisa mendengar suara-suara samar disekitarnya yang mengatakan “klinik” dan sejenisnya hingga tubuhnya terangkat dan suara-suara itu menjadi tidak terdengar.
Tubuhnya terlonjak hingga kesadarannya pun kembali dan yang pertama dia lihat adalah rambut cepak laki-laki yang menggendong tubuhnya dengan setengah berlari. Melihat itu membuat Vina mengeratkan pegangan dan menyandarkan kepala di bahu orang itu dan menangis lirih.
“Na kamu nangis? Bagian mana yang sakit? Sakit banget ya? Kita sampai ke klinik kampus bentar lagi. Tahan yaa, aduuh badan kamu dingin banget lagi” itu suara Hanan yang mencoba berbicara denganya untuk membuat Vina tetap terjaga dan suara itu pula yang membuat air mata Vina semakin deras.
Klinik kampus mereka memang buka di akhir pekan jadi saat Hanan tergesa menerobos pintu masuk sudah ada dokter yang menyambut. Vina ditidurkan di bangkar kemudian badannya diselimuti. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter itu menannyakan kronologi kejadian ke Hanan yang dijelaskan secara rinci oleh laki-laki tersebut.
“Apa belum sarapan tadi dek? Sarapan pakai apa?” dokter itu mulai menanya-nanyai Vina. Saat itulah dengan lemah ia menarik tangan dokter yang sedang mengarahkan stetoskop ke arahnya itu mendekat dan Vina pun membisikkan yang sebenarnya terjadi padanya.
“Oaalaah ya ampun, masnya tolong ambilkan air putih hangat ya di ruang sebelah sama ini juga diisi air hangat” perintah dokter itu kepada Hanan karena memang petugas di klinik itu terbatas. “Saya juga dulu waktu muda kalau lagi haid juga sering sakit tapi setelah tua ini udah engga lagi. Jangan lupa makan saur dan olahraga teratur yaa itu bisa mengurangi efek sakit pas haid kayak gini” ucap dokter itu sembari memeriksa kondisi tubuh Vina. Hanan kembali membawa satu gelas air putih hangat di nampan juga kompres yang tadi telah diisi air hangat.
“Ini diminum obatnya, tiduran di sini sampai nyeri diperutnya agak mendingan boleh kok. Tadi pesen saya jangan lupa dilaksanakan biar besok-besok agak medingan. Kasihan lho ini kalau mas pacarnya khawatir tiap bulan. Iya kan mas?” ucap dokter itu menggoda.
“Hehe iya bu”
“Aaaaa masa muda” mendengar jawaban Hanan ibu itu semakin antusias apalagi saat Vina dibantu Hanan untuk meminum obatnya, beliau cekikikan sembari keluar kamar pemeriksaan.
Ruangan itu diliputi suasana canggung apalagi Vina menjadi tambah murung mendengar interaksi Hanan dan dokter tadi.
“Aku,, mau tidur kak. Kak Hanan bisa balik ke lapangan” ucap Vina lirih sembari mengambil posisi nyaman untuk tidur.
“Oh iyaa, ini ga papa aku tinggal?” tanya Hanan memastikan.
Bukannya segera menjawab justru Vina memilih berbaring memunggungi Hanan. Napasnya memburu dan matanya perih
“Ga ,, papa” sekuat yang ia bisa menahan getar pada suaranya.
“Kalau kamu butuh sesuatu,,, oh iya aku nanti ambilin tas kamu dulu. Terus kalau ada apa-apa tinggal hubungin aku ya”
Vina tak merespon karena kali ini air matanya sudah mengalir. “Aku tinggal ya”
“Beneran ga papa kan?” Astagaaaaa Hanaaaan :’’’(
Sebagai jawaban dan berharap hanan segera meninggalkan ruangan itu Vina mengangguk cepat. Saat pintu ruang itu sudah terdengar menutup Vina tak mampu lagi menahan untuk tidak terisak. Hormon datang bulan s****n, Vina menjadi cengeng seperti ini. Terlebih lagi hatinya nyeri karena sepanjang perlakuan Hanan padanya dia merasa de javu.
Lagi-lagi Vina merasa Hanan adalah Alvin karena dia teringat pernah dirawat Alvin saat demam di uks sekolahnya. Saat berada digendongan Hanan tadi dia pikir itu Alvin hingga ia refleks menyandarkan kepala dan menangis rindu. Suara Hanan menambah perih hati Vina karena dia tersadar bahwa semua itu hanya halusinasinya saja bahwa Alvinnya tidak lagi ada di sekitarnya. Tetapi semua perlakuan Hanan untuknya sama seperti bagaimana dulu Alvin merawatnya sewaktu sakit. Sama seperti Alvin, Hanan juga menanyakan berulang kali apakah Vina masih membutuhkan laki-laki itu. Perlakuan itu sama persis seperti Alvin.
Mungkin hal itu biasa saja dilakukan orang lain saat melihat orang yang ia kenal sakit tapi bukankah semua terasa jauh lebih spesial saat itu tentang orang yang kita suka? Bagi Vina yang masih terbayang dan belum selesai dengan masa lalunya hal itu menjadi bayang-bayang yang sangat mengganggu pikiran dan hatinya.
.......
Suara detak jarum jam mengisi ruangan itu, Vina membuka selimutnya dan beranjak bangun. Pukul dua belas lewat tandanya acara di klub kesehatan pasti sudah selesai. Kepalanya masih sedikit pusing tetapi nyeri di perutnya sudah berkurang, seperti biasa dia hanya butuh tertidur bergumul dengan rasa sakit saat haid kemudian merasa lebih baik saat terbangun.
Meja di samping tempat tidur Vina sudah ada tas miliknya juga segelas air yang sepertinya masih hangat dan beberapa potong roti. Dia jatuh tertidur saat masih menangis dan tidak mendengar saat ada yang meletakkan tasnya. Begitu mengambil tas Vina melihat satu sticky notes berwarna biru tertempel di bagian depannya.
kalau udah bangun jangan lupa hubungin aku
H.
Vina memegang erat notes itu dan menarik napas panjang kemudian menghembuskan dengan kasar. Emosinya naik turun dan menghubungi Hanan mungkin akan membuat Vina menangis lagi. Tak mengindahkan pesan dengan tulisan tangan yang rapi itu Vina menghubungi orang lain. Merapikan penampilannya juga bersiap kembali ke kosannya, dia berniat tidak ingin bertemu dengan Hanan atau siapapun dari klub kesehatannya jadi lebih baik ia segera bergegas pergi.
Tak seperti rencana yang disusun Vina karena saat hendak membuka pintu justru pintu itu sudah terdorong masuk dan sosok Hanan yang Vina lihat. “Kamu udah bangun? Nangis lagi tadi kok sampe sembab gini matanya?” ucapan Hanan juga gerak tangan laki-laki itu membuat Vina membeku. Hanan baru saja menangkup satu sisi wajahnya dan mengusap perlahan bagian bawah matanya. Hanan juga merasa terkejut dengan refleks dirinya hingga hanya mampu saling melempar tatap dengan Vina yang juga nanar melihatnya.
“Na udah baikan?” suara Naima memaksa Hanan memindahkan tangannya.
“Eh Ma, iya ini udah baikan. Belum pulang?”
“Baru aja sama yang lain mau pulang jadi aku mampir dulu ke sini”
Suara anak-anak anggota klub kesehatan yang turun dari tangga di atas klinik terdengar berarti memang acara baru saja ditutup.
“Kamu mau makan dulu ga ini tadi jatah konsumsi atau mau makan apa gitu? biar aku anter” Vina baru menyadari bahwa Hanan masih berada di sampingnya saat ia berjalan keluar gedung dengan Naima.
“Ih iya Na itu dimakan dulu atau sana sama kak Hanan makan apa gitu. Kamu masih pucat banget loh. Badannya juga anyep banget lagi” Naima yang memegang-megang tangan Vina pun mendukung.
“Eh aku mau lanjut istirahat di kosan aja deh, itu konsumsinya aku bawa aja kalik ya masukin tas”
“Oke ini dimasukin tas aja (membantu Vina memasukkan makanan) tunggu sini bentar ya aku ambil motor dulu” Hanan melepas jaketnya kemudian langsung digunakan untuk menutup bahu dan tubuh Vina lalu beranjak hendak mengambil motornya.
“Eh Kak Hanan,,,”
“Kak Hanan manis banget Na” Naima berbisik di belakang telinga Vina
“Ya gimana? bentar aja kok. Naima temenin Vina bentar ya aku ambil motor”
“Iya kak tenang aja Vina aku jagain di sini”
“Biar kamu ga perlu jalan jauh ke parkiran, aku bawa motornya sampai depan sini aja, oke” Hanan masih memberi penjelasan.
“Kak Hanan aku dijemput” ragu namun akhirnya kalimat itu pun terucap.
“Hah?” tidak itu bukan Vina tapi Naima yang mungkin lama berteman dengan Vina menjadi ikutan kebiasaan temannya.
Mereka bertiga menengok ke arah datangnya suara motor. Itu adalah Dean dengan motor kesayangnnya dan helm full face menutup wajahnya. Tak lupa jaket bomber hitam menemani celana selutut yang ia kenakan juga sandal jepit swallow hitam. Jika bukan hari libur Dean sudah dilarang memasuki area kampus karena penampilannya itu. Sesampainya di depan tempat Vina berdiri Dean melepas helm membuat rambutnya yang mulai godrong terurai. Sudah pasti bisa ditebak Dean memang tampilan mahasiswa akhir sekali.
“Kak Dean yang jemput kamu?” lagi-lagi Naima berbicara berbisik ke Vina.
“Jeleeeeek, kok sampai sakit gini sih? pucat banget lagi ya ampun makin jelek” kalimat Dean yang ditujukan untuk Vina sudah cukup menjawab pertanyaan Naima juga menarik perhatian anak-anak anggota klub yang keluar gedung dan melihat Dean menangkup pipi Vina sedikit menekannya.
“HIH!! Bisa langsung pulang aja gasiiih!!!” protes Vina melepas tangan Dean diikuti emosinya saat haid yang meluap-luap.
“Awww lagi pms bu kok jadi kayak komdis gini. Yaudah ayok!” ajak Dean dengan menarik lengan Vina namun lengan satunya ditahan oleh Hanan. Membuat Vina sedikit berbalik untuk menatap Hanan.
“Kabarin aku kalau udah sampai” ucap Hanan dengan tatapan penuh harap.
“Oke oke siap, ini juga dipake aja biar si jelek pake yang ini” bukan Vina yang menjawab tapi Dean yang melepas lengan Vina dari pegangan Hanan juga mengembalikan jaket yang tadi tesampir di pundak Vina dan menggantinya dengan memakaikan Vina jaket bombernya. Dean hanya menggunakan kaos putih saja sekarang.
“Duluan ya Ma, kak” ucap Vina berpamitan.
Jaket Dean cukup ampuh menghalau angin yang menerpa tubuh Vina. Meski jarak ke kosannya sangat dekat tapi angin di atas motor ini cukup menusuk kulit apalagi keadaan tubuh Vina yang kurang sehat.
“Kamu pacaran sama anak kesehatan itu?” Dean membuka obrolan.
“Hah? Siapa?”
“Yang cowok tadiii”
“Oh kak Hanan, engga lah. Kak Dean dapet rumor dari mana coba”
“Kamu suka sama dia”
“Suka”
…….
“Kalau ga suka berarti benci dan aku ga benci sama kak Hanan” tambah Vina begitu melihat dari kaca depan bahwa raut Dean berubah. Mood Vina membaik rasanya saat menjaili Dean.
“OOO dia yang suka kamu”
……
“OOO berarti dia ga ben..”
“Suka kamu as cewek ya, yang bakal jadiin kamu pasangan dia” potong Dean sebelum Vina lagi-lagi menjawab jail.
“Hah? sok tahuuuu”
“Aku ni cowok ya Na, aku juga bilang kalau aku suka kamu. Jadi aku tahu juga gerak-gerik orang yang kayak gitu”
“Apaan sih? obrolannya bikin tambah pusing”
“Yeuuuu ngambek si jelek, intinya kalau kamu ga sama aku jangan sama dia. Orangnya kayak ga gentleman gitu”
“Yeuuuuu paling jago deh jelek-jelekin orang” balas Vina.
Mereka sudah sampai di depan kosan Vina. Membuka jaket Dean kemudian mengembalikan ke pemiliknya Vina hendak segera masuk ke kosannya.
“Makasih ya Kak Dean udah dijemput”
“Harus ya minta jemputnya kalau aku ada utang jagain Beng Beng, kapanpun kamu minta jemput aku selalu bisa lho Na” Vina memang meminta Dean menjemputnya dengan alasan upahnya merawat Beng Beng pekan lalu belum diberikan. Lagi pula Vina juga sedang mode menghindari Hanan, jadi sekalian saja.
“Yaaaaaaa” jawab Vina sambil lalu.
“ALVINAAAAA KAMU SAKIT APA SAMPE BERDARAH????!!!”