Kita Nanti

1329 Words
Suasana alun-alun kota itu begitu semarak karena sedang ada bazar buku dan festival makanan besar-besaran. Semua orang tampak menikmati acara tersebut mulai dari memborong banyak buku koleksi, berburu sajian lezat tak tertandingi, juga sekedar menghabiskan waktu di suasana yang ramai. Di antara kerumunan dan lalu lalang orang-orang itu ada sepasang muda mudi yang tengah duduk di salah satu gerai yang menyajikan rujak es krim. Beberapa buku terlihat ikut mengisi meja yang mereka tempati. Dua orang itu adalah Alvin dan Vina yang janjian bertemu di acara tersebut. “Apa ga pusing kalau baca tulisan semua kayak gitu?” “Sadar diri dong sama umur ini ensiklopedia buat anak kelas enam SD” Vina tak mau kalah juga mengejek buku yang Alvin beli “Helooo ini juga isinya tulisan semua mana buku sejarah lagi hadeeeh” lanjut Vina yang tak terima Alvin masih seperti dulu sering mengomentari bacaannya. Sedangkan yang mendapatkan semprotan Vina hanya tersenyum lebar masih menyendok es krimnya dengan santai. Alvin selalu menyukai Vina mode mengomel karena lucu saja melihat ekspresi gadis itu. Perdebatan itu kembali senyap, keduanya menikmati es krim dalam diam sembari mengamati lalu lalang orang. “Resti ngomel-omel ke aku” suara Alvin membuat atensi Vina beralih menatap laki-laki yang duduk di hadapannya ini. “Kenapa?” “Soalnya kamu blokir nomor dia” “AHahahahahhaha serius?” “Iya serius tapi dia chatnya baru aku buka pagi, pas aku tanya udah di buka belum blokirannya eh dia ga bales lagi” “Hehehe maafin Resti yaa padahal ga ada 24 jam lho aku blokir dia” “Tapi kamu udah baikan kan sama dia?” “Aku ga marah sama dia Al cuma isengin dia aja hehe, lagi pula kita langsung telfonan lama banget ngomongin kam..” Vina menghentikan kalimatnya begitu sadar bahwa dirinya tengah buka kartu membuat Alvin menjadi tahu kalau dia sering jadi bahan omongan Vina dan Resti. “Hayooo ngomongin aku apa??” goda Alvin. “Bukan apa-apa kok, Resti cuma mastiin kamu ga culik aku” Vina mengelak yang ditanggapi Alvin dengan kekehan. “Na” “Ya” Vina menyejajarkan pandangan pada Alvin yang baru saja buka suara. “What are we?” “Hah?” Itu bermakna dua hal Vina yang memastikan pendengarannya dan juga terkejut akan pertanyaan Alvin. “Umm gini” Alvin menyingkirkan mangkok rujak eskrimnya juga buku mereka lebih ke pinggir dan tubuh laki-laki itu dicondongkan ke arah Vina menumpu pada lengannya yang berada di meja bersiap memulai pembicaraan yang sepertinya serius. “Na aku emang belum jadi siapa-siapa tapi aku rasanya mau egois. Aku tahu dari dulu sampai sekarang aku belum pantes buat..” “What do you mean, AL VIN?” Vina memotong kalimat Alvin dan menekan nama laki-laki itu saat mengucapkannya. “What are you talking about?” kini kalimat Vina terdengar meninggi dan Alvin melihat ada raut marah di wajah gadis itu. “Did you talk about you and me?” Alvin mengangguk samar menjawab pertanyaan Vina. Jawaban yang mengundang hembusan napas kasar dari Vina, gadis itu kehilangan selera untuk menghabiskan rujak eskrim yang tinggal seperempat porsi itu. Vina beranjak dari tempat duduknya bergegas pergi dari tempat itu. “Na tunggu” Alvin mengejarnya dan berhasil meraih lengan Vina menghentikan. “Aku belum selesai ngomong, kamu marah?” Dapat Alvin lihat bahwa Vina enggan menatap ke arahnya meski dia berada tepat di depan gadis itu. Kekecewaan tengah melingkupi Vina dan emosinya menjadi naik. Pembahasan tentang kejelasan hubungannya dengan Alvin adalah satu hal yang paling dia tunggu untuk mulai dibahas oleh laki-laki di depannya ini karena dia tidak akan pernah mau dan mampu untuk bertanya tentang hal itu. Tetapi fakta bahwa laki-laki spesial di relung hatinya ini mengungkit tentang satu ganjalan besar hubungan mereka saat di bangku sekolah menengah atas itu cukup memberikan rasa nyeri di perasaan Vina. “Al kenapa kamu balik ke hidup aku?” satu pertanyaan itu terucap ketika Vina sudah bisa mengontrol emosi dan menatap Alvin. “Kenapa setelah tiga tahun ga pernah ada kabar kamu tiba-tiba muncul di depan aku dan balik kayak dulu ngisi waktu-waktu ku, kenapa Al?” “Aku takut kehilangan kamu Na aku takut telat lagi, aku bisa aja maksa diri aku buat ga hubungin kamu buat ga ketemu kamu tapi aku ga bisa nyegah saat kamu terus ada di pikiranku” Alvin mengaku. “Terus kenapa kamu ngomong kayak tadi?” tatapan keduanya bertemu dan sorot bingung keduanya jelas terpancar “Kenapa kamu mikir kalau aku kayak mereka? Kenapa kamu juga mikir kalau aku mempermasalahkan tentang kita? tentang kamu si Alvin dan aku si Alvina? Kenapa?” “Tahu apa kalian tentang aku ha? Kalau kamu bilang kamu belum jadi siapa-siapa terus aku gimana Alvin? Aku juga siapa? Aku juga belum Al. I’m NOTHING” nyalang Vina mengeluarkan keluh kesahnya. “Kalian ga seharusnya berekspektasi apapun tentang aku. Bukan karena aku rajin belajar, berprestasi, dan diterima di perguruan tinggi favorit terus kalian bisa seenaknya terus-terusan kasih ekspektasi yang selalu coba aku penuhin. Engga. Bisa aja suatu hari aku jatuh dan bikin kalian kecewa saat itu terjadi kalian tetep nopang aku atau justru ninggalin aku karena aku gagal sama ekspektasi itu” meski rasanya sesak Vina sekuat yang ia bisa menahan agar air matanya tak meluncur deras. Membicarakan kegelisahan tentang dirinya sendiri bukan satu hal yang perlu dia tangisi, dia tengah jujur pada diri sendiri dan tidak ada yang salah untuk itu. Kini tatapan Alvin melembut begitu mendengar semua isi hati gadis yang selalu dipandang sempurna kebanggaan semua orang ini. “Al kamu pernah bilang gamau jalin hubungan kalau belum bisa gapai semua mimpi-mimpi kamu. Perlu kamu tahu dengan datangnya kamu di hidup aku lagi buat aku mikir apa semua mimpi-mimpi kamu udah tercapai? terus aku sadar kalau sekarang kamu adalah Alvin yang mulai stabil di karirnya, punya bisnis dari kerja keras kamu aku sadar kamu bukan lagi Alvin si tukang telat bukan Alvin langganan BK yang diremehin guru-guru karena hobinya yang terlambat. Kamu bukan orang itu lagi Al kamu udah gapai mimpi kamu sedangkan aku? Apa yang aku punya Al? Apaa? Aku ini siapa?” lanjut Vina berapi-api. “Na kamu mimpiku” ucapan Alvin menstabilkan deru napas Vina yang tidak beraturan karena luapan emosinya. Tatapan gadis itu seolah mencari kebohongan dari mata Alvin yang menatap tepat di kedua bola matanya. “Kamu mimpiku Alvina, mimpi Alvin” ulang Alvin menggenggam kedua tangan gadis yang menarik perhatiannya sejak kelas satu. “Aku masih punya banyak mimpi dan kamu adalah salah satunya. Kamu, bintang semua orang adalah mimpiku di langit tinggi Na. Aku belum sehebat itu Na. Aku mau kita sama-sama raih semua mimpi-mimpi kita bareng ya. Aku gamau kita saling lihat dari jauh kalau kita berhasil gapai mimpi kita tapi aku maunya gandengan sama kamu raih mimpi itu. Mau kan Na? Sama aku?” kalimat panjang Alvin membuat genangan tipis di kedua pelupuk mata Vina. Gadis itu tersenyum mengangguk mengiyakan permintaan Alvin. Keduanya semakin memutus jarak Alvin menyalurkan kelegaan lewat pelukannya namun sebelum itu terjadi suara wanita paruh baya menghentikan keduanya. “Eeeeh mas mbak udah saya tungguin dari tadi marahannya, ini bukunya ketinggalan. Rujak es krimnya belum dibayar juga” Mendengar itu Vina menutup mukanya yang langsung memerah bak tomat dan Alvin terkejut bukan main. “Alviiiiiiiiiiinnnn maluuuuu” suara Vina yang menutup mukanya sendiri. “Eh maaf ya bu aduh, ini uangnya” Alvin tersenyum kikuk memberikan uang. “Aduh mas yang pas aja to, saya harus bolak-balik ini” “Ambil aja bu kembaliannya. Maaf sekali lagi ya bu” “Wah makasih lho langgeng langgeng ya mas mba sampe maut memisahkan, jangan marahan lagi yang akur-akur kayak saya sama suami saya itu lho. Aduuuuh suami saya, saya tinggalin pas lagi rame” ucap wanita itu kemudian berlari masih menenteng serbet di tangan. “Makasih ya ibu” teriak Vina kemudian, ia dan Alvin tertawa lepas. Lagi-lagi pedagang kaki lima menjadi saksi salah satu momen penting dalam hubungan mereka. Untuk doa dari ibu-ibu itu biarkan semesta bekerja sebagaimana mestinya menjawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD