Di malam itu, selesai berdiskusi dengan Baron dan Julie, Adrian langsung datang ke kos-kosan Nina. Nina yang terkejut karena kehadiran Adrian yang tiba-tiba segera menyuruh sahabatnya itu untuk masuk. Kos-kosan Nina bukanlah kos-kosan yang terdiri dari banyak pintu, dimana penghuninya hanya menempati satu kamar. Kos-kosan Nina lebih mirip seperti kontrakan kecil untuk dihuni satu sampai dua orang. Selain ada dapur, kamar mandi, dan kamar tidur, ada juga ruangan kecil untuk menjamu tamu. Nina sudah mengaturnya menjadi ruang menonton televisi.
Itu bukan kali pertama Adrian datang ke kos-kosan Nina. Selama bersahabat, baik Nina ataupun Adrian sudah sering berkunjung ke hunian masing-masing. Namun tentu saja mereka tetap memegang teguh batasan dari hubungan seorang sahabat. Nina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya sampai-sampai Adrian tidak pernah tahu. Dan tak pernah terlintas sedikitpun di benak Adrian tentang hubungan romansa dengan Nina.
Nina mengambilkan minum dan cemilan yang dia beli di minimarket tadi sore. Mengecilkan volume televisi agar mereka berdua bisa bicara dengan nyaman. Tanpa malu-malu, Adrian melahap makanan dan minuman itu, lagi pula hari ini dia belum makan malam. “Lapar banget kayaknya. Mau dibikinin makanan?” Tanya Nina.
Adrian menggeleng meski sedang meneguk minuman. “Ada yang lebih penting dari sekedar makan malam. Kau kan sudah lama bekerja di perusahaan yang sekarang, apa kau punya kenalan anak dari divisi Investor Relation?”
Investor Relation adalah divisi bisnis yang ada di sebuah perusahaan. Investor Relation bertugas untuk mengabarkan investor mengenai semua urusan dari suatu perusahaan. Staff yang berada di divisi Investor Relation pasti tahu siapa-siapa saja pihak yang menjadi investor di perusahaan media tempat Adrian bekerja dulu.
Tanpa perlu berpikir panjang, Nina menjawab, “Ya, ada. Kau ingat Jojo yang tak sengaja bertemu dengan kita di bioskop beberapa bulan lalu? Dia anak Investor Relation.” Nina memang pandai bergaul, sama seperti Adrian. Tak heran jika temannya berasal dari berbagai divisi.
Adrian ingat itu. Beberapa saat lalu Nina minta Adrian untuk menemaninya menonton film zombie asal Korea Selatan. Meski takut, Nina tetap ingin menonton karena pemerannya adalah aktor favorite-nya. Dan ya, setelah mereka selesai nonton, ada seorang pria yang menghampiri Nina. Padahal Nina sudah pernah bercerita siapa Jojo, bisa-bisanya Adrian lupa akan hal itu.
Nina lalu bertanya ada urusan apa Adrian dengan anak Investor Relation. Adrian pun menjelaskan perkembangan tentang kasus Karisa yang sedang ia tangani. Nina mengangguk paham. “Kalau begitu kau mau kontaknya? Biar aku minta izin ke dia dulu untuk memberikan nomornya padamu.”
“Boleh. Tapi sepertinya kali ini aku butuh bantuanmu.”
“Apa?”
Adrian hanya menatap Nina, ia ingin mengatakannya namun ragu-ragu. Padahal, apapun permintaan Adrian, Nina takkan bisa menolaknya.
***
Berkat keberaniannya berbicara dengan Adiwiyata, Julie kini tidak lagi dipaksa untuk minta maaf pada orangtua Tia. Namun sebagai gantinya, sang kepala sekolah meminta Julie untuk tidak memberitahu rahasia itu kepada siapapun. Untuk sementara waktu Julie pun mengiyakan. Sebab dia pun masih menyelidiki alasan mengapa keterlibatan Tommy Iskandar sebagai donatur utama harus dirahasiakan. Adiwiyata sempat berkata bahwa itu adalah permintaan dari Tommy Iskandar sendiri. Beliau tidak ingin dianggap riya atau sombong karena sudah berdonasi. Tapi tentu saja Julie tidak langsung mempercayainya.
Saat sedang di parkiran untuk mengeluarkan motornya, Julie mendapat pesan dari Baron yang berisi bahwa pria tersebut mengajaknya bertemu. Julie diam sejenak, ia kembali mengingat kejadian semalam. Saat dimana dirinya melihat foto Baron bersama seorang perempuan, dan tidak lama kemudian Baron terlihat cukup marah. Namun lagi-lagi Julie mengingatkan dirinya untuk bersikap professional. Julie mengangguk, “Ya, semalam memang kau tidak sopan, Julie. Dan sekarang mungkin Baron ingin bertemu untuk membicarakan kasus perkembangan Karisa.” Ucapnya pada diri sendiri. Ia lalu membalas pesan Baron. Waktu dan tempat pun sudah mereka sepakati.
Baron melambaikan tangan agar Julie bisa menemukannya. Mereka bertemu di sebuah rumah makan yang menjual berbagai jenis sate. Julie yang bilang kalau malam itu ingin makan sate, Baron lalu merekomendasikan tempat makan tersebut karena cita rasanya yang lezat. Suasana di sana begitu ramai. Beberapa pengunjung bahkan terpaksa harus membungkus makanannya untuk makan di rumah karena tidak kebagian tempat duduk. Julie tidak yakin jika Baron akan membicarakan kasus Karisa di sana. Bahkan untuk sekedar mengobrol santai pun rasanya tak bisa. Semua orang sibuk menikmati sate lezat yang ada di depannya. Pun dengan para pelayan yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan. Tak lupa asap yang menepul dari tempat pembuatan sate. Dan benar saja selama mereka makan, tidak banyak percakapan yang terjadi. Julie harus mengakui bahwa itu adalah sate sapi terlezat yang pernah dia makan seumur hidupnya. Berbeda dengan Baron yang lebih memilih sate kambing pada malam itu. Masing-masing dari mereka menyantap sepuluh tusuk sate, seporsi nasi hangat, serta sebotol air mineral.
“Bagaimana dengan motormu?” Tanya Baron begitu selesai dengan makannya.
“Sepertinya harus mengganti ban dalam…” ucapnya tak yakin, “Atau apa ya…entah lah, aku menyerahkan semuanya pada petugas bengkel.”
Baron tertawa kecil. Para perempuan memang seringkali mengabaikan kondisi kendaraan mereka. Di pikiran mereka, selama kendaraan masih bisa dipakai itu berarti tidak ada masalah apapun. Padahal sebenarnya, baik motor ataupun mobil harus rutin dibawa perawatan ke bengkel. Setelah membalas pesan Baron tadi, Julie mendapati masalah dengan motornya. Jadilah ia menghubungi petugas bengkel untuk memeriksanya. Dan ternyata motornya harus diinapkan di bengkel. Setelah itu tibalah April yang menawarkan diri untuk mengantarnya.
“Apa kau bisa ikut denganku ke suatu tempat?”
Julie mengangguk, “Tentu, bukankah kau mengajakku bertemu untuk itu?”
Sepanjang perjalanan, suasana begitu tenang tapi tidak canggung. Julie tampak menikmati jalanan Bandung Barat yang terasa sejuk malam itu, sementara Baron fokus menyetir sambil mendengarkan lagu dengan volume sedang dari radio mobilnya. Julie tidak tahu Baron ingin mengajaknya kemana. Ia mempercayakan sepenuhnya pada Baron sebab ia yakin pria itu bukanlah orang jahat. Tapi semuanya benar-benar di luar dugaan Julie, tidak terlintas di benaknya bahwa Baron akan membawanya ke Rumah Sakit Bhayangkara di Bandung Barat.
Julie tidak banyak bertanya, ia hanya mengikuti kemana kaki Baron melangkah. Hingga tibalah mereka di atap rumah sakit. Dari sana mereka bisa melihat bangunan-bangunan sekitar, serta indahnya langit malam. “Tempat ini menyimpan banyak kenangan buruk untukku.” Pria itu akhirnya mulai bicara.
Julie menoleh ke arah Baron yang berdiri di sampingnya. Meski tidak mengerti, namun Julie memilih untuk tetap diam, menunggu Baron melanjutkan kalimatnya. “Enam tahun lalu, tunanganku diautopsi di rumah sakit ini. Dia adalah Sharon, perempuan yang bersamaku di foto itu.”
Julie mematung tak percaya. Jadi foto perempuan yang dia lihat semalam adalah tunangan Baron, dan perempuan itu kini sudah meninggal. Pantas saja Baron terlihat begitu emosional ketika melihat foto tersebut. Perempuan yang dia cintai sudah meninggal enam tahun lalu. Dan sepertinya Baron tidak bisa melupakannya. Suaranya terdengar begitu berat ketika bercerita. Tatapan matanya semalam saat melihat foto itu juga tampak memancarkan kesedihan mendalam. Julie benar-benar mengendalikan diri agar tidak salah bicara, sama seperti ketika mendengar Adrian menceritakan tentang kematian adiknya. “Aku….aku turut berduka cita atas kematian tuanganmu. Aku juga ingin minta maaf atas sikapku yang semalam. Aku tahu aku tidak sopan. Aku tidak seharusnya memegang barang tanpa seizin yang punya.”
Baron menggeleng sekaligus menoleh ke arah Julie. Kini mereka berdua saling lihat-lihatan. “Tidak, justru aku yang seharusnya minta maaf. Aku begitu emosional semalam. Tidak bisa mengendalikan sikapku. Padahal kau tidak tahu apa-apa.” Baron kembali menatap ke depan, tapi tidak dengan Julie, ia masih tetap menatap Baron dari samping. “Kematian Sharon seperti pukulan telak bagi hidupku. Kami sudah berpacaran selama bertahun-tahun, kemudian tunangan dan merencakan pernikahan dalam waktu dekat. Tapi sebelum rencana indah itu terjadi, Sharon sudah kembali ke pangkuan Ilahi dengan cara tak wajar.”
Lagi-lagi ucapan Baron membuat Julie ternganga, “Dengan cara tak wajar? Maksudmu?”
Baron kemudian bercerita kalau Sharon ditemukan meninggal di rumahnya dalam keadaan leher bersimbah darah karena benda tajam. Adalah pisau sepanjang 15cm yang merenggut nyawanya. Gorokan pisau begitu dalam hingga urat nadinya putus, Sharon pun kehabisan darah. Mayat Sharon pertama kali ditemukan oleh ART yang bekerja harian di rumahnya. Ia tidak tinggal di rumah Sharon, melainkan pulang-pergi setiap harinya. Kala itu ia datang pukul 07.00 WIB pagi. Ia begitu shock ketika melihat tubuh Sharon terkapar di atas ranjangnya. Asisten Rumah Tangga itu tidak melakukan apapun selain menghubungi polisi. Pihak kepolisian kemudian datang ke TKP.
“Saat itu aku sedang tidak ada di Bandung Barat, aku masih dalam masa pendidikan tingkat akhir di Akademi Kepolisian.” Ungkapnya. Itu seperti hal yang sangat ia sesali.
Investigasi pun dilakukan. Penyidik kemudian mendapat beberapa penemuan dari hasil penyelidikan, seperti pisau sepanjang 15 cm itu terlepas dari tangan kanan Sharon, tidak ada sidik jari siapapun di pisau tersebut selain sidik jari Sharon. Sang ART juga mengaku kalau saat pertama kali dia datang, pintu utama rumah masih dalam keadaan terkunci. Ia bisa masuk karena memang Sharon memberikan kunci cadangan. Sharon begitu percaya dengan beliau karena wanita paruh baya itu sudah bekerja dengan keluarga Sharon selama 23 tahun. Belakangan orangtua Sharon memutuskan untuk tinggal di Bogor, jadilah Sharon tinggal sendiri di rumah orangtuanya yang terletak di Bandung Barat. Berdasarkan fakta itu, polisi kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada orang lain yang masuk ke rumah Sharon sebelum ART-nya.
Pihak kepolisian kemudian menginterogasi ART tersebut, mengajukan puluhan pertanyaan dan tidak ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa beliau terlibat atau berhubungan dengan kematian Sharon. Beliau pun mengalami trauma berat saat pertama kali melihat mayat Sharon, hingga harus mendapat bantuan psikolog untuk menghilangkan traumanya. Ia sudah menganggap Sharon seperti anak sendiri, rasanya memang tidak mungkin jika dia ditetapkan sebagai tersangka. Lagi pula tidak ada hal apapun yang bisa menjadi motif atau alasan baginya untuk membunuh Sharon. Hubungan keduanya begitu baik dan harmonis.
“Lantas bagaimana dengan kelanjutan penyidikan?” Tanya Julie pelan.
Baron menggeleng sambil menatap langit, “Pihak kepolisian akhirnya menutup kasus tersebut dan menyimpulkan bahwa itu adalah kasus bunuh diri. Tidak ada jejak orang lain yang tertinggal di TKP, tidak ada kerusakan pada pintu atau jendela rumah Sharon, tidak ada sidik jari atau jejak kaki siapapun. Dan kau tahu apa yang paling tragis? Polisi menyimpulkan bahwa motif bunuh diri Sharon adalah karena stress dengan tekanan kerja. Padahal, aku tahu betul bahwa Sharon sangat mencintai pekerjaannya. Dia bukan orang yang mudah putus asa, apalagi sampai berpikiran untuk mengakhiri hidup.”
“Maksudmu, kau tidak percaya bahwa Sharon bunuh diri?”
Pria itu mengangguk, “Sampai sekarang, aku masih mencari bukti yang menunjukkan bahwa Sharon tidak bunuh diri. Meski rasanya berat sekali membayangkan ada orang yang tega membunuh Sharon. Tapi aku lebih tidak ikhlas jika pembunuh itu masih berkeliaran bahkan setelah membunuh seseorang.”
“Jadi kau sudah menyidiki kasus Sharon selama 8 tahun terakhir?” Ada begitu banyak hal yang ingin Julie ketahui. Hanya saja ia tidak ingin jika pertanyaannya menyakiti hati Baron.
“Ya, segala sesuatu dan semua orang yang ada di hidup Julie sudah aku selidiki selama 8 tahun ini. Harus kuakui bahwa pembunuh itu cukup rapi dalam menjalankan aksinya. Itu jelas pembunuhan berencana. Namun aku percaya bahwa sekeras apapun ia berusaha untuk menutupi kejahatannya, pasti ada sesuatu yang tertinggal. Hanya saja….” Baron menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, “Hanya saja aku belum menemukan sesuatu itu.” Suaranya bergetar. Pasti tidak mudah bagi Baron untuk menceritakan kejadian kelam dalam hidupnya. Apalagi kepada Julie, orang yang belum lama ia kenal.
“Aku sangat berterima kasih karena kau sudah mau bercerita padaku. Terima kasih juga karena sudah bertahan selama ini. Aku yakin suatu saat Tuhan pasti memberikan petunjuk untukmu.” Dan malam itu rasanya Julie ingin sekali memeluk Baron. Membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja, dan yang terpenting, ia akan selalu berada di samping Baron untuk membantunya.