Empat Puluh Tiga

2802 Words
Begitu melihat masih ada stok ayam potong dan tahu di kulkas, Julie memutuskan untuk membuat ayam rica-rica dan tahu cabai garam. Itu adalah dua makanan kesukannya. Dia sudah fasih betul dalam memasak dua menu itu. Sudah tidak membutuhkan perkiraan takaran untuk bumbu-bumbunya apalagi buku panduan. Dia mengerjakannya dengan sigap, cepat, dan rapi. Dari mulai mencuci ayam, menggoreng ayam, hingga menumis dengan bumbu rica-rica yang sudah dibuatnya. Dalam waktu yang bersamaan, Julie juga mulai membuat tahu cabai garam. Tak ada bumbu yang terlewat satupun. Tangannya telaten dalam menggunakan alat-alat masak. Baron yang sejak tadi hanya melihat dan menunggu dibuat kagum olehnya. Baron bukan tidak ingin membantu Julie, hanya saja ia tidak diizinkan untuk membantunya. Jadilah Baron hanya duduk memperhatikan Julie dengan segala kesibukannya. Memasak makanan Indonesia tidak semudah dan secepat makanan barat. Dibutuhkan banyak rempah-rempah dalam proses pembuatannya. Setelah satu jam kemudian, Julie baru selesai dengan masakannya. “Biar nanti aku saja yang mencucinya.” Ujar Baron cepat ketika melihat Julie hendak mencuci alat-alat masak. Mereka berdua lalu menuju meja makan. Menyantap menu makan malam dengan nikmat layaknya pasangan suami istri. Satu suapan pertama berhasil membuat Baron jatuh cinta dengan masakan Julie. Siapapun pasti tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan karena makanan lezat. “Bagaimana? Kau suka?” Baron mengiyakan. Ia lalu bertanya sejak kapan Julie belajar masak hingga bisa membuat berbagai menu lezat seperti ini. Julie kemudian menjawab bahwa setelah orangtuanya meninggal, dia menjadi lebih mandiri dari anak-anak seusianya. Karena tidak ingin merepotkan sang nenek, Julie jadi belajar masak sendiri, mencuci baju, serta mengerjakan pekerjaan rumah. Baron menatap Julie kala wanita itu bercerita tentang duka lamanya. Ditinggal oleh kedua orangtua pastilah menimbulkan luka yang dalam bagi seorang anak. Walau Julie bercerita dengan senyum tersungging di bibirnya, namun matanya tetap memancarkan kesedihan. “Sekali lagi aku turut berduka cita atas kepergian orangtuamu…” Ucapnya seraya menatap Julie, “Juga nenekmu.” Lanjutnya. “Kau tidak perlu merasa bersalah karena sudah membuatku membahas orangtuaku. Aku sudah mengikhlaskan itu, kok. Aku paham bahwa setiap orang sudah memiliki takdir hidupnya masing-masing. Termasuk tentang kematian. Meski terkadang, aku belum bisa mengerti dengan penyebab kematian beberapa orang. Kau tahu…maksudku, ada sebagian yang terasa janggal dan tidak masuk akal.” Baron melihat Julie, sedikit tidak menyangka Julie akan berkata demikian. Tapi kemudian dia mengangguk setuju. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan santapan lezat. Dalam beberapa menit saja nasi dan lauk pauk yang ada di piring Baron sudah habis tak tersisa. Tidak sebanding dengan waktu yang dihabiskan ketika memasaknya. Baron lalu bergegas membawa piring kotor ke dapur, dia akan mencucinya bersamaan dengan alat-alat masak yang tadi Julie gunakan. Sementara itu, Julie memutuska kembali ke ruang rahasia Baron untuk melanjutkan penelusuran informasi tentang Tommy Iskandar daripada hanya diam menunggu Baron. Kakinya melangkah ke sebuah lemari buku yang berada di belakang meja kerja Baron. Lemari kayu tanpa kaca itu menyimpan puluhan buku koleksi pribadi Baron. Semua bukunya berhubungan dengan hukum, penyidikan, dan penyelidikan. Baron menjadikan buku-buku tersebut sebagai bahan referensi bagi dirinya untuk menyelesaikan suatu kasus. Julie berjalan pelan seraya menyentuh buku buku-buku tersebut dengan jari jemarinya. Ia lalu terhenti pada sebuah buku yang tampak beda sendiri bila dibandingkan dengan buku lainnya. Ya, itu adalah sebuah inspirational books berjudul The Art of Happiness dengan tebal 336 halaman yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1998. Julie tidak tahu buku apa itu. Ada selembar kertas yang terselip pada halaman buku tersebut. Kertasnya sedikit keluar dari batas halaman buku sehingga siapapun bisa melihatnya meskipun belum membukanya. Penasaran, Julie akhirnya membukanya. Dan ternyata itu adalah sebuah foto. Foto Baron bersama dengan seorang wanita yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Kedua orang dalam foto tersebut tampak tersenyum bahagia dengan latar pantai di belakangnya. Senyum lebar terukir di bibir Baron, senyum yang belum pernah Julie lihat. Sementara wanita di sampingnya terlihat begitu anggun dengan rambut panjang sebahu serta dress berbahan silk warna putih. Tampak serasi dengan kemeja putih dan celana pendek berwarna mocca yang Baron kenakan. Foto tersebut sudah cukup kotor. Seperti baru saja diambil dari tumpukan barang-barang yang dipenuhi dengan debu. Julie tidak tahu siapa wanita itu. Apa hubungannya dengan Baron. Namun siapapun yang melihatnya pasti berpikir bahwa mereka berdua adalah dua orang yang memiliki hubungan special. Sama seperti yang sedang Julie pikirkan saat ini. Entah mengapa ada perasaan sesak yang menyelimuti d**a Julie ketika dia melihatnya. Semacam perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Padahal dia tak seharusnya merasa seperti itu. Baron hanyalah seorang rekan yang sedang bersama-sama menyelidiki kasus muridnya. Tidak lebih, bukan? Tanyanya pada diri sendiri. Lalu ia mengangguk, menyakinkan diri. Saat itu lah tiba-tiba Baron muncul di hadapannya. “Kau sedang apa?” Tanyanya dingin dan tegas. Entah sejak kapan lelaki itu sudah berada di sana. Seserius apa Julie dalam memandang foto tersebut sampai-sampai tidak menyadari kedatangan Baron? Karena terkejut, buku dan foto itu akhirnya terlepas dari tangan Julie dan jatuh ke lantai. “Baron…” Ucapnya. Baron menatap Julie, ia kemudian menunduk untuk mengambilnya. Julie yang panik buru-buru klarifikasi, “Aku…aku hanya tidak sengaja melihat….” Dalam posisi seperti seorang pria yang sedang melamar kekasihnya, Baron kembali menyelipkan foto tersebut dalam bukunya seraya berkata, “Kau tidak seharusnya menyentuh barang orang lain tanpa seizinnya.” Ucap Baron tanpa melihat Julie. Ia seperti tidak menganggap bahwa Julie ada di hadapannya. Baron kemudian berdiri. “Maaf, maaf, Baron. Aku tidak bermaksud demikian.” Hanya itu yang keluar dari bibir Julie. Ia benar-benar merasa tak enak hati dengan Baron. Pria itu terlihat marah sekali, seolah Julie habis melihat rahasia terbesarnya. Bukannya kembali meletakkan buku itu di lemari kayu, Baron justru meminta Julie untuk meninggalkan rumahnya. Ya, meski ia menggunakan kalimat lain, namun Julie tahu maksud perkataannya. “Aku rasa pertemuan kita kali ini cukup sampai di sini. Aku harus istirahat lebih cepat karena besok harus datang ke kantor lebih pagi.” Lagi-lagi Baron sama sekali tak melihat mata Julie. Ia seperti menghindari tatapan mata Julie. Julie mengangguk pelan. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menyetujuinya. Lagi pula ia sudah diusir secara halus. Rasanya tidak tahu diri sekali bila ia tetap di sana apalagi sampai bertanya tentang wanita yang ada di foto itu. Ia kemudian bergegas merapikan laptop dan tasnya dengan cepat karena suasana mendadak menjadi sangat canggung. “Kalau begitu aku pulang dulu. Terima kasih untuk hari ini.” Baron hanya mengangguk, membiarkan Julie berjalan keluar rumah seorang diri. Sementara itu, Baron hanya menatap buku yang ada di tangannya. Tak berani membukanya, apalagi sampai melihat foto yang ada di dalamnya. Barang itu rasanya sudah dia “sembunyikan” selama berbulan-bulan lamanya, tapi tiba-tiba saja seorang wanita yang baru datang di hidupnya kembali memunculkan kenangan itu secara tidak sengaja. Baron duduk di kursi kerjanya, tangan kanannya memegang kening yang tiba-tiba terasa begitu sakit. Sementara tangan kirinya masih memengang buku yang sama. Dilihatnya buku itu dalam waktu yang lama, ingin membukanya namun ragu. Sekeras apapun ia berusaha untuk menjauhkan benda tersebut dari pandangannya, pada akhrinya Baron tetap tidak bisa melupakan kenangan indah sekaligus kenangan buruk tersebut. Karena sejatinya, kenangan itu tidak terletak di dalam benda-benda mati melainkan tersimpan di hati dan memorinya. Baron menghela napas berat. Ia akhirnya menyimpan buku tersebut di dalam laci meja kerjanya. Baron lalu teringat dengan tindakan kasarnya pada Julie. Ia sadar bahwa tadi dia sudah membentak dan mengusir Julie secara tidak langsung. Ia tiba-tiba merasa bersalah. Tidak seharusnya seorang pria dewasa melampiaskan marahnya pada seorang wanita yang tidak tahu apa-apa. Ya, Baron harus segera minta maaf pada Julie. Secara langsung. *** Suasana di ruang guru menjadi tidak secair biasanya. Beberapa guru senior masih melihat Julie dengan sinis karena perseteruannya dengan orangtua Tia belum selesai. Meski Julie berusaha untuk tetap professional dan tidak menghiraukan desas-desus di sekelilingnya, namun rasa tidak nyaman tetaplah dia rasakan. Untunglah ada April yang tetap menemaninya walau April sendiri sedikit takut dimusuhi oleh guru-guru senior karena dirinya membela Julie. Sementara Mei, dalam keadaan dan kondisi apapun, wanita itu memilih untuk mengasingkan diri dari berbagai pihak. Ia tidak membela Julie, tapi juga tidak memusuhi Julie. Saat para guru senior sudah menuju ke ruang kelas masing-masing, kini hanya ada Julie, April, dan Mei di ruangan. April pun menghampiri Julie, ia mengusap-usap pundak rekan kerjanya itu guna menenangkan dan memberi kekuatan. Julie menoleh, melihat April yang memberikan tatapan mata penuh ketulusan. “Terima kasih. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa diam saja, suasana seperti ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama.” “Jadi kau akan minta maaf kepada Tia dan orangtuanya?” Tanyanya seraya menggeser kursi, kini dia duduk di samping Julie. Mereka berdua memang sedang tidak ada jadwal mengajar di jam ini. Sementara Mie, entah apa alasannya hingga ia belum menuju ke ruang ruang kelas. Namun diam-diam, Mei mendengar dan mengamati perbincangan Julie dan April kala itu. Meski tangan dan matanya terlihat seperti ia sedang fokus mengerjakan sesuatu, namun telinganya terpasang baik untuk mendengar pembicaraan kedua rekan kerjanya. Julie menggeleng, tidak membenarkan pertanyaan April. “Aku tidak akan minta maaf sampai menemukan alasan dan bukti yang kuat mengapa aku harus minta maaf. Maksudku, semua alasan dan bukti yang aku kumpulkan sudah menunjukkan bahwa yang Tia lakukan itu salah. Lantas, mengapa harus aku yang minta maaf?” Ujarnya tegas. April buru-buru mengangguk, takut kena semprot Julie. “Ya, kau benar. Lalu apa yang akan kau lakukan?” “Aku akan mengeluarkan kartu AS-ku.” Jawab Julie. “Kartu AS-mu?” “Ya, aku akan datang menemui Pak Adiwiyata—” Julie kemudian sadar akan suatu hal. Ia melirik April lalu kemudian melihat ke arah Mei yang sedang duduk anteng di mejanya. Julie hampir saja keceplosan. Padahal mereka—dirinya, Baron, dan Adrian—sudah sepakat untuk sementara waktu menyembunyikan fakta bahwa Fadli adalah anak Tommy Sudrajat yang merupakan politikus sekaligus donatur utama di SMA Cendikiawan III. Saat mendengar kalimat itu, tangan Mei yang sejak tadi pura-pura menulis sesuatu, mendadak terhenti. Ia tidak ingin melewatkan kalimat yang akan Julie ucapkan. “Lalu???” Tanya April tidak sabar. Julie buru-buru berbalik badan menghadap meja—sebelumnya dia menghadap ke samping dan berhadap-hadapan dengan April—lalu merapikan tempat pensilnya. “Maaf aku belum bisa mengatakannya sekarang.” April terlihat kecewa. Meski tidak mengatakannya secara langsung, tapi Julie bisa mendengar dari tatapan mata April bahwa wanita itu berpikir jika Julie tidak mempercayainya. Padahal selama ini April selalu percaya pada Julie. “Aku bukannya tidak percaya padamu. Tapi aku belum bisa memberitahukan hal ini pada siapapun termasuk dirimu. Dan aku sungguh berterima kasih karena sejauh ini kau selalu berada di pihakku.” Mata April terbelalak, “Bagaimana bisa kau tahu pikiranku??? Itu persis seperti yang sedang aku pikirkan saat ini.” Ucapnya heboh, tentu terdengar oleh Mei. Julie mengaduh dalam hati. Lagi-lagi ia lepas kendali dalam menggunakan kemampuannya. Jika begini terus, maka semua orang di sekolah ini akan tahu tentang kemampuan ajaibnya. Dan ia tidak mau itu terjadi. Ia tidak siap dipandang sebagai orang aneh oleh semua orang. Ia juga tidak siap untuk menjawab seribu pertanyaan yang ada. Belum lagi jika ada pihak-pihak yang akan menyalahgunakan kemampuannya. Jadi saat ini Julie memutuskan untuk menyembunyikannya. Meski tidak sepenuhnya, maksudnya sudah ada beberapa orang yang tahu itu. Julie lalu tertawa keras, lebih tepatnya tawa yang dipaksakan. “Ha..ha..ha..itu sudah jelas terlihat dari ekspresi wajahmu.” Julie sedang mengeles. April memberi pandangan tak mengerti. Julie mengendikkan bahu dan berusaha untuk bersikap senatural mungkin, “Ya, maksudku ekpresi wajahnya terlihat kecewa sekali. Itu jelas. Dan selebihnya, aku memang ingin mengucapkan terima kasih karena kau tetap menemaniku di saat guru-guru lain memusuhiku.” April merasa tersanjung dengan ucapan Julie. Dia dengan cepat melupakan rasa kecewa akibat Julie tidak jadi bercerita. Tapi di ujung sana, Mei justru jauh lebih penasaran tentang hal apa yang akan Julie lakukan setelah bertemu dengan Adiwiyata. Mei ingin tahu tapi enggan bertanya. Ia takut. Khawatir bila nantinya Julie justru bertanya yang macam-macam padanya. Mei akhirnya hanya diam saja. Menyaksikan April yang tidak lama keluar dari ruangan untuk kemudian pergi ke ruang Latihan paduan suara. Katanya, ada berkas-berkas berisi not lagu yang harus dia ambil sekaligus bertemu dengan pelatih vokal dari luar. Mereka memang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi paduan suara di Jakarta nanti. Jadi sepertinya, dalam beberapa bulan ini April akan disibukkan dengan jadwal membimbing dan mendampingi anak-anak paduan suara. Dan Julie, dia juga bergegas menuju ruang kepala sekolah. Sebelum pergi, Julie sempat menoleh ke arah Mei. Mereka saling bertatapan, namun lagi-lagi tidak lama karena Mei langsung beralih. Julie menunggu, barangkali ada hal yang ingin Mei sampaikan padanya. Namun ternyata tidak, wanita itu masih saja sibuk mengerjakan sesuatu yang entah apa. Ketika Julie mengetuk pintu, Adiwiyata sedang menandatangani berkas yang berisi rincian gaji para guru bulan lalu yang akan dibayarkan tiga hari lagi. Sebagai kepala Yayasan sekaligus kepala sekolah, Adiwiyata tidak pernah telat dalam menggaji pegawainya. Ia juga sering memberikan bonus kepada guru yang memiliki kinerja luar biasa. Meski tidak sebesar gaji guru yang mengajar di sekolah swasta di Jakarta, namun gaji yang diberikan cukup untuk biaya hidup di Bandung Barat dan sisanya masih bisa untuk ditabung. Ia mempersilakan Julie untuk masuk. Menyimpan berkas yang baru sebagian ditandatangani. Berjalan menuju sudut ruangan, mengambil sebotol air mineral untuk kemudian dia sajikan pada Julie. Ada yang beda pada diri Adiwiyata hari itu, ia tidak tersenyum, hal yang biasa dia lakukan ketika menyambut seseorang datang ke ruangannya. Namun dia juga tidak memandang Julie sinis seperti para dewan guru lainnya. Ekpresi wajahnya datar. Sulit untuk ditebak. Julie berterima kasih untuk minuman itu. Tidak pakai basa-basi apalagi kata pengantar, Julie langsung mengatakan maksud dan tujuannya datang ke sana. Dia masih tetap pada pendiriannya, untuk tidak minta maaf pada Tia dan orangtuanya. “Konsekuensi yang Anda terima mungkin lebih berat dari yang Anda pikirkan.” Ujar Adiwiyata setelah mendengar pernyataan Julie. Julie bertanya apa konsekuensi terberatnya. Adiwiyata menjawab bahwa Julie akan diberhentikan dari SMA Cendikiawan III dan tidak menutup kemungkinan orangtua Tia akan membawa kasus ini ke jalur hukum, juga Julie menggeleng takjub dengan mulut terbuka dan senyum dipaksakan, “Wah…kekuatan dari donatur utama sungguh luar biasa ya, Pak.” Julie mengambil botol air mineral yang ada di depannya, ia lalu membuka tutup botol yang masih disegel itu hingga terdengar bunyi “Krekk.” Sebelum meneguknya, Julie kembali berkata, “Tapi apa orangtua Tia itu sungguh donatur utama di sekolah ini?” Ia mengangkat satu alis, memasang ekpresi menyebalkan sekaligus misterius. Kepala sekolah itu tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja seorang guru baru mempertanyakan kebenaran dari suatu hal yang sudah dia tutupi selama hampir dua tahun. Bukannya menjawab pertanyaan Julie, Adiwiyata justru mempertanyakan maksud dari pertanyaan Julie. Julie tersenyum tipis, dia sungguh pintar memainkan ekpresi di saat seperti ini. “Ya, saya hanya penasaran saja, berapa donasi yang diberikan oleh orangtua Tia sampai-sampai dia menjadi donatur utama dan memiliki kekuatan untuk memecat seorang guru.” Adiwiyata mulai berusaha mengendalikan mimik wajahnya, ia juga mengubah posisi duduk dengan menegakkan tubuhnya. “Saya bisa memahami mengapa Anda berkata demikian, sebab Anda adalah guru baru di sekolah ini yang belum mengetahui banyak hal. Sebagai kepala sekolah yang harus bersikap netral dan berdiri di tengah-tengah antara dewan guru dan orangtua murid, saya akan memaafkan dan melupakan ucapan Anda barusan. Dan semuanya belum terlambat, Bu Julie, Anda masih memiliki kesempatan untuk meminta maaf pada Tia dan orangtuanya.” Adiwiyata rupanya mencoba untuk menghindari pembahasan yang Julie katakan. Ia kembali memutar topik pembicaraan dimana Julie harus minta maaf. Namun tentu saja Julie tidak terbawa arus. Justru dial ah yang akan membawa Adiwiyata bergabung dalam pembahasan yang dia inginkan. Ia ingin buru-buru menyelesaikan permasalahan ini karena masih banyak masalah yang harus dia selesaikan. Julie memajukan tubuhnya sedikit namun tetap terhalang meja, “Saya jadi penasaran, bagaimana jika orang-orang tahu kalau donatur utama di sekolah ini bukanlah orangtua Tia, melainkan Tommy Iskandar, ayah dari Fadli Iskandar. Pasti akan banyak sekali pihak yang terkejut, bukan? Para guru, murid-murid, mungkin juga masyarakat.” Kini Julie memundurkan tubuhnya kembali, mengendikkan bahu dan kembali berkata, “Yah, berita mengenai seorang anggota DPRD tentu akan menyita perhatian publik. Bukankah orang-orang akan penasaran dan berlomba-lomba untuk mencari tahu alasan mengapa keterlibatan Tommy sebagai donatur utama justru disembunyikan?” Adiwiyata sudah tidak bisa mengelak lagi. Julie jelas sudah tahu semuanya. Tidak ada gunanya jika dia tetap menghindar. “Saya tidak mengerti mengapa Anda tiba-tiba membahas ini. Bukankah Anda harus tetap fokus pada masalah Tia dan orangtuanya? Mengapa pula Anda membawa Tommy Iskandar dalam masalah ini?” “Anda bilang bahwa saya harus minta maaf pada orangtua Tia karena meraka adalah donatur utama di sekolah ini. Tapi faktanya, Tommy Iskandar lah yang merupakan donatur utama. Anda sudah menutupi kebenaran ini selama hampir dua tahun. Selama ini orangtua Tia sudah bertingkah layaknya orang nomor satu. Lantas menurut Anda, apa yang akan mereka lakukan setelah mengetahui fakta yang sebenarnya? Mereka pasti akan merasa seperti dipermainkan. Berhenti memberi donasi adalah hal yang sudah pasti dilakukan. Haruskah saya meminta maaf kepada orangtua Tia sekaligus memberitahu fakta ini kepada mereka?” Julie tersenyum. Senang karena berhasil memenangkan masalah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD