Bagian 12 : Nasib Nahas Kahil

1311 Words
Hal yang mengerikan terjadi. Lebih dari sekadar kehilangan kesadaran. Melainkan sukma tetap terbangun, tapi raga telah menjadi milik ruh lain. Kahil terkejut setelah pukulan hebat dari lelembut yang bertarung dengannya. Tiba-tiba, ruhnya terpental dari raganya sendiri. Kemudian, dia tak bisa kembali karena lelembut itu telah mengambil alih. Dia juga tak dapat menemukan jalan ke dimensi kehidupan kedua. Sebab, usia kehidupannya di dunia belum menemui takdir kematian. Dia terombang-ambing di dunia fana dan gaib. "Nah, sekarang kita mempunyai penasihat baru," ungkap Lunara tersenyum miring. "Apa yang kau maksud?" Babad belum menyadari jika tubuh Kahil telah diambil alih oleh makhluk tak kasat mata. Bahkan sebelumnya, saat Kahil bertarung melawan lelembut tersebut, dia pun tak dapat melihatnya. Itulah kelebihan lelembut dibandingkan manusia. "Kurasa … kau memang harus mulai bersungguh-sungguh mempelajari ilmu peninggalah Ramamu." Ruh Kahil yang masih berada bersama mereka terkejut. Apa maksud dari perkataan lelembut di samping Babad. "Ah, sepertinya begitu. Tapi … tunggu!" Babad mulai menyadari akan Kahil yang tetap bergeming dengan perkataan Lunara. "Apa kau menyihir pamanku untuk berpihak pada kita?" Lunara tersenyum memandang ruh kahil. Dia berkata, "Lebih dari itu. Kau lihat tadi dia seolah bertarung bukan? Dia memang bertarung dengan abdi setiaku. Dan sekarang, abdiku telah menempati raga dari pamanmu." "Benarkah?" Babad tertawa puas. "Lalu dimana ruh pamanku sekarang? Apa dia sudah mati?" "Dia masih ada di sini. Kalau dia mati, raganya tak dapat bertahan lama ditempati oleh abdiku." Kahil semakin geram mendengar perbincangan mereka. Dia berusaha mengeluarkan ilmunya, tapi tak berhasil. Seolah apa yang dimilikinya sirna seraya raga ditempati ruh lain. Namun, dia tak mau menyerah begitu saja. Dengan tangan kosong, dia berlari untuk mencoba menyerang Lunara. Tiba-tiba, tubuhnya terpental karena sebuah kekuatan, kekuatan miliknya. "Makhluk-makhluk durjana!" ungkap Kahil marah. Lunara menatapnya sinis. Dia hampir saja kelupaan untuk menawan Kahil. Untung saja, lelaki itu tak melarikan diri. Kalau tidak, di luaran sana bisa saja kematian datang menjemputnya. Jika itu terjadi, raganya akan mulai membusuk dan tak bisa lagi ditempati oleh lelembut. "Ruhiya ka pasung dina tali goib!" Lalu dari tangan Lunara terjulur sebuah ikatan yang membelenggu ruh Kahil. Lelaki itu tak berdaya, tak dapat lari kemana-mana. Menjadi tawanan yang menunggu takdir membebaskannya. "Babad! Sekarang kau boleh memerintah pamanmu untuk mengabarkan kepada rakyat Manbara akan penobatanmu. Sementara itu, ruh dari pamanmu yang sebenarnya akan aku kurung pada dimensi yang tak dapat ditembus manusia atau pun lelembut." Kahil mencoba meronta dari ikatan tali gaib tersebut. "Terima kasih, Lunara." Babad tersenyum bangga menyambut kemenangannya. Namun, lengkungan bibir tersebut harus sirna saat Lunara berkata, "Jangan hanya terima kasih. Kau harus menuntaskan kewajibanmu." Babad hanya bisa menelan ludah. 'Apa yang sebenarnya Babad tumbalkan untuk perjanjiannya dengan makhluk ini?' Pikir kahil dalam ketidakberdayaannya. Lunara tersenyum kecil membaca pikiran tersebut. Dia berkata, "kau ingin tahu? Mari kuceritakan." Dia pun segera menghilang dari hadapan Babad tanpa sebuah pamit, membawa Kahil ke tempat penawanannya. "Hah!" Babad menghela napas. Dia pun berbalik badan untuk kembali ke biliknya. Namun, dia kemudian sadar kalau raga Kahil hanya berdiri mematung. "Kenapa kau hanya berdiam diri?" tanya Babad berbalik badan. "Saharsa hyang, Pangeran Babad. Hamba hanya melakukan sesuatu atas perintah anda dan Putri Lunara," jawabnya. "Jadi begitu rupanya. Kalau begitu, bersikaplah biasa saja. Seolah-olah, kau adalah Paman Kahil. Kita tunggu Lunara kembali untuk melangsungkan rencana selanjutnya." Babad menggelengkan kepala tak percaya seraya tubuhnya berbalik kembali. Kali ini, dia benar-benar melangkahkan kaki menuju ke biliknya. ⁂ Sementara itu, Lunara sudah berhasil membawa Kahil ke tempat penahanannya. Di sana bukan hanya ada dirinya, melainkan ruh-ruh yang berpisah dengan raganya. Tak hidup, tapi tak jua menemui kematian. "Mereka adalah orang-orang yang melakukan persekutuan denganku. Namun, tak dapat memenuhi kewajibannya." "Siapa kau sebenarnya?" Kahil meredam emosi demi mencari tahu tentang sosok lelembut bersamanya ini. "Lunara! Putri sulung Kerajaan Agung Lembahiyang." Dia mengatakannya dengan penuh kebanggaan. Namun, sesaat kemudian mulai sirna ketika ingat bahwa dia tak akan mewarisi takhta ayahnya. "Mengapa kau mau bersekutu dengan keponakanku?" Kahil menundukkan hatinya agar tak tersulut emosi. "Karena Babad Guntara akan membawaku menggapai apa yang kuinginkan, maka aku juga akan memberikan apa yang dia inginkan." Lunara kemudian mengalihkan pandangan kepada Kahil. Kedua bola mata mereka saling bertukar pandang. Nampak kepedihan tersirat dari tatapannya, sedih karena takdir melahirkannya kedunia sebagai seorang perempuan. "Aku menginginkan sebuah takhta," lanjutnya berkata. Langit pun bergemuruh karena ucapannya tersebut. "Takhta? Bukankah kau seorang putri dari kerajaan agung? Mengapa—" "Karena aku seorang perempuan! Takhta Lembahiyang tak akan jatuh kepadaku." "Kurasa meskipun seperti itu, Ramamu pasti akan memberikan hal yang terbaik untukmu." Peran Kahil sebagai penasihat terlihat. Lunara pun hanya tersenyum kecil. "Kau terlalu banyak bicara. Sebaiknya kau segera bergabung saja dengan mereka!" Lunara mendorong Kahil masuk ke dalam tahanan yang sudah dibuatnya. Lelaki itu bergabung dengan tawanan ruh lain. Kahil mengedarkan pandangan melihat isi dari para tahanan Lunara. Dia hanya melihat wajah-wajah penuh keputusasaan. Tak ada luka yang terlihat secara kasat mata, akan tetapi lebam di hati yang melukai perasaan mereka jelas terlihat. Itu bahkan lebih menyakitkan. "Selamat menantikan takdir kematianmu, tuan Kahil." Lunara tersenyum kecil, lalu menghilang. Ikatan yang membelenggu Kahil pun terlepas. Di dalam tawanan yang tak dapat ditemukan oleh manusia atau pun lelembut itu, dia tak memerlukan lagi sebuab ikatan. Karena mustahil tawanannya bisa melarikan diri dari mantranya yang kuat. 'Takdir kematian?' Kahil menunduk. Aura keputusasaan mulai memeluknya. Dia kini setara dengan tawanan-tawanan ini. Jadi apakah ada jalan keluar dari tempat ini selain kematian? ⁂ "Tentu saja ada." Lumina, seorang perempuan berdarah amara yang pernah menemui Agastya mengatakannya. Dia memberikan pengelihatan mengenai nasib Kahil. "Bagaimana caranya?" Agastya tak terlalu antusias menanggapinya. Sebenarnya, dia sedikit kecewa akan pengharapannya yang belum terkabul jua. Sudah lewat beberapa hari sejak Lumina mengatakan, jika Ratnadewi tetap memberikan air s**u untuk Arunika, maka keadaannya akan segera membaik. Namun, sudah lewat beberapa hari pun, permaisurinya tersebut belum menemui kesadaran. "Arunika. Putrimu yang akan membebaskannya." Agastya membuang pandangan. Seperti dugaannya, anak itu yang kemudian dikatakan oleh Lumina. Sekarang, dia tak ingin berharap lebih. Takut dikecewakan kembali oleh pengharapannya tersebut. Hal nyata yang bisa dilakukannya hanya kembali melakukan pertapaan. Mencoba mengembalikan ilmu-ilmu yang terserap habis untuk memulihkan keadaan Ratnadewi. "Baiklah. Aku akan menunggu hari itu tiba. Hari dimana aku menjumpai kebebasan Paman Kahil." Agastya mengembangkan senyum palsu. Dia hendak berbalik dan kembali ke dunia fana. Meninggalkan dunia antah berantah tempat perbincangannya dengan Lumina. "Putraku, Agastya. Ilmu yang seharusnya kau pelajari adalah ketabahan. Kau harus ingat, tidak semua perkara bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Begitu juga dengan kondisi permaisurimu dan keadaan pamanmu." Lumina yang tahu perasaan Agastya memberikan petuahnya. "Aku tahu itu." Agastya menghela napas. Dia sama sekali tak menoleh, lalu berjalan kembali dan merapalkan mantra melewati portal dunia berbeda. 'Tabah? Sampai kapan aku harus begini?' Agastya berjalan menuju gubuknya dengan lesu. Namun, kedua matanya lebih dulu mendapati pintu terbuka sebelum langkahnya sampai. Dia sangat panik, takut kalau-kalau binatang buas menyerang putri dan permaisurinya. Dia pun segera berlari. "Diajeng! Aru …" Agastya terkejut. Di dalam gubuknya hanya ada Arunika seorang. Lalu, dimana Ratnadewi? Agastya membawa Arunika ke dalam pangkuannya. Dia berlari kembali ke luar gubuk sambil berteriak, "Diajeng … Diajeng Ratnadewi …" suaranya dipantulkan alam. Kaki Agastya tetap berlari sekalipun dia ingin berhenti. Entah apa yang terjadi, seolah-olah dia tak berdaya atas tubuhnya sendiri. Apa yang terjadi padaku? batinnya bertanya-tanya. "Kakang Agastya …" terdengar suara teriakan dari Ratnadewi. Agastya hampir tidak percaya, apakah itu benar-benar suara permaisurinya, atau tipu daya dari makhluk penghuni hutan bendu ini. Dia pun akhirnya sampai dan menemui Ratnadewi tengah ketakutan. Seekor harimau sedang mengambil ancang-ancang untuk menerkamnya. "DIAJENG!" teriaknya. Harimau itu mengalihkan pandangan akan kedatangan Agastya dan Arunika. Tiba-tiba saja, binatang itu kehilangan kegagahannya. Dia melangkah mundur dan pergi. Agastya pun menatap putrinya. Tak diragukan, ini semua pasti karena dirinya. Namun, saat harimau itu pergi, Ratnadewi urung mendekat kepada Agastya. Dia justru nampak lebih ketakutan dibanding sebelumnya. "Diajeng, ada apa?" tanya Agastya heran. . . . Bersambung. •> Pojok kata : - Ruhiya ka pasung dina tali goib! : Roh terpasung dalam tali gaib!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD