Bagian 11 : Kembalinya Pangeran Babad

1279 Words
"Kau telah membawa bencana kepada bangsa lelembut. Sebelum lebih banyak menelan korban, aku lebih memilih untuk membunuhmu." Putri Layung telah menyaksikan kematian paling mengerikan dari bangsa lelembut oleh putranya. Itu sebabnya, dia lebih memilih untuk mendekatkan putranya tersebut dengan kematian juga. Di tangannya sudah ada cahaya biru yang siap untuk dihunjamkan ke tubuh putranya. Namun, saat hatinya sudah mantap untuk menyerang, tetiba Harsa datang. "Diajeng, hentikan!" Kedatangannya seketika memadamkan cahaya dalam genggamannya. "Ada apa, Kakang?" "Kau tak boleh melakukan apa pun kepada putra kita. Sebab—" "Sebab apa? Dia sudah membunuh banyak jiwa lelembut. Aku tak bisa mengorbankan banyak nyawa hanya untuk satu bayi terkutuk." Sungguh! Sebuah penerimaan terhadap kelahiran bayi yang berbanding terbalik. Jika, Agastya lebih memilih putrinya, maka lain halnya dengan Layung. Dia lebih memilih kesenjangan rakyatnya. Tidak ada yang salah di antara mereka berdua, keduanya sama-sama memiliki maksud baik. "Dia bukanlah sebuah kutukan, Putri." Suara Danawa menggema memperingatkannya. "Rama?" Pandangan Layung seketika tertunduk. Sekali lagi, Danawa menjelaskan hal yang sama dengan apa yang dikatakan sebelumnya pada Harsa. Putra dan putrinya tersebut tertunduk, mereka tak punya kuasa menentang ucapan ayahnya. Terlebih, ketika dia berkata, "Mengapa kau tega ingin menghabisinya? Sedangkan dari semua makhluk di dataran Lembahiyang, hanya kau yang dilindungi. Karena kau adalah biungnya." Danawa kemudian melangkahkan kaki menghampiri bayi itu. Dia belum terjamah oleh satu pun tangan lelembut. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka dia merapatkan kedua tangan dan berkata, "Izinkan aku untuk menggendongmu, cucuku." Lekaslah setelahnya, dia membawa bayi Harsa dan Layung ke dalam pangkuannya. "Bolehkah aku memberi nama untuk bayi kalian?" ucap Danawa mengajukan pertanyaan. Sebenci apa pun kedua orang tuanya terhadap bayi itu, dia tetap harus meminta restu. "Tentu, Rama." Harsa menjawabnya, tetapi Layung masih terdiam. Sebetulnya, dia masih ingin melenyapkan bayi itu. Danawa tersenyum kecil. Dia tidak mempermasalahkan Layung yang tak menjawabnya. Dia juga tentu tahu, suasana hatinya belum pulih dan menerima. Maka, berkatalah Danawa menyuarakan sebuah nama yang membuat langit dan bumi bergetar. "Kuberi nama kau Rega. Lelaki yang akan menjunjung tinggi bangsa lelembut." ⁂ "Rega?" Lunara mengernyitkan dahi. Ya, dia tahu jikalau permaisuri dari adiknya tengah mengandung. Namun, dia begitu terkejut ketika mendengar kabar bahwa bayi itu sudah melenyapkan banyak nyawa lelembut hanya dengan tangisannya. "Benar, Putri Lunara. Bayi itu juga memiliki ciri fisik yang hampir sama dengan Putri dari Raja Agastya dan Ratu Ratnadewi." "Benarkah?" Lunara melipat kedua tangannya. Dia tahu bahwa ini bukan hanya sekadar kebetulan. Ada campur tangan sang ayah di belakangnya. Itu berarti, bayi yang telah lahir tersebut bukan hanya bayi biasa. Ada keistimewaan yang dibawanya ke dunia ini. "Baiklah abdi. Terima kasih sudah memberitahuku tentang keadaan istana selama ini. Tak sia-sia aku mempercayaimu, kau memang setia. Sekarang, kau boleh kembali ke istana." Sekejap mata, sosok lelembut kepercayaan Lunara menghilang. Sesaat kemudian, terpikir olehnya untuk kembali ke Tanah Lembahiyang. Rasanya, dia sudah meninggalkan alam gaib cukup lama. Namun, suara dari rakyat Manbara yang menyambut kedatangan Babad mengurungkan niatnya. Dia harus tetap berada di samping lelaki itu sampai takhta telah dijatuhkan padanya. Jikalau tidak, rencana akan sia-sia di tangan orang tak berilmu. "Hidup Pangeran Babad, hidup Pangeran Babad …" Riuh sambutan mereka membuat Lunara tersenyum kecil. Perasaan tersebut muncul di antara kepuasan telah mencapai tujuan dan bahagia melihat lelaki yang mulai mengisi hatinya kembali. Dia mengulangi kisah tragis dari para lelembut yang menjalin kasih dengan manusia. Karena tak ada persekutuan yang dibumbui dengan perasaan hati berakhir indah. Para lelembut hanya boleh melampiaskan berahi kepada seorang manusia, namun tak menautkan hati pada mereka. Bagaimanapun jua, cinta berbeda alam tak dibenarkan. "Terima kasih, rakyat Manbara. Aku tersanjung dengan penyambutan kalian. Padahal, aku sama sekali tidak melakukan apa pun." Babad membungkukkan sedikit badannya setelah mengucap kalimat tersebut. Pangeran angkuh itu tengah merendah untuk mendapat sanjungan. Padahal sebiasanya, seusai menuntaskan perkara apa pun, dia tak pernah bercengkrama dengan rakyat sebelumnya. Dia akan turun dari kereta kencana dan berlalu begitu saja memasuki istana, tapi kali ini berbeda. "Tidak, Pangeran. Engkau telah menyingkirkan malapetaka dari Tanah Manbara." Teriak salah satu rakyatnya diikuti oleh yang lainnya, "Ya, itu benar. Benar!" 'Benar! Tentu saja. Aku memang telah menyingkirkannya. Putra mahkota yang menghalangiku duduk di singgasana.' Lunara tertawa kecil membaca pikiran Babad. "Kalian terlalu berlebihan. Kalau begitu, izinkan aku untuk beristirahat sejenak setelah perjalanan panjang ini rakyatku." "Baiklah, Pangeran. Semoga engkau berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa agar Tanah Manbara bisa dipimpin oleh dirimu." 'Oh, tentu saja. Besok atau lusa, aku akan segera mengambil takhta Rakanda. Aku tidak perlu persetujuan kalian untuk menentukan siapa yang akan memimpin di antara aku atau Paman, Paman?' Babad seketika mengingat Kahil. Apa gerangan yang dilakukannya selama mengantar kepergian Agastya. Jangan-jangan, dia menyusun rencana sendiri untuk menduduki takhta raja. Ini tidak bisa dibiarkan, kaki pun melangkah memasuki istana meninggalkan kerumunan rakyat yang menyambut kedatangannya. "Abdi! Di mana Paman Kahil?" Babad bertanya kepada salah satu abdi dalam istana. "Saharsa hyang, Pangeran. Hamba tidak melihat Tuan Kahil selama kalian pergi. Seingat hamba, beliau memasuki biliknya dan tak keluar-keluar." Abdi tersebut melipat kedua tangannya dengan kepala tertunduk. "Apa gunamu di sini pelayan bodoh?" Babad mengatakannya dengan sinis. Lalu, kakinya tiba-tiba saja menendang perut abdi tersebut. Beberapa dayang, prajurit dan abdi lainnya terkejut. Namun, mereka tak dapat berbuat apa-apa. "Ampuni hamba, Pangeran." Abdi tersebut bersujud memohon maaf di bawah kaki Babad. "Kau tak seharusnya berlaku demikian , keponakanku." Tiba-tiba, Kahil berada di antara mereka. Entah sejak kapan dia menyaksikan kekejaman keponakannya tersebut. Dia lantas berkata lagi, "Ada apa gerangan kau mencariku?" "Aku ingin berbicara empat mata denganmu." Babad sama sekali tak menunjukkan rasa hormat kepada pamannya tersebut. Lantas, dia berjalan menuju balai istana, diikuti oleh Kahil di belakangnya. Pintu ditutup. Di dalam bilik itu hanya ada mereka berdua. Bahkan, kedua penjaga yang biasanya berada di depan pintu diminta pergi sementara, selama mereka melangsungkan pembicaraan. "Ada apa keponakanku, sepertinya ada hal penting yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Kahil. Sedangkan Babad sendiri berdiri memunggunginya. "Tak perlu banyak omong. Aku tahu kalau kau juga menginginkan takhta di istana ini. Tapi, perlu kutekankan kalau …" "Keponakanku!" Kahil memotong perkataan Babad. "Kuharap kau menjawabnya dengan jujur. Apakah semua kekacauan di Tanah Manbara karenamu?" Seringai senyum Babad kemudian menampakkan kelicikannya, dia berpaling. "Kekacauan? Maksudmu?" Alisnya naik sampai menimbulkan kerutan-kerutan di dahi. Dia pun berdecak, "Ah, aku mengatakan hal tadi karena sudah menuntaskan kebajikan kepada rakyat Manbara. Jadi kurasa, mereka memang memerlukan pemimpin sepertiku." "Kau bukan menuntaskan kebajikan. Melainkan menuntaskan Agastya dari takhtanya." Kahil dengan tegas menyampaikan kebenarannya. Sedikit demi sedikit, perasaannya mulai tersulut emosi. Babad tertawa kecil. Dia mengitari tubuh Kahil dan berkata, "Kau memang penasihat kerajaan yang hebat. Pantas, Manbara selalu mendapat kemenangan setiap kali peperangan. Firasatmu terhadap sesuatu sangatlah kuat." "Kau berkata demikian. Itu artinya perkataanku benar?" Kahil mencoba kembali menegaskannya. Namun, dia sama sekali tak mendapat jawaban. Yang didengarnya hanyalah tawa kecil menggangu telinga. Kahil mulai mengepal kedua tangannya. Emosi yang tadi hanya tersulut kini sudah terbakar. Dia berkata, "Aku tahu. Pantas, Tanah Manbara serasa terkurung dalam sebuah mantra. Selain itu aroma dirimu tercium bau—" "Lelembut." Lunara tiba-tiba berada di dalam bilik tersebut. Dia kemudian mendekat ke tempat di mana Babad berada. "Kurasa, Tanah Manbara memerlukan penasihat baru kerajaan." Kahil terkejut. Tidak ada jalan lain selain melakukan pertarungan dengan lelembut di hadapannya. Meskipun, dia tahu kalau ilmu makhluk itu sangat tinggi. Itulah sebab dimana pertapaannya selama Babad pergi tak berhasil. Dia tak dapat menemui sukma dari rakandanya, Danasura. "Apa maksudmu?" Kahil mengernyitkan dahinya. Bibir Lunara pun mulai berkecumik merapalkan mantra. Lalu, muncul sosok lelembut lain, salah satu abdi setianya. "Kau tahu tugasmu, 'kan?" ucap Lunara. 'Celaka!' Kahil bersiap-siap memasang kuda-kuda. Barangkali, lelembut itu akan menyerangnya tiba-tiba. Sedangkan Lunara, dia tersenyum kecil membaca pikiran Kahil mengenai kepanikannya. . . . Bersambung •> Pojok kata : - Saharsa hyang : Seribu sembah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD