Ketakutan dari kondisi-kondisi di luar nalar membuatnya serasa gila. Dimana orang-orang? Mengapa dia tersadar di sebuah gubuk kecil dalam hutan. Serta, seorang bayi aneh yang mendampinginya tidur. Apakah itu bayinya atau bukan? Isi kepala Ratnadewi dipenuhi tanya. Apalagi, perutnya sudah tak lagi buncit karena kandungan. Ah, dia mengingatnya! Hari dimana persalinan itu terjadi.
'Bayi ini sepertinya anugrah dari Yang Maha Agung, Ratu.' Satu kalimat terakhir yang diingatnya sebelum hilang kesadaran. Iya, dia juga ingat ketika sosok lelmbut menyerang dan membawa bayinya pergi sebelum sempat dia melihatnya.
"Diajeng … aku senang kau sudah terbangun dari tidurmu." Agastya mencoba menepis keheranannya. Dia melontarkan kalimat tersebut agar Ratnadewi sedikit tenang. Namun, permaisurinya tersebut urung menjawab. Dia juga masih tak mau mendekat, kedua bola matanya mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Apa kau benar Kakang Agastya?" Ratnadewi takut jika apa yang dialaminya sekarang hanyalah sebuah illusi yang diciptakan oleh lelembut. Mengingat ketidaksadarannya yang hilang diakibatkan oleh lelembut.
"Diajeng, aku Agastya. Seorang lelaki yang telah meminangmu. Ini … Arunika, putri kita." Pandangan Agastya beralih melihat wajah bayi yang berada dalam pangkuannya.
"Tidak! Kenapa dia tak nampak sepertiku atau pun engkau, Kakang?" Ratnadewi belum bisa menerima perbedaan dari bentuk fisik putrinya tersebut.
"Tidak!" Sekali lagi dia berkata sambil menggelengkan kepala. Langkah kakinya perlahan berjalan mundur. Dia pun berlari kembali, guna mengelak dari kenyataan.
'Rama, tolong aku!' Kaki Ratnadewi terus berlari tanpa henti. Agastya pun tak tinggal diam dan mengejarnya. Kejar-kejaran mereka berhenti saat Ratnadewi tersandung akar mimang. Sebelum dia kembali kehilangan kesadarannya, terlihat pandangan nanar terpancar dari matanya.
"Diajeng …" Agastya ragu-ragu mendekatinya. Konon, akar mimang membuat orang bingung dan tersesat jika dilangkahi. Apa itu sebab daripada pandangan nanar permaisurinya?
"Aaaa …" Ratnadewi berteriak hingga suaranya memantul di udara. Seketika pula, dia kembali tak sadarkan diri.
"Diajeng!" Agastya segera mendekat. Dia begitu panik, sedang di dalam pangkuannya ada Arunika, bagaimana dia membawa permaisurinya kembali ke gubuk dalam kondisi tak sadarkan diri?
⁂
'Rama …' Ratnadewi berada pada batas waktu tak terhingga. Dia melihat ayahnya yang tengah bersedih. Saat dirinya hendak mendekat, tetiba pintu terbuka dan sosok dirinya di hari pernikahan datang.
'Aku sedang melihat masa laluku?' Pertanyaan baru muncul di benaknya. Beban dalam pikirannya semakin bertambah. Mengingat pertanyaan-pertanyaan sebelumnya pun belum terjawab. Tentang terbangun di sebuah gubuk dengan bayi aneh.
"Maka, aku bersumpah bahwa leluhur akan selalu mendampingi kami, Rama." Ucapannya tatkala meredam kekhawatiran ayahnya membuat dia terkaget sendiri. Suara guntur di langit cerah seolah membalas sumpahnya tersebut.
Ratnadewi sekarang melihatnya, bahwa dia yang telah mengucap sumpah diikuti oleh sesosok bayangan. Dia tidak tahu, apakah itu sejenis lelembut atau khodam leluhurnya? Namun, tiba-tiba saja sosok tersebut berpaling melihatnya, tersenyum. Sekejap mata, sosok itu menghilang dan tiba-tiba berada di belakangnya.
"Aku datang untuk memenuhi sumpahmu, cucuku."
Ratnadewi berpaling. Kini dia benar-benar saling berhadapan. "K—kau siapa?" Bibirnya terasa kelu untuk mengucap kata.
"Aku Lumina. Sosok leluhurmu dari darah Amara."
Ratnadewi mulai menilik lebih rinci kemiripan sosok di hadapannya dengan bayi aneh di samping tempatnya terbangun.
"Amara?" tanya Ratnadewi mengernyitkan dahi.
"Kami adalah makhluk yang terlahir dengan karunia keabadian untuk menjaga cucu cicit kami. Dan putrimu juga mempunyai karunia tersebut. Sehingga wujudnya mirip dengan kami."
Ratnadewi menggelengkan kepala beberapa kali. Kemudian, Lumina meraih tangannya dan mereka melakukan perjalanan lorong waktu. Dimana beberapa kesalahan dan sebuah mantra membuat darah Amara menetes kepada putrinya. Saat dimana Lunara datang setelah Ratnadewi melakukan persalinan, akhirnya sosok Arunika dilihatnya jelas. Bayi itu memang sama dengan wujud yang ditemuinya saat tersadar di sebuah gubuk.
"Jadi … bayi itu adalah putriku?" Ratnadewi perlahan mengalihkan pandangan kepada Lumina.
"Aku tidak akan menjelaskan banyak hal kepadamu. Seiring waktu, kau akan tahu dan mengerti." Lumina tersenyum, tangannya mengelus pipi Ratnadewi. Saat kedua bola mata mengedip, dimensi kembali ke dunia nyata.
Agastya sudah berhasil membawa Ratnadewi kembali pulang ke gubuk. Dia begitu bahagia ketika melihat permaisurinya membuka mata. Namun, pandangan yang pertama kali dilihat bukanlah dirinya, melaikan Arunika. Ya, Ratnadewi berpaling melihat putrinya yang tertidur di samping.
"D—dia … putri kita, Diajeng." Agastya terbata-bata mengatakannya. Takut jikalau Ratnadewi tak bisa menerima kondisi Arunika.
"Siapa namanya, Kakang?" tanya Ratnadewi tanpa mengalihkan pandangan.
"Arunika."
Ratnadewi terbangun. Dia kemudian membawa Arunika ke dalam pangkuannya. Tak henti pula bibirnya memberikan kecupan. Dia berkata, "Arunika … putri Amara."
Agastya terkejut. Rupa-rupanya, Ratnadewi sudah mengetahui identitas tersebut. Namun sesaat kemudian, dia ingat bahwa darah Amara memang menetes dari keturunannya.
"Diajeng … maafkan aku. Aku tak pernah ada di saat kau benar-benar membutuhkanku." Agastya menundukkan kepala menyesal. Dia mengingat beberapa kenangan yang sudah berlalu.
"Mengapa kau berkata demikian, Kakang. Padahal, aku sama sekali tidak pernah merasa begitu." Ya, Ratnadewi memang tidak merasakannya. Namun, Agastya tahu kalau dia selalu datang terlambat untuk menyelamatkan. Seperti saat ketika hari kelahiran Arunika. Atau, ketika tersadar dari tidurnya yang lama.
"Tidak, Diajeng. Jika saja aku mendampingimu saat kau melahirkan Arunika, maka semua malapetaka ini tak akan ada. Bahkan, kita mungkin tidak akan terusir dari Manbara dan tinggal di hutan Bendu seperti ini."
"Hutan Bendu?" Ratnadewi mengernyitkan dahi. Bagaimana mungkin mereka bertiga bisa bertahan di tempat ini. Dia mulai terlihat panik kembali, apa yang terjadi ini memang nyata atau hanya halusinasi semata. Kenapa dia merasa seperti gila untuk memahami semua ini?
"Benar, Diajeng. Semua karena Adikanda Babad. Dia yang menghasut rakyat Manbara untuk mengasingkan kita ke hutan ini. Semua orang di tanah Manbara menganggap Arunika sebagai kutukan. Namun …" Agastya tetiba menghentikan kalimatnya. Hal yang kemudian membuat Ratnadewi semakin penasaran.
"Mengapa, Kakang?"
Agastya menatap putrinya dan berkata, "Dia adalah Anugrah. Kau pun kembali tersadar dari Mantra lelembut karenanya." Lalu pandangannya kembali menatap Ratnadewi. "Kita bisa aman tinggal di hutan ini juga karenanya."
"Benarkah?" Ratnadewi tersenyum penuh haru. Dia kembali mengecup putrinya. Tak lama, Agastya merangkul keduanya ke dalam pelukan.
Dan begitulah Agastya kembali menemukan kelengkapan dalam hidupnya. Namun, jelas ini bukan akhir dari sebuah kisah, melainkan awal yang baru. Sebab, sekalipun mereka tinggal jauh dari kehidupan masyarakat, tapi mara bahaya tetap mengintai dalam bentuk sihir.
⁂
"Sihir? Kau yakin ini berhasil?"
Kembali pada kehidupan di Tanah Manbara. Lunara kembali memberikan siasat kepada Babad setelah menawan Kahil di dunia antah berantah. Dia menyuruh lelaki itu untuk menikahi seorang putri dari kerajaan Maitreiya bernama Inka Vara.
"Kau selalu mempertanyakan hal-hal yang kau sendiri sudah tahu jawabannya," ucap Lunara.
Inka Vara adalah seorang putri yang memiliki kecacatan dari segi pengelihatan. Kondisinya tersebut didapat setelah peperangan akan perebutan wilayah dengan Kerajaan Manbara. Sampai akhirnya Maitreiya kalah telak dan menjadi kerajaan b***k di bawah Manbara.
Dari kecacatan Inka Vara, Lunara ingin memanfaatkannya untuk naik ke kursi singgasana Manbara. Jika Babad menikahi Putri Inka, maka akan lebih mudah Lunara menghabisinya dan menyihir semua orang. Seolah-olah, dirinya adalah Inka Vara.
"Baiklah." Babad akan menuruti perkataan Lunara. Sebenarnya, dia merasa senang bahwa singgasana Manbara akan menjadi miliknya. Namun, jika dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya, dia merasa lebih leluasa akan dirinya sendiri. Karena sekarang, dia tak ubahnya sebuah wayang bagi Lunara.
"Lamont, kirim lamaran kepada putri kerajaan Maitreiya sekarang. Agar penobatanku sebagai raja bisa segera dilangsungkan." Babad memerintahkan lelembut yang kini ada dalam tubuh pamannya. Dia dengan sendirinya mempunyai tanggung jawab yang diemban oleh Kahil sebelumnya.
"Baik, Pangeran." Lamont membungkukkan badannya. Dia pun segera keluar dari bilik Babad, meninggalkannya berdua dengan Lunara.
Setelah beberapa saat, Lunara kembali berbincang dengan Babad.
"Untuk sementara, aku akan kembali ke alam gaib. Aku hanya ingin memperingatkanmu untuk tidak melakukan hal yang akan membuatku murka."
"Baiklah, aku tidak akan melakukan sesuatu tanpa persetujuanmu." Babad memberikan sebuah janji. Namun, dia tidak begitu mengerti maksud dari perkataan Lunara. Dia juga tidak menyadari bahwa lelembut itu mulai jatuh hati kepadanya. Ini bukan lagi soal persekutuan, akan tetapi, Lunara telah menganggap Babad sebagai kepunyaannya. Jadi, dia tidak ingin kalau seinci tubuhnya dinikmati perempuan lain, termasuk Inka Vara yang akan dinikahinya.
.
.
.
Bersambung.