Makhluk di alam semesta … pada hakikatnya, adalah pengelana yang sering kali lupa diri. Terlebih tatkala marabahaya menimpa, mereka akan menganggap hal tersebut karena kutukan dari semesta. Entah mereka menganggapnya sebagai karma dari sebuah dosa atau tingkah polah yang menyalahi aturan. Sehingga seringnya, hal tersebut menjadi akar dari sebuah penyakit hati. Lalu, lambat laun menyerang isi kepala sampai tak terasa akal pikiran perlahan melemah.
"Maharaja … apa yang tengah terjadi kepadamu?" Ratu Wikra menggenggam erat tangan Danawa. Kondisinya begitu memprihatinkan, bahwa lelaki itu seolah kehilangan banyak ilmunya. Bahkan, ilmu keabadian yang selalu dia banggakan.
"Aku ingin berkata yang sebenarnya kepadamu, Maharani." Danawa tersenyum dengan wajah layu. Selama ini, semua makhluk lelembut menganggapnya mempunyai ilmu keabadian yang didapat dari sebuah pertapaan. Tak pernah sekalipun dia bercerita kepada satu lelembut bahwa dirinya adalah Amara. Di alam gaib, cerita mengenai Amara diketahui oleh beberapa makhluk. Tapi selama berabad-abad, cerita itu hanyalah dongeng turun temurun.
"Katakan Yang Mulia. Jangan membuatku cemas." Ratu Wikra menitikan air matanya.
"Aku adalah seorang Amara." Seketika air mata Ratu Wikra terhenti mendengar pernyataan Danawa. Dia tidak dapat mempercayai perkataannya.
"Maaf, Yang Mulia. Hamba tidak mengerti akan perkataanmu." Ratu Wikra tidak mempunyai kata-kata untuk disampaikan. Semua pertanyaan dalam benak serasa membuatnya bingung sendiri.
"Ya … keabadianku bukan karena sebuah ilmu, melainkan karena aku seorang Amara. Seperti inilah wujudku sebenarnya." Danawa memejamkan mata. Lalu, perlahan perawakannya mulai berubah. Dia sangat mirip dengan Rega.
"K-kau …" Ratu Wikra tak tahu lagi apa yang harus dikatakan.
"Karunia keabadian yang dimaksud dalam Amara adalah sampai Amara baru terlahir. Begitupun dengan kematian Amara sebelumnya. Dia meninggal karena kelahiranku. Tapi …"
"Apalagi, Yang Mulia?"
"Amara terdahulu menurunkan banyak ilmunya kepadaku sebelum tiada. Sedangkan aku … aku justru menurunkan banyak ilmuku kepada Lunara. Aku juga tak yakin bisa bertahan lebih lama dan mendampingi Rega untuk mengajarinya banyak ilmu." Danawa berkecil hati. Semakin dia merasa seperti itu, keadaanya semakin terlihat menyedihkan.
"Selama aku mengenalmu, engkau adalah makhluk yang tangguh. Aku yakin kau mampu bertahan hingga Rega mempunyai ilmu yang cukup." Ratu Wikra masih menaburkan cintanya untuk menguatkan Danawa. Namun, semua kata-kata itu belum cukup berarti.
"Maharani … jika saja aku tak menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada Lunara, maka semua ini tak akan terjadi. Kebangkitan darah Amara dari alam fana, hingga peperangan di suatu hari nanti." Air mata Danawa menetes. Sepanjang hidupnya, ini adalah kesedihan paling mendalam.
"Tidak, Yang Mulia. Semua ini adalah takdir dari Sang Hyang Widi. Garis dari kehidupanmu mungkin sudah menemui akhir dari perjalanan dunia. Kau sudah menjalani kehidupan dengan baik dengan menjadi raja dari Kerajaan Lembahiyang yang bijaksana. Sekarang tugas terakhirmu adalah menurunkan ilmu kepada Rega. Maka tuntaskan semua itu sampai kematian benar-benar menjemputmu."
Kali ini, perkataan Ratu Wikra cukup berarti. Danawa bangkit dan menggunakan sisa tenaganya. Dia berkata, "Kau benar, Maharani. Aku akan bertahan hingga Rega mempunyai ilmu yang cukup!"
Meskipun Danawa menyembunyikan keadaannya yang semakin melemah, namun telinga-telinga yang terpasang untuk perantara ketiga Lunara tetap mendengar. Para antek itu mengabarkan tentang kedatangan Lumina ke Kerajaan Lembahiyang, hingga keadaan Danawa yang melemah setelahnya.
"Siapa itu, Lumina?" Lunara mengernyitkan dahi mendengar nama tersebut.
"Maafkan hamba, Putri Lunara. Hamba tidak tahu lebih jauh. Sebab, saat sosok Lumina datang meminta Raja Danawa membebaskan Agastya beserta permaisuri dan anaknya, kemudian mereka melakukan perbincangan di tempat yang tak dapat terjamah oleh siapa pun."
"Tunggu! Agastya dan Ratnadewi? Mengapa mereka bisa berada di Kerajaan Lembahiyang?" Lunara lebih mengernyitkan dahi mendengar nama mereka.
"Itu karena … Pangeran Rega ada bersama mereka di hutan Bendu. Raja Danawa memerintahkan para prajurit untuk menjemputnya dan membawa Agastya beserta permaisuri dan putrinya juga." Pernyataan lelembut tersebut membuat Lunara terkejut. Artinya, saat Rega terjatuh dari tebing sungai, dia sama sekali tidak mati. Ternyata, bayi itu memang menjadi ancaman untuknya. Bagaimana jika pengelihatan ayahnya tentang masa depan benar-benar terjadi?
Lunara berpikir sejenak. Dia tidak mungkin kembali ke Kerajaan Lembahiyang. Terlebih, sekarang ini ada nyawa dalam tubuhnya yang harus dijaga. Namun, dia harus menuntaskan Rega agar tak menjadi marabahaya untuknya. Dia pun menatap lelembut di hadapannya, "Apa kau bisa membantuku untuk menuntaskan bayi itu?"
"Ampuni hamba, Putri Lunara. Tidak ada satu pun lelembut yang berani kepada Pangeran Rega. Tangisannya saja sudah menggemparkan seluruh dataran alam gaib." Lelembut itu merapatkan kedua tangannya sambil menunduk.
Lunara menghela napas. "Ah, begitu rupanya. Baiklah, kau boleh kembali lagi ke alam gaib." Dia tidak bisa memaksa abdinya untuk bisa membantu menuntaskan Rega. Sebab, dia sendiri sudah melihat kedahsyatan dari sosok bayi itu.
Mengingat kembali tentang keadaan Danawa setelah lelembut kepercayaannya menghilang, tidakkah waktu untuk membuatnya terbakar oleh amarah semakin dekat. Lunara sudah dapat menerka setelah kepergian Danawa, Harsa lah yang akan naik takhta. Dia pun berpaling ke tempat dimana Babad berada. Lelaki itu tak beranjak dari pertapaannya. Entah apa yang direncanakan olehnya, namun sepertinya Babad sudah menemukan mantra agar pikirannya terjaga dan tak terbaca oleh Lunara.
"Bangunlah dari pertapaanmu, Babad!" Titah Lunara tak didengar. Babad tak tergoyahkan untuk mengakhiri pertapaannya.
Ilmu apa yang sebenarnya sedang kau pelajari? batin Lunara menatap tajam. Dia kemudian duduk bersila di depan pertapaan Babad. Bibirnya merapalkan mantra untuk mengganggu kesungguhan lelaki itu. Pada akhirnya, suara yang tiba-tiba menyakiti telinga membuatnya goyah.
"Hentikan mantramu, Lunara! Apa yang kau lakukan?" tanya Babad sambil menutup telinganya.
"Aku sudah memintamu menghentikan pertapaanmu sejak tadi, tapi kau tak mendengar. Jadi, aku terpaksa melakukan hal ini." Lunara membuang pandangan karena kesal.
"Maafkan aku. Engkau tahu kalau aku sedang memperdalam ilmuku agar lebih tinggi, bukan. Ada apa gerangan Lunara?" Babad kini lebih bisa menjaga pergolakan batin dibanding sebelumnya. Dia tahu melalui pelajaran dari waktu ke waktu yang terus berjalan, dan juga dari kitab peninggalan ayahnya. Bahwa makhluk yang mudah tersulut amarah hanya bisa ditaklukkan dengan cara yang halus, begitu pun dengan Lunara. Jika dia menanggapi dengan sikap yang sama-sama mudah tersulut amarah, maka tak akan pernah ada titik terang.
"Sudah seberapa tinggi ilmu kau sekarang?" Pertanyaan Lunara membuatnya sedikit terkejut. Sesaat dia terdiam dan tak menjawab. Bukan tidak mungkin jika lelembut di hadapannya pasti mempunyai maksud dan tujuan.
"Jika dibandingkan denganmu, ilmuku masih kalah jauh. Bahkan dengan Kakang Agastya pun aku belum bisa mengimbanginya," ungkap Babad memberi jawaban. "Ada apa memangnya?" lanjutnya bertanya.
"Aku memerlukan bantuanmu!" Lunara bangkit dari tempat duduknya. "Ada seorang bayi lelembut yang terlahir sebagai ancamanku di masa depan, dia adalah keponakanku. Aku ingin kau membantuku untuk memusnahkannya."
"Apa?" Jelas mengejutkan. Meskipun hanya menuntaskan bayi, akan tetapi terasa aneh. Kenapa dia tak melakukannya sendiri? "Kenapa harus aku?" tanya Babad mulai terpancing kembali menaikkan amarahnya.
"Engkau kan tahu, aku sedang mengandung anakmu. Kau tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepadaku, bukan? Jadi, ada baiknya kau membantuku. Karena kau sudah tahu bagaimana mantra untuk masuk ke alam gaib. Selain itu, kau juga sudah memperdalam ilmu dari ramamu." Lunara merayu. Lentik jemari tangannya tak mau diam membelai Babad.
"Tidak Lunara! Kau bilang bayi itu keponakanmu. Itu artinya, jika aku harus memusnahkan bayi itu, aku harus memasuki Kerajaan Lembahiyang. Tidak ... tidak! Ilmuku tak akan cukup untuk bertarung dengan banyaknya prajurit kerajaan itu." Babad menolak mentah permintaan Lunara. Dia mengempas tubuhnya dan menjauh.
"Kau memang tak berguna sejak dulu. Baiklah, aku akan menuntaskannya sendiri."
"Tunggu! Jangan mengambil resiko. Kau bilang bayi itu mengancam dirimu di masa depan, jadi kita masih punya banyak waktu untuk mempelajari banyak ilmu menghadapinya. Denganku, kau, dan bayi kita." Babad kembali mendekat kepada Lunara. Seiring waktu berjalan, kebersamaan mereka juga menumbuhkan rasa di hati Babad. Apalagi dengan kondisi Inka yang tak dapat melihat dan berbicara, dia hanya menantikan kelahiran dari bayinya saja.
"Bayi dari Inka juga akan membantu kita. Dia akan menganggapmu sebagai ibunya setelah lahir ke dunia." Babad membubuhkan kembali ucapannya.
Lunara tersenyum. Baguslah, secara tidak langsung, Babad memang setuju bahwa Inka akan dihabisi seusai dia melahirkan bayinya.
.
.
.
Bersambung