Sebuah kabar menggembirakan dari Istana Manbara telah menyebar ke setiap penjuru tempat. Ratu Inka diketahui telah berbadan dua dan akan segera memberikan seorang keturunan. Namun, ada jua kabar menyedihkan di balik kabar gembira tersebut. Bahwa, Ratu Inka tetiba tak dapat berbicara setelah mengandung janin tersebut.
Ada apa sebenarnya dengan keadaan Kerajaan Manbara?
Desas-desus mulai menyebar kembali. Banyak rakyat yang mulai khawatir kalau keturunan Raja Danasura dari Ratu Naraya memang meneteskan darah kutukan. Jika itu memang benar, maka sepatutnya saat Agastya dan Ratnadewi diasingkan ke hutan Bendu, mereka seharusnya mengangkat Kahil sebagai pewaris takhta.
⁂
"Jangan bergurau denganku, Lamont! Engkau bukanlah Paman Kahil."
Hati yang telah padam dari cahaya kebaikan akan selalu diliputi oleh prasangka buruk. Padahal, kedatangan Lamont hanya untuk mengabarkan tentang isu yang beredar di kalangan rakyat Manbara.
"Ampuni hamba, Raja Babad. Hamba hanya menyampaikan kabar yang sedang beredar di Tanah Manbara." Lamont merapatkan kedua tangan sembari menunduk memohon ampunan.
"Tinggalkan bilik ini, Lamont. Biarkan aku bersemedi untuk mencari jawaban."
Babad tidak mengerti, mengapa keadaan rasanya semakin rumit. Untuk pertama kalinya, dia duduk di atas alas tempat ayahnya dulu bersemedi. Dia merapalkan mantra berulang agar bertemu dengan mendiang Raja Danasura. Tak peduli jika dalam pertemuan nanti, dia akan mendapat cacian dari Sang Rama.
"Atma nirwana, balik ka dunya. Rama Danasura … Biung Naraya …" Hatinya kukuh dan berkeras hati menembus mantra Lunara yang mengurung Tanah Manbara dari kebaikan. Namun, takdir berkata lain bahwa ribuan serangan sihir membuatnya memuntahkan darah.
"Lagi-lagi kau melakukan hal bodoh." Lunara sudah berada dalam bilik peninggalan Raja Danasura. Kini, bilik tersebut adalah tempat khusus mereka berdua.
Babad mengangkat tubuh sambil menyeka darah yang keluar dari mulutnya.
"Aku hanya ingin bertemu dengan Rama dan Biung. Apakah salah?"
Lunara tersenyum kecil dan mencemoohnya . "Kau rindu mereka? Tak kusangka …"
Babad diam-diam mengumpulkan tenaga dalamnya untuk menyerang Lunara. Namun, dia sadar kalau sosok lelembut di hadapannya sudah membaca pergerakannya.
"Kalau kau ingin menyerangku, seranglah! Aku tidak akan melawanmu. Tapi … dalam tubuhku ini telah berkembang janinmu." Senyumnya terlihat licik. Kondisi tubuh yang berbadan dua itu hanya berjarak beberapa pekan dengan Inka.
Babad semakin tak berdaya, tertunduk lesu dalam pikiran kalut.
"Tentang desas-desus di Tanah Manbara, kau tak perlu khawatir. Aku akan mengatasinya." Rayu Lunara membuat Babad kembali menganggukan kepala untuk setiap rencananya.
Lunara meniupkan sebuah mantra melalui embusan angin, hingga dataran mana pun yang menganggap kutukan datang kembali ke Tanah Manbara kemudian sirna.
⁂
"Ada apa ini, Kakang?" Ratnadewi terbangun dari tidurnya. Suara gemuruh angin di luar membuatnya terperanjat. Tak lama, terdengar auman srigala dan derap kaki kuda bergerombol. Di luar, sepertinya bilik mereka telah dikepung.
"Engkau tetap berada di sini, Diajeng. Biar aku yang melihat keadaan di luar." Agastya segera mendekati pintu dan keluar dari dalam gubuk. Betapa terkejutnya ketika melihat segerombol sosok lelembut telah mengepungnya.
"Serahkan Pangeran Rega!" Leher Agastya ditodong sebuah tombak bercahaya penuh mantra.
"Pangeran Rega?" Agastya tahu jika yang mereka maksud adalah bayi lelembut yang dia temui tempo hari lalu. Perlahan, tangannya membuka kembali pintu sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya, terlihat Ratnadewi yang tengah menggedong keduanya dengan erat.
"Si-siapa kalian?" Terbata-bata, Ratnadewi menunjukkan mimik ketakutannya.
"Diajeng … serahkan bayi lelembut itu," ungkap Agastya dengan wajah menenangkannya.
Ratnadewi pun luluh dan hendak memberikan Rega kepada para lelembut dari pangkuannya. Diluar dugaan bahwa mereka bukan hanya mengambil Rega, tapi tiba-tiba menawan Ratnadewi dan mengambil Arunika.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN!" teriak Agastya meronta. Dia pun ditawan oleh beberapa lelembut yang berada di sampingnya.
"Kalian ikut bersama kami ke alam gaib, Kerajaan Lembahiyang." Seorang panglima dari sekawanan prajurit itu berkata.
Agastya mengepal, emosinya memuncak dan menaikkan seluruh tenaga dalamnya. Sekejap mata, dia berhasil terlepas dari tawanan para lelembut. Kakinya menghentak bumi, melompat di udara, dan melepaskan tendangan bagi para lelembut yang menawan Ratnadewi. Sudah terasa cukup lama, dia tidak melakukan pertarungan. Tinggal hitungan jari prajurit lelembut yang belum ditaklukannya, termasuk panglima mereka.
"Sudahi Raja Agastya. Kami tidak menginginkan pertarungan ini. Kami hanya ingin agar kau ikut bersama kami." Begitu ungkapan panglima prajurit lelembut dengan tenang.
"Cih! Pendusta! Apa sebenarnya yang ingin kalian lakukan?" Agastya mengambil busur dan anak panahnya. Dia sudah siap melesatkan ke hati panglima tersebut.
"Maafkan kami. Mungkin cara kami memang kurang sopan. Akan tetapi, kami hanya ingin agar kau ikut bersama kami untuk bertemu Raja Danawa."
"Raja Danawa?" Agastya mengernyitkan dahi, berpikir sejenak. Namun, panglima itu tiba-tiba melakukan pergerakan cepat. Dia berada di belakangnya dan memberikan ajian totok.
Agastya tak dapat berkutik.
"Dasar makhluk-makhluk pendusta!" Ratnadewi kembali mereka tawan.
Para lelembut membawa Rega beserta Arunika, Ratnadewi dan Agastya berpindah dimensi. Mereka memasuki alam gaib menuju Kerajaan Lembahiyang. Di dalam istana pun, Raja Danawa telah menunggu kedatangan mereka.
"Saharsa hyang, Yang Mulia. Kami telah melaksanakan perintah anda." Panglima itu membawa mereka ke hadapan Danawa.
"Lepaskan ajian totokmu!" Danawa pun tahu keadaan yang terjadi pada Agastya.
Saat ajian totok terlepas, Agastya kembali memasang kuda-kuda untuk berjaga diri. "Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" tanya Agastya penuh kewaspadaan.
Danawa tersenyum. "Tenanglah! Aku ini kawan lama ramamu, Danasura. Aku juga cukup menyayangkan ketika beliau tidak menurunkan mantra untuk menembus alam gaib kepadamu. Sehingga hubungan baik di antara dua alam terputus begitu saja."
Danawa meminta prajurit yang tengah menggendong Rega untuk membawa bayi tersebut ke pangkuannya. Sambil menatap bayi tersebut, dia bertanya, "Bagaimana keadaan Manbara?"
Agastya mengernyitkan dahi. "Kau makhluk yang memiliki kelebihan yang menjadi keterbatasan manusia. Mengapa kau mempertanyakan hal tersebut? Kau sendiri pasti bisa melihat sendiri bagaimana keadaan Kerajaan Manbara sekarang."
Danawa terdiam sesaat. Dia menatap Arunika yang juga masih berada dalam gendongan prajuritnya. "Aku tak dapat melihat kerajaan Manbara karena sebuah mantra. Sedangkan kau, kau bisa melihatnya ķarena dia, bukan?"
"Lepaskan mereķa, Danawa!" Tiba-tiba sosok Lumina datang.
"Lumina …" Pertemuan mereka layaknya dua insan yang lama tak bertemu.
"Kau sebenarnya hanya ingin bertemu denganku, bukan? Lepaskan cucu beserta cicitku dan kembalikan mereka ke dunia fana," pinta Lumina.
"Baiklah." Danawa mengiyakannya, "Prajurit! Kembalikan bayi itu." Arunika pun kembali dalam pangkuan Ratnadewi. Mereka bertiga dikawal oleh sekawanan prajurit untuk kembali ke dunia fana.
Sementara itu, Danawa masih memandangi Lumina dengan penuh kekaguman. Dia membawanya ke dunia antah berantah agar leluasa untuk melakukan perbincangan.
"Aku senang bisa bertemu kembali denganmu, Lumina."
Saat kedua bola mata mereka bertemu, kejadian-kejadian di masa lampau seolah berputar kembali.
"Kukira, setelah ribuan abad kau akan melupakan pertemuan kita."
Danawa tersenyum kecil. "Sebentar lagi, masa dari kehidupan kita akan segera berakhir."
"Aku merasa lega. Dengan begitu, aku tak perlu lagi menjelajahi seisi dunia hanya untuk memulai kehidupan." Lumina yang telah lama menunggu karunia keabadiannya hilang merasa bahagia. Namun, lain halnya dengan Danawa yang haus akan kehidupan. Dia sudah tahu betapa mengerikannya kematian, maka kehidupan abadi seolah membuatnya terlindungi dari kengerian itu.
"Seharusnya, dulu kau mengikuti perkataanku untuk tinggal di alam gaib menjadi permaisuriku, tapi kau menolaknya. Jika saja saat itu kau menerima, maka kau akan menikmati sebuah kehidupan."
Lumina tertawa mendengar rangkaian kata dari Danawa. Mungkin mereka memang sama-sama memiliki karunia keabadian, tapi dia tak tahu bagaimana sepanjang hidup menjadi permaisurinya. Dia mungkin akan merasa lebih menderita. Sebab, dia akan merasakan bagaimana berbagi hati dengan permaisuri lain.
"Jika kau memang menikmati kehidupan, mengapa kau tak ikut menghabisi putrimu dengan Arunika di masa mendatang? Kau tak perlu susah untuk membangkitkan Amara kepada cucumu."
"Lumina … aku tak akan pernah sanggup untuk membunuh putriku." Danawa menampakkan ketidakberdayaannya.
"Jika saja kau tak menurunkan banyak ilmu tinggi kepada putrimu, maka bencana seperti ini tidak akan terjadi 'kan?"
Danawa menghela napas mendengar perkataan Lumina. Ya, jika saja memang dia tak begitu menyayangi Lunara sampai mewariskan imu-ilmu tinggi kepadanya, termasuk ilmu kebangkitan. Maka semua ini mungkin tidak akan pernah terjadi. Bahkan mantra pelindung yang dia sendiri pun tak dapat menembusnya. Atau ketika menangkal tangisan dari bayi Amara, Rega.
"Kau benar Lumina. Tapi seperti itulah takdir dari kematian kita. Karena Amara baru sudah terlahir."
.
.
.
Bersambung
•> Pojok kata :
-(Mantra) : Atma nirwana, balik ka dunya. Rama Danasura … Biung Naraya … : Jiwa di surga, kembalilah ke dunia. Rama Danasura ... Biung Naraya ...