Bagian 20 : Kelahiran Bayi dari Inka Vara

1384 Words
Purnama ke sembilan telah berlalu sejak kabar bahwa Ratu Inka tengah berbadan dua. Rintihan tangis tak dapat terdengar oleh siapa pun karena suaranya yang menghilang. Dia sekali lagi menjadi perempuan yang hebat. Meskipun, kali ini dia bukan bertarung dalam medan pertempuran. Melainkan, bertarung mempertaruhkan nasib antara hidup dan mati. Suara tangisan bayi akhirnya memecah keheningan malam. Ratu Inka berhasil melahirkan seorang putra untuk Kerajaan Manbara. Namun, tangisan tersebut pertama kali didengar oleh Lunara. Sehingga secepat kilat dia memasuki bilik Inka dan merapalkan mantra sihir agar tangisnya tak terdengar ke luar. 'Ya Gusti … aku sudah berhasil melahirkan bayiku sendiri. Namun, aku tidak tahu apakah dia gadis yang mungil atau jejaka yang tangguh. Berikanlah anugrahmu agar aku bisa kembali berbicara dan melihat,' batin Inka memohon kepada Sang Hyang Widi. Lunara tersenyum kecil membaca isi hati Inka. Jika memang itu kemauannya, maka dia akan mengabulkan hal tesebut. Kekuatan kecil mulai bangkit untuk menyerangnya. Walau begitu, tetap saja rasa dari sebuah pertemuan dengan kematian menyakitkan. Nyawa Inka melayang dari tubuhnya, terpisah dan tak dapat kembali lagi. "Apa yang terjadi?" Jiwa Inka yang terlepas dari raganya bertanya. Dia begitu ingat bahwa sesaat tadi tubuhnya merasakan sakit tiada tara. Namun, kenapa sekarang dia justru terasa seperti terlahir kembali. Bibirnya pun kembali bisa mengucap dan matanya dapat melihat sekitar. Lalu, dia terkejut pada tubuh yang terbujur kaku dengan bayi yang baru dilahirkannya. "Sekarang kau sudah bisa melihat bayimu. Panjatkanlah puji dan syukur kepada Sang Hyang Widi." Lunara memberikan jawaban atas keterkejutan Inka. Namun, Inka justru terheran pada sosok di hadapannya. Apakah dia wujud daripada malaikat kematian? Tapi, mengapa perawakannya seperti seorang manusia yang berbadan dua? "Aku adalah Lunara. Calon ratu di Kerajaan Manbara ini," ungkap Lunara. Dia kemudian tertawa terbahak-bahak karena puas. Tak lama kemudian, muncul lelembut lain dari para abdinya. "Saharsa hyang, Putri Lunara." Lelembut yang baru muncul bersujud menyembahnya. "Seperti yang sudah kuperintahkan kepada kalian sebelumnya. Segera tuntaskanlah." Ya, Lunara memang sudah menyusun semuanya sedari jauh hari. Dia memerintahkan para lelembut untuk membawa raga Inka setelah berhasil dibunuh. Namun, hal yang mengerikan terjadi sebelum raga itu dibawa keluar dari Kerajaan Manbara. Pertama, para abdinya memutus tali pusar yang masih menempel antara Inka dan putranya dengan gigi-gigi tajam mereka. Setelahnya, mereka menikmati darah nifas itu seperti makhluk-makhluk kelaparan. "APA YANG KALIAN LAKUKAN?" teriak Inka marah, tapi dia tak mampu berbuat apa-apa. Jangankan untuk menghalanginya, mencoba mengeluarkan salah satu ilmunya pun tak mampu. Bahkan, sekarang ini membus benda-benda di sekitarnya. "Ya, Gusti. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?" lirihnya menangis. "Bukankah kau ingin melihat putramu?" Pertanyaan Lunara perlahan mengalihkan pandangannya. "Aku telah mengabulkannya. Anggap saja, aku ini adalah perantara dirimu dengan Sang Hyang Widi. Tapi … kau hanya bisa melihat putramu sampai hari ke-40. Sesudah itu, jiwamu akan kembali ke Nirvana." "Aku telah mati?" Air mata Inka semakin deras. Dia sulit untuk memahami atas apa yang terjadi. Setelah para lelembut membersihkan darah Inka dengan menikmatinya sebagai santapan, mereka kemudian membawa raga tersebut ke luar dari Kerajaan Manbara. Jauh di hutan yang gelap gulita, kekuatan mereka bersatu padu hingga keluarlah bola api yang membakar raga tersebut. Ratu Inka telah tiada, hanya tinggal menunggu waktu tiba untuk menjemput jiwanya menemui kehidupan lain. Lunara kemudian merapalkan mantra untuk menyihir rakyat Manbara. Ingatan mereka dilumpuhkan sedikit agar lupa akan usia kandungan Inka. Lalu, dia menyerupai wajah Inka dan mulai menggantikan perannya sampai bayinya terlahir. Sementara putra Inka dibawa oleh salah satu lelembut untuk diasuh. ⁂ Keesokan hari, Babad terbangun sendirian di bilik peninggalan ayahnya. Dia tidak melihat Lunara dimana pun. Kemudian, dia beranjak dari tempat tidurnya menemui Lamont. Sosok lelembut tersebut pasti mengetahui dimana keberadaan Lunara. "Engkau memanggil hamba, Yang Mulia?" Lamont bersimpuh dengan sebelah lututnya. Kali ini, Babad sudah berada di singga sana raja. "Apa kau mengetahui dimana keberadaan Lunara?" Lamont mengangkat pandangan mendengar pertanyaan Babad. Bukankah selama ini mereka selalu bersama dalam bilik peninggalan ayahnya? "Maaf, Yang Mulia. Hamba kurang begitu paham dengan pertanyaan anda." "Lunara tidak ada ketika aku bangun tidur. Dia juga tidak berpamitan akan pergi kemana-mana. Jadi, kupikir kau pasti mengetahui dimana keberadaannya." Lamont paham sekarang. Dia tertunduk kembali mengumpulkan energi untuk merasakan keberadaan Lunara. Namun, dari indra penciumannya, bau sosok lelembut dari Lunara masih menyerbak dalam istana. Dia pun bangkit dan berkata, "Apa engkau mau kutuntun untuk menemui, Putri Lunara? Aroma beliau masih ada dalam istana." "Tentu! Ayo." Babad mendekat ke arah Lamont. Mereka berdua kemudian mulai berjalan. Hingga akhirnya, bau lelembut yang dicium lamont berhenti di depan bilik Inka. "Beliau ada di dalam," bisiknya pelan karena di hadapan mereka ada dua penjaga yang memandang heran. Sebab, Babad dan Lamont yang berada dalam tubuh kahil itu terlihat sedang mencari sesuatu. "Saharsa hyang, Yang Mulia. Ada yang bisa kami bantu?" Kedua penjaga tersebut menunduk. "Buka pintunya!" Perintah Babad segera dilaksanakan. Setelah Babad berada dalam bilik tersebut, dia masih belum melihat keberadaan Lunara. Hanya ada Inka di atas ranjang tidur dengan tatapan kosong dan mulut yang terbungkam karena sihir Lunara membuatnya bisu. "Mungkin, kau salah menerka keberadaan Lunara," ucap Babad hendak berbalik ke luar bilik. Namun, Lamont tersenyum kecil dengan indra pengelihatannya yang memandang semua kebenaran. "Putri Lunara berada di sini, Yang Mulia Babad." Seusai Lamont mengatakan hal tersebut, Inka yang terlihat tak berdaya di atas ranjang tidurnya terbangun. "Apa yang kau cari?" Sontak Babad terkejut. Suaranya terbata-bata mengatakan, "K-kau … apa kau sudah mampu melihat dan berbicara?" "Apa yang kau pikirkan? Aku adalah Lunara." Raga yang tadi dilihat oleh Babad adalah Inka mulai berubah ke wujud sebenarnya. Lunara tertawa meledek kebodohan lelaki tersebut. Sementara itu, jiwa Inka yang melihat mereka semakin menangis. "Lalu … di mana Inka?" tanya Babad sambil mengedarkan pandangan ke sekitar mencari. Lunara tersenyum sambil melihat sosok Inka. Dia menjawab, "Inka ada di sini." "Apa yang kau lakukan kepadanya?" Babad sebenarnya tidak peduli kepada nasib Inka. Dia hanya mengkhawatirkan janin dalam kandungannya. "Tenanglah. Aku tidak melakukan apa pun kepadanya. Aku hanya membantunya melakukan persalinan semalam. Dan sesuai perjanjian kita, aku akan menghabisinya setelah dia melahirkan bayi. Sekarang, aku adalah Inka untukmu, untuk rakyat Manbara juga." 'Jadi, aku adalah tumbal untuk perjanjian mereka. Kejam sekali! Aku sudah bertaruh nyawa untuk orang-orang semasa hidupku, tapi mengapa nasibku begitu memilukan seperti ini?' Air mata dari jiwa Inka terjatuh dari pipi. Lalu, Babad mendengar tetesan yersebut. Seketika kepalanya menoleh dan melihat setetes air. "Itu air mata dari jiwa Inka," ungkap Lunara tersenyum mengerikan. "Kau ingin tahu mengapa nasibmu nahas seperti ini? Itu karena kau melakukan segala sesuatu dengan tulus. Kata lain dari apa yang kau lakukan adalah pengorbanan untuk orang-orang yang kau cintai, untuk rakyat yang kau sayangi. Tapi, kau tidak tahu kalau kau sedang menjerumuskan hidupmu sendiri ke dalam jurang mara bahaya." Babad mengernyitkan dahi melihat Lunara berbicara sendiri. "Di mana bayiku?" Tetiba dia mempertanyakan keberadaan darah dagingnya. "Dia juga berada di sini. Tenang saja, dia akan aman bersama abdi setiaku. Sampai aku melahirkan janin dalam kandunganku, maka kau baru bisa bertemu dengannya." "Tidak! Aku ingin melihatnya." Babad bersikukuh hingga menyulut api kecil menyala di hati Lunara. "Kau benar-benar sudah berani kepadaku sekarang. Baiklah! Aku akan memberikan pengelihatan kepadamu sesaat." Lunara mengangkat tangan ke hadapan wajah Babad dan mulai merapalkan mantra. Perlahan cahaya biru keluar dan merasuk ke dalam pengelihatan Babad. Setelah selesai, lelaki itu mampu melihat makhluk yang awalnya tak nampak secara kasat mata. "Dia bayiku?" Perlahan Babad mendekat. Naluri menggerakkan sendiri tangannya, mengambil bayi tersebut ke dalam pangkuan. "Dia seorang laki-laki," gumamnya sambil menciumi bayi tersebut. Perlahan pandangannya terangkat kembali menatap Lunara. Dia bertanya, "Apa aku boleh menamai dia sekarang?" "Itu tergantung dirimu. Karena aku tidak peduli terhadap bayi itu." Lunara mengungkapkan hal yang sebenarnya dia rasakan. Babad pun tertunduk lesu, tapi dia tetap memikirkan nama yang baik kepada bayinya. "Aku akan memberimu nama Asoka," ucapnya mencium kembali bayi dari Inka. "Apa kau sama sekali tidak menganggap keberadaanku? Apakah aku memang sengaja kau tumbalkan kepada sosok lelembut itu?" Karena Babad sedang mendapat pengelihatan dari Lunara, maka Inka menjadikannya sebuah kesempatan untuk mendapatkan jawaban dari segala hal yang terjadi. Namun, jawaban yang terlontat dari bibir lelaki itu benar-benar menyakitkan. "Tidak! Aku memang tidak menganggap keberadaanmu. Dan, Ya! Kau adalah seorang tumbal yang kumanfaatkan dari kecacatan fisikmu dalam melihat." Sekiranya, setelah empat puluh hari jiwanya akan pergi tanpa rasa penasaran. Seharusnya dia tahu sejak awal siasat terselubung ada dalam benak seorang pangeran yang ingin menikahinya. Sekarang, dia hanya mengkhawatirkan putranya yang akan hidup dengan seorang lelembut. . . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD