Renata terdiam seribu bahasa, dia tidak bisa lagi beraksi ketika Robin melempar sebuah pernyataan yang memang ia harap untuk dengar.
"Tuan Robin, kenapa anda berubah pikiran?" Hanya itu pertanyaan yang terus berputar dalam kepala Renata.
Robin tidak langsung menjawab, asisten Jason Smith itu membalikkan badan. "Perusahaan JR group tidak bekerja sama dengan sembarang orang, kamu membuktikan jika kamu benar benar layak menjadi rekan perusahaan JR group."
Mendengar hal ini, Renata benar benar tak menyangka. Bahkan tanpa sadar wanita cantik itu menitikkan air mata bahagia.
"Tapi ...." Renata menyipitkan mata, ekspresi membeku ketika mendengar kata 'tapi' dari mulut Robin.
"Tapi aku memiliki satu syarat." Robin memutar kembali tubuhnya, menunjukkan telunjuk yang sudah berdiri.
Renata diam sejenak untuk berpikir, dia tidak berani langsung menyanggupi persyaratan yang diberikan. Bayangan perkataan Robin yang memintanya bermalam kembali menghiasi pikirannya.
"Harus kamu sendiri yang mengurus proyek ini, saya tidak akan menoleransi jika kamu menyerahkan tugas ini kepada orang kain bahkan keluarga Wijaya lainnya." Robin berjalan ke tempat duduk, kemudian dia menoleh dan kembali berkata. "Makanan sudah disiapkan, tidak baik membuang makanan."
Renata seakan mendapatkan sebuah sumber mata air setelah mengarungi keringnya padang pasir.
Sambil mendudukkan tubuhnya, Renata terus menampilkan wajah senang. "Tuan Robin, keluarga Wijaya sangat berterima kasih atas kepercayaan anda."
Heem...
Diam diam Robin menggeleng, entah bagaimana dia harus mengatakan. Wanita di hadapannya ini begitu senang dengan hanya mengantongi satu proyek JR group, seharusnya JR group adalah miliknya, bahkan JR sendiri merupakan inisialnya bersama dengan Jason.
Namun entah mengapa dia menyia-nyiakan sebongkah berlian yang sudah dia pakai sebelumnya.
Juga, jika bukan karena Jason. Bagaimana mungkin Robin memberikan proyek itu kepada Renata. Jujur proposal yang dikirim merupakan proposal umum, banyak ditemukan di media online.
.
***
.
Di ruangan Jason.
Robin masuk tanpa permisi, duduk di samping tuan mudanya dengan enteng.
"Bos, sepertinya kehidupan istrimu benar benar menyedihkan. Dia terlihat enggan untuk datang, tapi tetap melakukannya. Keluarga Wijaya sungguh keluarga bajingan." Robin meluapkan kekesalan di hadapan Jason.
Jason mematikan rokok, membuangnya di sudut ruangan. "Keluarga Wijaya memang buruk."
"Mengapa kamu tidak kembali bersama dengan istrimu, bos. Aku lihat kamu masih begitu peduli kepadanya." Robin mengambil gelas di dekatnya, meminum dengan sekali tegukan.
Jason tersenyum kecut. "Jangan bahas masalah ini, aku ingin tahu apakah JR group juga mendapatkan undangan dari tuan kota?"
Robin mengangkat tangan kiri, menggaruk pelipis sambil berusaha mengingat. "Sepertinya benar, aku juga hendak berkonsultasi kepadamu, bos. Berapa jumlah uang yang akan kita setorkan?"
"Sebagai perusahaan nomor satu, kita tidak bisa kalah dengan perusahaan lain, kita harus menjadi yang teratas dalam daftar pemberi bantuan. Dengan cara itu juga semua orang akan menyorot nama perusahaan JR group." Jason berkata sambil meraih gelas di tangan Robin.
Melihat gelas sudah kosong tanpa isi, matanya menatap tajam asistennya itu.
Glek...
Robin merasakan tenggorokannya kering, bahkan ludah pun kesulitan untuk berlalu lalang di sana.
Karena tak mau terus mendapatkan tatapan tajam dari tuan mudanya Robin keluar sambil membawa gelas, kembali dengan sebuah gelas baru berisi minuman bersoda.
"Kamu urus saja sendiri masalah acara amal, aku pergi akan pergi membeli kendaraan. Mobil yang aku pakai kemarin terlalu tua untuk berjalan. Bahkan kecepatan seratus km perjam pun sudah beruntung jika mesin tidak meledak." Jason keluar tanpa menghiraukan Robin yang sudah repot repot membawakan minuman baru untuknya.
"Malam hari, hanya beberapa serum mobil yang masih buka. Kenapa tidak besok saja?" Robin sudah lelah, dia berpikir Jason akan membawanya sebagai sopir, tapi tebakannya salah, Jason pergi sendiri tanpa mengajaknya.
"Jika begitu, bos, kamu harus berhati-hati. Pria muda ini membutuhkan waktu untuk istirahat." Setelah berkata, Robin merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang sangat nyaman.
Jason keluar ruangan, pergi ke luar hendak mencari taksi yang bisa mengantarnya ke sebuah serum mobil. Namun ketika baru melintasi pintu Bar Silver Stone, dia berpapasan dengan Renata yang juga kebetulan akan keluar.
"Jason?!"
"Jason, apakah kamu bekerja di tempat ini?" Renata langsung melemparkan pertanyaan.
"Ya, aku bekerja sebagai penjaga keamanan." Setelah berkata, Jason berlalu meninggal Renata yang termenung mendengar perkataannya.
Bahkan wanita itu baru sadar jika Jason sudah tak lagi berada dalam pandangannya.
Jason sendiri telah berada di dalam taksi, menyusuri gelapnya jalanan menuju ke tempat serum tujuan.
"Tuan, sebenarnya apa yang akan kamu lakukan di serum Atarna, itu adalah serum mobil dengan nilai setidaknya satu milyar per satuan." Pengemudi taksi berkata sambil menelisik penampilan Jason dari kaca spion.
"Serum adalah tempat untuk membeli, jika aku ke sana, apa ada hal lain yang akan aku lakukan?" Jason menjawab dengan jawaban yang logis, perkataannya sama sekali tidak salah.
"Tuan, jika kamu mencari kendaraan, sebaiknya mencari di pusat perdagangan barang bekas, mungkin di sana kamu bisa mendapat kendaraan yang sesuai." Supir taksi itu mendengus dingin, dia merasa tidak puas dengan jawaban Jason.
Dia tidak bisa melihat bahwa Jason adalah calon pembeli di serum Atarna, karena bagaimanapun Jason terlihat seperti orang biasa yang hanya bisa menjadikan mobil mahal sebagai impian.
Jason hanya menggelengkan kepala. Dia sadar semua orang mempunyai mata, mempunyai penilaian tersendiri terhadap apa yang dilihat.
Biarkan saja dia dipandang rendah, biarkan saja semua orang memandangnya sebagai seorang yang tidak mampu. Itu sama sekali tidak ada hubungan dengannya.
Beberapa menit kemudian, Jason sampai di depan serum besar nan megah.
"Tuan, aku memberi peringatan terakhir. Jangan mempermalukan diri sendiri terlalu jauh. Serum Atarna bukan suatu yang tidak bisa dimasuki sembarang orang." Supir taksi menerima bayarannya, saat akan pergi tak lupa dia memberikan beberapa peringatan lagi untuk Jason.
Jason tak menghiraukan perkataan supir taksi, membuat supir taksi yang melihat di kaca spion mendengus. "Mendaki terlalu tinggi akan membawa kemalangan."
"Tuan, ada yang bisa kami bantu?" Dua wanita berpakaian terbuka mendekati Jason. Di tangan mereka terdapat brosur yang membahas tentang beberapa jenis mobil.
"Aku akan memilih satu kendaraan, harganya tak kurang dari lima milyar." Jason mengatakan tanpa ada raut ragu di wajahnya, membuat dua wanita menyipitkan mata.
Pembual!
Satu kata itu yang terlintas di benak mereka. Mereka mempunyai mata untuk melihat, penampilan Jason yang sangat sederhana bahkan mengenakan kaos polos, membuat mereka dapat memperkirakan kondisi finansial pria itu.
Mereka berpikir Jason datang bukan untuk membeli, melainkan hanya untuk berlagak seperti tuan muda keluarga kaya.
"Maaf tuan, sepertinya ada beberapa customer yang harus kami layani." Dua SPG itu pergi menjauh dari Jason.
Jason tentu mengerti kenapa dua SPG menjauh darinya, hal itu karena merasa tidak dapat mendapatkan keuntungan dengan melayaninya.
Namun mereka akan kecewa, karena telah melewatkan sebuah bonus puluhan juta dari menjual kendaraan dengan harga lima milyar.