Bab 12

1011 Words
Malam di bar, Jason yang kini menjadi pemilik sementara Bar Silver Stone setiap malam harus berada di sana. Jadi dia tidak perlu mencari tempat untuk bermalam. "Bos, istrimu mengajakku bertemu, apakah kamu tidak merasakan suatu perasaan aneh, seperti cemburu?" Robin menunjukkan pesan yang di saja tertera nama 'Renata'. Jason melirik ponsel di tangan Robin. Memang benar Renata yang mengirim pesan, tapi itu berkenaan dengan masalah proposal. "Jangan banyak bicara omong kosong." Jason merampas ponsel Robin mengetikkan sebuah pesan. "Lakukan tugasmu." Sambil berkata Jason mengembalikan ponsel di tangannya. Robin membaca pesan yang diketik oleh bosnya, sebuah senyum usil tercipta. "Bos, kamu menyuruhnya datang ke sini untuk apa? Apakah kamu akan memberikan beberapa penawaran?" Jason tak menjawab, dia hanya melambaikan tangan membuat Robin langsung keluarga dari ruangan. *** Di kediaman utama keluarga Wijaya, semuanya menantikan balasan pesan dari Robin. Ketika ponsel bergetar, dengan cepat Sekar Wijaya membuka pesan yang baru saja diterima. "Datanglah ke Bar Silver Stone, aku berasa di sana." Sekar Wijaya membaca dengan suara keras, agar semua yang ada di ruang tamu mendengar apa isi pesan Robin kepada Renata. "Renata, sepertinya Tuan Robin benar benar tertarik kepadamu. Demi keluarga, kamu harus rela berkorban." Sekar Wijaya memandang cucunya dengan tatapan berbinar, ini merupakan kesempatan besar, mengingat identitas Robin adalah CEO perusahaan terkemuka, JR group. "Renata, kamu sangat beruntung. Ini merupakan berkah bagi keluarga kita." Mendengar perkataan ibunya, Renata tersenyum kecut. Apakah sampai segini saja nilainya di mata mereka, dia bukan alat yang bisa dijadikan penawaran. Andai dia bisa menolak, mungkin dia akan menentang dengan lantang. Namun dia hanya bisa diam mendengar segala ocehan semua orang keluarga Wijaya. Huh... "Jika saat siang aku yang datang, CEO Robin juga pasti berperilaku sama kepadaku." Silfi duduk tegak sambil melihat kedua tangan di depan. "Jika kamu sangat percaya diri, kenapa tidak kamu gantikan saja tempatku?" Renata dengan nada tak suka. Apa yang telah dia dapatkan tidak lain karena usahanya, bukan semata mata atas ketertarikan CEO Robin kepadanya. Setidaknya itu yang ada dalam pikiran wanita berusia dua puluh lima tahun tersebut. "Silfi, cukup. Anggap saja kali ini kamu tidak beruntung, karena Renata yang mendapatkan kesempatan ini, tidak akan terlihat baik jika menggantinya dengan kamu." Tantri terlihat seperti membela Renata, tapi niatnya hanya untuk mendorong Renata ke jurang yang terjal. Wanita paruh baya beranak dua itu berpandangan, jika CEO Robin benar benar tertarik terhadap wanita, bagaimana bisa itu adalah Renata, seorang wanita dari keluarga tingkat kedua, banyak yang mengantri untuk datang kepadanya, tidak kekurangan persediaan wanita yang ingin bersamanya. CEO Robin hanya penasaran, setelah malam itu berlalu, dia yakin Renata akan dicampakkan. Memikirkan hal ini, perasaan tantri benar benar bersuka cita. Di saat Renata sudah terpuruk, maka jalan putra-putrinya menguasai properti keluarga akan semakin terbuka. Silfi hanya berdecak mendengar ibunya membela Renata. Sejak dulu dia sangat membenci Renata, karena dalam segala hal dia dikalahkan olehnya. Ketika Renata menikahi Jason, pria tidak berguna. Perasaannya benar benar senang, tapi mendengar Renata telah berpisah dan sekarang CEO Robin tertarik terhadap Renata membuat kebenciannya semakin dalam. "Renata, kamu cepat bersiap. CEO Robin pasti sudah menunggu di sana, tidak baik bagi kita jika membuat orang besar seperti nya menunggu terlalu lama." Laras berdiri dari tempat duduknya, berjalan mendekat ke samping tempat duduk Renata. Renata mengepalkan tangan, rahangnya mengeras sekeras-kerasnya. Hatinya merasakan sebuah kesakitan, dia sungguh tak tahan berada dalam keluarga seperti ini. Dret... Kursi terdorong dengan keras, Renata berdiri dan perlahan melenggang pergi meninggalkan ruang tamu tanpa berkata sepatah katapun. "Renata, kemana kamu akan pergi. Jangan sampai melakukan suatu yang akan kamu sesali di kemudian hari. Ingat kamu tidak bisa sampai seperti sekarang jika bukan karena keluarga Wijaya." Sekar berkata sambil berdiri, tangannya menggebrak meja pelan, nampak kerutan di wajahnya bergetar ketika kepala keluarga Wijaya itu mengeluarkan ultimatumnya. Renata bergeming menahan langkah kakinya, tanpa membalikkan badan atau sekedar menoleh dia berkata. "Bukankah aku harus bersiap?" Suara yang keluar begitu lembut, seolah Renata sangat menantikan pertemuannya dengan Robin. Namun perkataannya sangat kental akan cibiran, ia menertawakan dirinya sendiri. Bagi keluarga Wijaya, dia hanyalah alat barter yang disiapkan demi mendapatkan keuntungan. Sekar duduk setelah menghela nafas panjang. "Jika itu yang akan kamu lakukan, maka berikan penampilan terbaik. Jangan kecewakan Tuan Robin." Hng... Renata berlalu menuju ruangannya, meski itu bukan rumahnya, ia masih memiliki tempat di kediaman utama keluarga Wijaya. Memasuki kamar, Renata mengunci dirinya dalam kamar mandi. Dia berkaca, melihat betapa menyedihkan hidupnya. . *** . "Selamat malam, Tuan Robin?" Renata memakai gaun malam, perpaduan warna hitam dengan biru tua sangat pas dipadu padankan dengan tubuh tingginya. Rambutnya digelung, memakai anting panjang yang membuat penampilan semakin mempesona. Robin yang tengah membaca sebuah artikel, tanpa banyak berkata langsung menyuruh Renata masuk. Renata tampak ragu, kakinya hendak melangkah, tapi seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Tuan Robin, apakah bisa langsung kita mulai masalah proposal?" Renata mengeluarkan map yang dia bawa, meletakkan di atas meja. Robin melirik map di hadapannya, satu tangan meraih map dan tangan lain menopang kepala. Perlahan Robin membuka proposal yang disiapkan Renata, kerutan di wajahnya terlihat semakin jelas. "Proposal ini lebih baik dibandingkan dengan proposal sebelumnya. Namun masih kurang memuaskan." Robin menutup proposal meletakkannya begitu saja. Renata terlihat berpikir, raut kecewa menghiasi wajahnya. "Tuan Robin, proposal yang saya kirim memang tidak bisa dikatakan sempurna. Jika Tuan Robin memiliki beberapa masukan, saya akan memperbaikinya." Renata tersenyum dan berkata, dia merendahkan kinerjanya sendiri berharap Robin menaruh kepercayaan kepadanya. Namun Robin malah tertawa, sambil meraih gelas berisikan wine dia memandang Renata. "Jika kamu bersedia menemaniku, aku akan memberikan proyek ini kepada perusahaan Wijaya. Tidak hanya itu, kedepannya, perusahaan JR group akan bekerjasama dalam beberapa proyek besar dengan perusahaan Wijaya, bagaimana?" Renata mengerutkan kening, ekspresinya benar benar berubah. Yang semula menunjukkan sikap hormat, menjadi tatapan jijik. "Tuan Robin, maaf, saya bukan wanita seperti itu." Renata berdiri dan hendak meninggalkan Robin yang hanya diam di tempatnya. Namun sebelum Renata benar benar keluar, Robin sekali lagi berkata. "Tunggu, proyek ini, aku akan berikan kepada perusahaan Wijaya." Renata menghentikan langkahnya, berbalik dengan sorot mata tak terima. "Saya tidak akan melakukannya, jadi jangan memaksakan kehendak anda." Robin berdiri, berjalan mendekati Renata. "Itulah mengapa saya akan memberikan proyek ini kepada perusahaan Wijaya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD