Akram kembali ke rumah mertuanya dengan menaiki sepeda motor. Salah satu alat transportasi kesayangannya. Kendaraan yang menjadi saksi kehidupannya sejak masih di bangku sekolah menengah pertama sampai saat ini. Akram sedikit menyiapkan mental. Jelas kondisi di rumah mertuanya sudah berbeda dari sebelumnya. Pria bernama Frans itu yang katanya kakak dari istrinya pasti akan merepotkan. Ia memiliki firasat yang buruk tentang pria tersebut.
"Assalamualaikum," ujar Akram. Ia langsung memenuhi perintah ibu mertuanya.
"Waalaikumsalam. Alhamdulillah nyampe juga. Udah makan belum?" sapa Sufi ramah. Ia sudah memberi pesan agar Akram langsung ke dalam. Untuk itu ia tidak meminta seseorang membukakan pintu.
"Sudah, Bu." Akram meraih punggung tangan Sufi. Menciumnya takzim. Mulai sekarang, ada dua orangtua yang wajib ia patuhi.
"Wah sayang banget. Nggak bisa nyicipin masakan ibu dong," ujar Sufi sedikit kecewa. Meski sudah lewat jam makan siang, harapannya sang menantu tetap mau.
Akram tersenyum canggung. Pada saat seperti ini apakah ia harus berpura-pura belum makan? Sepertinya ia salah berbicara.
"Nanti lagi, ya, Bu."
"Ya sudah ndak apa-apa. Tapi udah bilang sama ibu bapak kan kalau malam ini di sini. Nggak di rumah kalian." Sufi merapikan meja makan. Menata ulang menu-menu yang sudah disantap sebagian oleh anggota keluarga yang lain.
"Sudah, Bu. Sudah pamitan." Akram berusaha mengakrabkan diri meski sejatinya sulit sekali. Ia bukan tipe orang yang bisa berbasa basi semacam ini.
"Ya sudah langsung ke atas aja, ya, Kram. Mia di sana." Sufi tersenyum manis.
"Atas?"
"Iya. Kamar kalian. Itu mau digendong terus?" Sufi menunjuk tas ransel hitam yang dibawa menantunya.
"Oh iya, Bu. Kalau begitu Akram ke atas duluz Bu."
Sufi mengangguk. Ia persilakan menantunya menempati tempat yang seharusnya. Akram pun berlalu dari ruang keluarga. Berjalan pelan menaiki anak tangga. Ia sedikit menenangkan dirinya yang tiba-tiba merasa gugup.
"Ini punya kakak masih kamu simpan semua? Rapi bener?"
Dari kamar sebelah yang biasanya tertutup rapat terdengar suara pria itu. Seorang pria yang kini menjadi kakak ipar Akram.
"Iya. Nggak ada yang diubah. Kata ibu sama bapak boleh ditengok, dibersihkan setiap hari, kalau perlu ditata ulang sesekali biar nggak berdebu." Suara perempuan itu yang menjawab pertanyaan sang pria tak lain adalah istrinya. Akram sedikit merasakan hal aneh di hatinya. Ia tidak nyaman.
"Wah emang de best. Makasih ya, Dek," ujar Frans. Ia bermaksud menowel pipi Mia namun dengan sigap Mia menghindar.
"Dikurangin, Kak," keluh Mia. Ia mengukir senyum penuh penyesalan.
"Sorry, sorry. Suka lupa." Frans tersenyum geli. Mia selalu terlihat lucu di depannya.
Akram yang dari jarak cukup dekat itu menyaksikan interaksi yang terjadi jelas tidak tahan. Mereka tidak serta merta berduaan karena pintu terbuka lebar. Namun, tetap saja Akram tidak nyaman melihatnya. Ia pun menjejakkan kaki lebih mantap di lantai. Berjalan kasar menuju kamarnya. Ralat, kamar Mia.
Bagitu berhasil menutup pintu dari dalam, Akram melepas tas ransel dari punggungnya. Ia letakkan tas itu sembarang. Entah mengapa rasanya seperti ada yang membakar di sana. Bahkan suhu udara terasa lebih panas dari biasanya.
Frans yang sejatinya tahu kedatangan Akram hanya tersenyum tipis. Pria itu terlalu gengsi untuk mengakui keberadaan adiknya. Frans pun terus membawa Mia larut dalam obrolan hingga adiknya tidak sadar sudah cukup lama berada di kamar kakaknya.
"Gimana? Nggak ada yang ilang, kan? Nggak sesuai dugaan kakak," ujar Mia bangga. Selama ini ia menunaikan amanah kakaknya dengan baik.
Frans mengangguk-angguk. Kali ini ia percaya dengan pendapat adiknya. "Oke, deh."
"Kalau gitu Mia turun dulu. Istirahat yang cukup ya, Kak," ujarnya seraya mengulas senyum. Sungguh, siapa pun yang melihatnya harusnya luluh. Terkecuali Danial Akram, mungkin.
Frans mengangguk lagi. Badannya memang lelah. Berada di pesawat cukup lama membuatnya memang harus beristirahat. Frans pun melambaikan tangan. Ia biarkan sang adik keluar dan menutup rapat pintu kamarnya.
Mia berjalan santai menuju kamar yang berada tepat di sebelah kamar Frans. Tak lain kamarnya sendiri. Ia berpikir akan menghubungi Akram yang menjelang sore ini belum juga datang. Rasanya ada yang memanggil manggil di dalam hati manakala sang kekasih pujaan tak berada di dekatnya. Mia pun mendorong pintu kamarnya. Dan ia tersentak begitu mendapati suaminya tidur di atas ranjang.
"Mas udah balik?" tanyanya sembari berjalan. Ia mendekatkan diri ke sisi di mana Akram berada.
Akram mengangguk. Ia sengaja menutup wajahnya dengan lengan kanan. Cukup lelah setelah pulang dari rumah orang tuanya dan kembali ke sini menaiki sepeda motor.
"Eh kelupaan." Mia pun memutar badan. Ruapanya ia belum menutup rapat pintu. Segera ia melakukannya.
Akram yang dalam pejam pura-puranya itu bisa melihat tingkah istrinya sedikit terkikik. Bagaimana bisa perempuan itu terlihat seperti itu. Tanpa sadar, Akram menarik garis bibir.
"Mas beneran udah dari tadi?" tanya Mia dengan kalimat yang hampir sama. Ia hanya mengulangnya.
"Iya."
"Kok nggak bilang, Mas?"
Akram berusaha menahan diri untuk tidak mengangkat lengan dan menjawab dengan frontal pertanyaan Mia.
"Ngapain bilang? Aku kira kamu ada."
"Ada? Ya aku emang ada di rumah, Mas. Maksudku kok gak ngubungin aku?" Mia berusaha mencari tahu. Ia takut suaminya salah paham saat ia tadi bersama Frans. Akram, belum tahu tentang siapa Frans.
Akram menghela napas. Ia jelas-jelas melihat itu tapi malas membahas.
"Mas udah makan?"
Akram mengangguk. Ia cukup tahan dengan aksi menutup wajahnya itu. Mia mulai kehabisan akal.
"Wah, itu baju-baju Mas? Udah dibawa semua?" tanya Mia lagi berusaha menarik perhatian Akram.
Akram pun pada akhirnya menyerah. Ia kesal karena Mia tidak menyambutnya. Bahkan, Mia justru asik berdua saja dengan kakaknya. Sungguh tidak seperti yang ia harapkan. Akram bangkit dari posisi tidurnya. Ia duduk sambil menurunkan kaki.
"Nggak usah dibongkar. Ntar aja kalau di rumah kita."
"Ya?"
"Biarin di situ. Aku udah taruh beberapa potong yang mau dipakai. Ntar aja kalau di rumah kita." Akram menunjuk tumpukan kaus di atas meja belajar Mia. Bagi Akram, meja itu tampak seperti itu.
Mia bergeming. Ia tidak salah dengar. Akram menggunakan frasa kita. Ia sedang tidak bermimpi bukan?
"Dengar tidak?"
"Eh, iya, Mas." Mia tersadar dari lamunannya.
Akram pun menggeleng. Ia merotasi pandangannya. Di luar, matahari tidak terlalu terik tapi suhu udara cukup membakar tubuhnya. Akram mengibaskan tangan. Ia benar-benar kegerahan.
"Misi ya, Mas," ujar Mia yang tiba-tiba beranjak dari posisinya. Gadis itu menaiki ranjang dan membuka jendela kamarnya. Akram pun tersentak.
"Enak, kan, Mas? Daripada pakai AC mending gini." Mia mengulas senyum. Rupanya ia memang sengaja mematikan pendingin ruangan di kamarnya.
"Ehem! Ehem!"
Akram berdeham untuk sekadar membasahi tenggorokan. Rasanya tambah panas saat Mia ikut duduk di ranjang bersamanya. Gadis itu bersila dan menghadap jendela. Akram segera berdiri. Ia harus melarikan diri. Ia tidak boleh terbawa suasana.
"Mau ke mana, Mas?"
"Jalan-jalan."
Mia cukup kecewa. Dari pagi mereka tidak bersama. Tapi Akram tampak biasa saja. Mia pun mendengkus kesal. Usahanya kembali tidak menghasilkan apa-apa. Begitu punggung Akram genap tak terlihat, Mia merebahkan dirinya di ranjang. Meski begitu ada sedikit yang berbeda.
"Kita? Dia bilang kita?" Mia menutup wajahnya.
***