Bab 46 : Keluarga

1087 Words
"Kram, Akram!" seru Yurika dari luar kamar putranya. Sontak Akram menaruh surat itu dan menutup kotak kayu. "Ya, Bu!" sahutnya. "Cepetan keluar. Ada telpon dari mertua kamu!" Mertua? Akram perlu sedikit waktu untuk mencerna kata itu di dalam otaknya. "Kram!" panggil Yurika lagi. "Ya, Bu. Iya. Sebentar." Akram pun meletakkan kembali kotak kayu di dalam lemari. Ia berjalan mendekat ke pintu kamarnya seraya membukanya. "Lama amat? Ngapain pakai dikunci?" protes Yurika. Ia menutup teleponnya dengan telapak tangan agar tidak terdengar suaranya dan Akram. "Ya, Bu, maaf." "Inih," ucap Yurika seraya menyerahkan ponsel miliknya. "Halo. Assalamualaikum, Bu." Akram cukup canggung untuk memulainya. "Waalaikumsalam. Kamu kapan balik, Nak?" tanya Sufi penuh perhatian. Akram menelan ludah. Kapan? Artinya sudah harus cepat kembali bukan? "Paling sore, Bu. Beberes sekalian." "Oh begitu. Ya sudah ndak apa-apa. Nanti pulangnya ke rumah bapak aja ya. Nggak ke rumah kalian. Sekalian nginep sini ya." "Ya, Bu." "Ya sudah kalau begitu." "Kak Frans! Ngapain, sih!" Akram mendengar teriakan Mia. Jelas sekali istrinya itu memanggil nama pria yang bertamu di rumahnya. "Mia. Itu ambilkan dulu Fransnya." "Iya, Bu. Iya. Full sambel." "Makasih cantik. Paling baik emang kamu." Terdengar mereka semua tertawa bersama. Akram menelan ludah lagi. Sepertinya Ibu mertuanya lupa masih terhubung sambungan telepon dengannya. Ia pun mendesah. Mungkinkah ia harus mematikan dulu? "Halo, Kram," ujar Sufi memastikan menantunya masih mendengar suaranya. "Iya, Bu." "Ini ada kakaknya Mia. Sekalian ya nanti kenalan." "Ya, Bu." "Ya sudah kalau begitu. Ibu tutup ya. Minta tolong kasihkan ke ibu kamu lagi." "Baik, Bu." Akram tidak bisa langsung mematikan sambungan telepon itu mengingat mertuanya masih ingin terhubung dengan sang ibu. Ia berjalan ke ruang tengah mencari lagi ibunya untuk mengembalikan ponsel itu. "Udah?" Akram mengangguk. Ia malas menanggapi terlalu banyak. Pikirannya masih tertuju pada kotak kayu. Akram pun kembali memasuki kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Niatnya sudah pasti yaitu membuka kembali kotak kayu. Namun, suara renyah itu kenapa justru menginterupsi gerakannya? "Kak Frans! Ngapain, sih!" Akram mendengkus kesal. "Kacau," ucapnya. *** Bukan Frans namanya kalau tidak membuat kesal Mia. Semua candaannya selalu mengarah pada ejekan serta hal-hal yang menyebabkan Mia ingin memukul lengan pria itu. "Tuh kan mulai lagi," gerutu Mia. Kali ini dengan sengaja Frans memotong lauk makan Mia hingga tinggal separuh. "Ambil lagi," timpal Frans santai. Sufi tersenyum. Ia mengamati dengan baik interaksi dua anaknya. Sungguh, manis dan menghangatkan. Bak coklat panas yang baru saja dihidangkan. "Assalamualaikum!" seru Agit sembari berjalan mendekat ke meja makan. Ia sudah tahu tentang kepulangan Frans maka ia tidak menunggu Sufi membuka pintu. "Waalaikumsalam," jawab Sufi, Mia dan Frans bersamaan. "Lanjut saja. Bapak juga mau ikutan," ujar Agit saat Frans berencana menyalaminya. "Pakai lalapan, Pak?" tanya Mia. Tangannya masih bersih. Agit mengangguk. Ia sangat suka dengan menu itu mana mungkin ia melewatkannya. Agit pun menerima piring berisi nasi lengkap dengan lauk, lalapan serta sambal. "Alhamdulillah," ucap Sufi tanpa menyadarinya. "Bismillah, Bu harusnya," protes Agit. Sufi menggeleng. Paling tepat ia memang berkata 'Alhamdulillah' terlebih saat keluarganya berkumpul lengkap seperti ini. "Udah lama nggak begini." Mata Sufi mulai berkaca-kaca. "Ibuk, makan dulu," ucap Mia. Ia pun merasakan keharuan yang sama. Namun, tidak ingin menumpahkannya. "Nambah, Nak," ucap Agit pada Frans yang lebih memilih menunduk cukup dalam. Frans hanya mengangguk. Ia masih ingat pertemuannya dengan sang ayah enam bulan lalu di suatu tempat. Begitu juga dengan Agit. Jelas, memori itu ia ikat dengan baik dan tidak akan hilang begitu saja. *** "Menikah? Bapak bercanda?" Agit menggeleng. Semua sudah direncanakan dengan matang termasuk pernikahan Mia. "Tidak, Nak." "Nggak cukup Mia tinggal di pondok? Sekarang harus menikah, Pak?" Agit tersenyum simpul. Frans selalu mengkhawatirkan adiknya. Bahkan dalam bentuk apa pun. "Mia setuju, Frans. Mia hanya berharap kamu hadir ke pernikahannya." Sontak Frans menggeleng. Ia menganggap bahwa adiknya masih terbilang muda. Sembilan belas tahun. Yang benar saja. Pikirnya. "Bapak lupa sama impian Mia? Bapak nggak mau Mia kuliah di sini seperti Frans?" Agit mengambil posisi duduk. Setelah menunggu beberapa waktu mereka berkesempatan bertemu. Meski dengan protokol kesehatan yang cukup ketat, mereka akhirnya bisa bertatap muka. "Impian Mia cuma bahagiain ibu sama bapak, Frans. Nggak lebih." Frans mengusap wajahnya kasar. Bagaimana bisa Mia dijodohkan dengan laki-laki yang juga berumur sembilan belas tahun. Mau jadi apa pernikahan mereka. "Mia berharap kamu datang, Frans. Bapak sama ibu juga iya. Jadi, lupakan dulu ketidaksetujuan kamu. Dami adik kamu." Frans menggeleng. Jelas ia tak akan rela. Baginya, Mia bukan sekadara adik. Melainkan seseorang yang akan terus ia lindungi. Frans berkeinginan membawa Mia menempuh study sama seperti dirinya. Ia tahu betul apa yang menjadi keahlian Mia. "Bapak harap kamu ngerti, Frans. Mau sesayang apa pun kamu ke Mia. Dia ... tetap adik kamu. Dan kamu ... tetap kakaknya. Bapak nggak mau ada yang berubah. Sejak awal kamu menginjakkan kaki di rumah sampai kamu meninggalkannya." Agit berdiri. Ia menepuk pelan lengan putranya. Sejatinya, ia tidak terlalu setuju saat Sufi memutuskan mengadopsi Frans. Ia takut ada hal-hal yang tidak diinginkan. Agit sejak awal mengerti bagaimana hubungan yang mungkin terjadi antara laki-laki dan perempuan meski mereka menjadi keluarga. Agit memang tidak berencana memaksa Frans untuk pulang. Ia hanya ingin mengabarkan berita bahagia itu secara langsung. "Apa Frans benar-benar tidak layak, Pak? Mengapa harus pria itu?" tanya Frans pada akhirnya. Ia memberanikan diri untuk mendengar alasannya. Agit tersenyum tipis. Satu hal yang membuatnya mempertahankan Frans pada akhirnya karena sikapnya yang pemberani. Ia tidak jadi mengusir anak laki-laki itu. "Karena kamu anak laki-laki bapak. Selamanya akan tetap sama." Frans memejamkan mata. Gelar itu justru yang menyiksanya. Ia harus memangkas tunas-tunas itu terus menerus. Sampai pada akhirnya ia tak bisa lagi menahannya dan memilih pergi menjauhi keluarganya. Frans kira dengan menghilang semua rasa juga akan sama. Namun, kenyataannya berbeda. Pesan-pesan yang terus dikirim Mia serta cerita tentang pria bernama Danial Akram membuatnya berang. Di dunia ini adiknya adalah satu-satunya perempuan yang akan selalu ia lindungi. Tak akan ia biarkan seorang pun menyakiti termasuk suaminya. *** "Kak," panggil Mia. "Ya?" "Nasinya jatuh. Nggak kerasa?" Frans mendongak. Rupanya tangannya bergerak tidak sesuai instruksi otaknya yang sedang memutar memori. Ia tidak menyuapkan nasi itu ke mulutnya melainkan membiarkab butiran-butiran itu berjatuhan. "Astaghfirulloh," ucapnya panik. Segera ia cabut dua lembar tisu untuk mengelap meja. Sungguh, itu bukan niatnya. "Mikirin apa, Nak, nak. Sampai begitu," goda Sufi. "Pacarnya kali, Bu," timpal Agit. "Bapak?" Kini semua mata tertuju pada pria itu. "Dah, dah, dah. Makan lagi. Makan yang banyak." Agit hanya menyelamatkan Frans. Ia paham sejatinya apa yang sedang dipikirkan anak laki-lakinya. Agit harap Frans mengerti dan bisa menerima keadaan dengan bijak. Adakalanya seseorang harus berkorban untuk kebahagiaan orang terdekatnya. Agit berusaha menanamkan itu pada setiap anggota keluarga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD