Bab 18 : Lamaran

1135 Words
Akram tercengang melihat berbagai macam parcel yang tersedia di rumahnya. Tak menyangka jika sang ibu mempersiapkan itu semua. Rasanya baru minggu lalu ia mencari tahu tentang gadis bernama Miana Agya. Sekarang, ia sudah harus melamarnya. Baju seragam keluarga yang dibawa Delia menjadi outfit mereka pagi ini. Satu keluarga menggunakan warna senada. “Makasih ya, Del. Paling bisa diandalkan,” ujar Yurika pada putri keduanya itu. “Bukan Delia. Mas Valga yang nyiapin.” “Terus nggak ikut?” tanya Yurika saat sadar menantunya tidak ada. “Sibuk, lah, Bu,” jawab Delia sambil lalu. “Pas, Kram?” tanya Dania begitu Akram keluar dari kamar. Ia baru saja mencoba baju yang dibuatkan oleh Delia. “Ngepres bodi, Kak. Tapi nggak apa-apa.” “Malah slimfit bagus, itu,” timpal Pram—suami Dania. Kebetulan tidak ada acara mengurus desa, maka minggu ini bisa ikut mengantar Akram. Akram hanya mengangguk. Mau protes pun mana mungkin. Apalagi saat keluarganya sudah bersiap seperti ini. Akram sejak kedatangannya ke rumah gedong itu sudah pasrah. Nasibnya memang akan menjadi calon menantu Pak Agit. Tidak bisa diubah meski hatinya tidak yakin. Akram juga hanya akan menjalani kehidupan sebagaimana orang pada umumnya. Ia tak mau terlalu ambil pusing karena ia sendiri memiliki satu rencana. “Deg degan nggak?” Danu menyikut lengan Akram. Ia juga sudah rapi dengan baju yang terlihat pas sekali di badannya. Akram terkekeh. Lucu menyaksikan ayahnya yang kaku bertanya seperti itu. “Kalau nggak deg-degan mati, Pak.” Danu pun menepuk punggung anak laki-lakinya. Pandai juga menutupi kegundahan hati di saat nasibnya sudah di ujung tanduk. “Jadi laki yang tanggungjawab. Sudah berani menerima tawaran ini, maka harus sungguh-sungguh tanpa kompromi. Lupakan wanita lain juga hal-hal main-main. Fokus jadi mantu orang.” Akram terdiam. Ayahnya tahu juga tentang hubungannya dan Nasha. “Bapak doakan yang terbaik. Apa yang menurutmu buruk belum tentu itu buruk buatmu.” Akram mendesah. Awalnya ayahnya bahkan menentang rencana ini tapi sekarang justru seperti mendukung. Pasti pengaruh ibunya sangat kuat sampai-sampai ayahnya mau mengubah pendapat. Mau bagaimana lagi. Laki-laki di keluarganya memang tidak ada harganya. “Sudah semua? Nggak ada yang ketinggalan?” tanya Yurika memastikan rombongannya komplit. “Sudah, Bu. Mobil belakang sudah semua,” sahut tetangga yang membantunya. “Kalau gitu kita berangkat!” ujarnya. Akram menarik napas berat. Dulu ia sempat membayangkan akan melakukan hal semacam ini. Menghitbah perempuan yang ia cintai. Sayangnya angan jauh dari kenyataan. Bukan Nasha Tahirah yang akan dipersuntingnya, melainkan gadis bernama Miana Agya. Akram kalah dengan keadaan. Ia tak bisa mengubah keputusan meski masih ada rasa yang ia punya untuk Nasha.   *** “Kakak beneran nggak tahu siapa Mia?” tanya Akram beberapa hari lalu setelah dari rumah gedong itu. Ia sengaja menghabiskan waktu di tempat Dania demi menghindari ibunya. Dania menggeleng. Ia meski masih tinggal satu daerah dengan keluarga Miana Agya,  tak paham tentang gadis itu kecuali tentang keluarganya. Mia hampir jarang sekali terlihat di desa. “Serius, Kak. Kok aku ngrasa kaya ada kedekatan yang aneh ya. Ibu sama ortunya?” “Kakak beneran nggak paham, Kram. Kalau paham udah kakak jawab. Kakak kan pahamnya soal Nasha. Yang sering kamu ceritain.” Akram mendengkus sebal. Di saat seperti ini justru gadis itu yang menjadi pembicaraan. “Beneran putus?” Akram memilih diam. “Kalau emang mau bener ya dideketin, Kram. Itu Mia kan anak pondok, kalem, di rumah terus. Mana bisa dia yang lebih banyak tanya. Ya kamu yang tanya ke dia dulu.” Dania berusaha memberikan saran mengingat waktu lamaran yang semakin dekat tapi adiknya tak kunjung nyaman dengan calon mempelai perempuan. “Emangnya dulu Kak Dania kenalan sama Mas Pram? Bukannya yang lain?” Dania melotot tajam. Akram jelas paham soal hubungannya dengan seseorang sebelum menikah. Akram bahkan saksi hidupnya. Akan tetapi membicarakan di rumahnya saat suaminya ada, jelas sebuah kesalahan.  “Beneran nih, Kakak nggak tahu?” “Beneran, Kram. Jadi nggak percayaan gitu kamu.” Akram tak menemui jawaban. Ia enggan bertanya langsung dengan ibunya. Ia berusaha mencari tahu sendiri tanpa perlu bertanya juga dengan Miana Agya. “Temennya datang, Kram!” ujar Mas Pram yang berada di teras. “Baik, Mas,” sahut Akram. Ia melangkah turun dari kursi tinggi di dapur Dania. “Mau kemana?” “Jalan-jalan bentar, Kak. Mau ke rumah Mas Danang. Nitip salam?” Dania mengangkat spatula. Bersiap memukul adiknya. Namun, Akram sudah lebih dulu berlari. “Assalamualaikum!” serunya. Dania mengurut d**a. Sungguh sial saat memiliki rahasia dan diketahui adik kandungnya sendiri. Ia benar-benar sudah melupakan Danang. Komunikasi mereka hanya sebatas menanyakan tentang Akram saja saat di Betamart. Namun, Akram masih suka mengoloknya. “Akram pergi dulu, Mas,” ujar Akram saat melewati Mas Pram yang tengah bercengkrama dengan Malka. “Iya, Kram. Hati-hati.” “Ikut, Om!” Akram menggeleng. “Nggak bisa. Besok aja, ya.” Malka pun merajuk. Baginya bermain bersama Akram jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan ayahnya sendiri yang memang selalu sibuk dengan pekerjaan. “Nggak Malka. Lain kali sama Om Akramnya.” Malka pun mengurungkan niat mengganggu Om-nya. Akram berlalu dari teras menuju gerbang. Rios bersama motor matc-nya sudah menunggu. Ada rasa enggan saat ada Mas Pram di sana. Bagi siapa saja, Pram itu sangat kaku. “Siap?” tanya Rios. “Cabut, Yos!” Kapan lagi menikmati masa seperti ini. Jika benar tanggal lamaran sudah ditentukan, ia tak akan bisa bebas kemana-mana. Meski Akram sendiri kategori anak rumahan, tetap saja ada batas jika sudah menjadi suami. Tujuan Akram hari ini adalah menemani Rios melengkapi berkas untuk persiapan pindah kerja. Setelah cukup lama bersama akhirnya mereka terpisahkan. Rios yang memang harus memikirkan masa depan demi kesejahteraan keluarganya, akhirnya menerima tawaran menjadi chief of store itu. Selain itu Akram juga berencana menemui Mas Danang untuk menanyakan beberapa hal terkait masalah perasaan. “Gimana ini, Kram?” Rios sudah menghentikan motornya. Bermaksud membeli beberapa keperluan di salah toko perlengkapan kantor. “Gimana apanya?” Akram sedang melihat ponselnya. Ia tak sadar akan keadaan sekitar. “Itu, Kram,” lirih Rios. Akram pun mendongak. Ia tak tahu harus berbuat apa karena ia terpaku pada sosok perempuan di depannya. Nasha pun sama.  Bergeming pada posisinya. Ketidaksengajaan yang menimbulkan ketaknyamanan. “Aku turun duluan,” ucap Rios sambil turun dari motor. Akram pun mengikutinya. Tetapi tidak ikut melangkah masuk ke dalam toko tersebut. “Belanja?” tanyanya pada akhirnya. Mana bisa berpapasan seperti ini tidak saling menyapa. “I—ya,” jawab Nasha. “Mau aku bantu?” Akram tahu Nasha tak pandai memarkirkan motor. Pasti akan kesulitan saat ia harus keluar. “Nggak usah.” “Sulit itu. Nanti ambruk semua.” Nasha terdiam. Ia menyerahkan kunci motor miliknya. Sudah begini mana bisa ia menolak bantuan dari Akram. Toh sebelumnya mereka juga berteman. Meski semua sudah berbeda, meski kisah cinta mereka berakhir tanpa kata-kata, pertemanan mereka tak lantas berakhir juga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD