Bab 17 : Rumah Gedong

1159 Words
Pertemuan kali ini rupanya berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Akram kira ia akan berjumpa dengan gadis bernama Miana Agya itu. Ia lupa bahwa Mia sedang kembali ke pondok pesantren untuk ujian. Pertemuan terakhir mereka membahas akan hal tersebut. Tidak ada yang menarik sebenarnya bagi Akram saat menikmati jamuan yang disediakan juga obrolan yang mengalir di antara ibu dan orangtua gadis itu. Rasanya menjadi aneh saat sang gadis sendiri justru tidak ikut terlibat. “Satu minggu lagi balik ke rumah, Bu?” tanya Yurika memastikan info yang ia dengar. “Iya, Bu. Sudah selesai ujian akhirnya.” “Kalau begitu apa bisa lamaran diadakan secepatnya? Saya sudah ndak sabar ini mau punya mantu perempuan,” seloroh Yurika. Urusan lobi melobi ia juaranya. Akram nyaris tersedak mendengar penuturan ibunya. Dari sini tampak jelas bahwa yang sangat berminat adalah ibunya. “Minum dulu, Nak,” ucap Yurika sambil tersenyum. “Makasih, Bu.” “Kenapa? Ikannya ada durinya?” tanya Agit memastikan calon menantunya itu baik-baik saja. Akram menggeleng. “Tidak, Om. Kurang hati-hati,” jawabnya. “Oh, begitu.” “Jadi bagaimana, Pak, Bu?” tanya Yurika lagi. Tersedaknya Akram membuat pertanyaan sebelumnya belum sempat terjawab. Agit mengangguk. Lebih cepat lebih baik. Begitu pikirnya tentang rencana pernikahan sang putri. Akan tetapi ia masih harus menunggu persetujuan Mia dulu. Tidak mau jika Mia malah merasa keberatan. “Ya. Nanti bisa dilakukan secepatnya setelah Mia pulang. Tapi, tanggal pastinya tunggu Mia dulu.” “Kok gitu, Pak? Kenapa nggak kita tentuin aja?” timpal Sufi. Ia kira suaminya akan langsung menyebutkan tanggal. Agit menggeleng. Jelas itu bukan ide yang tepat. “Kita tunggu Mia, Bu.” “Bapak ini,” timpal Sufi. “Ya sudah nanti semisal Mbak Mia sudah pulang, langsung kasih kabar saja, Bu. Biar kami persiapannya lebih matang.” “Siap Mbak Yurika.” Obrolan itu terus bergulir. Berganti dari satu topik ke topik yang lain. Orang dewasa tak pernah kehabisan stok saja sepertinya. Mereka begitu pandai membuat suasana nyaman bahkan untuk orang yan belum terlalu dekat. Akram hanya diam. Sesekali menimpali jika ditanya. Ia justru tertarik dengan interior rumah, pemandangan di halaman luar juga ornamen dinding. Ia merasakan betul bahwa rumah ini tidak asing. “Ayo Nak Akram, ikut saya,” ucap Agit setelah mereka selesai dengan hidangan penutip yang disiapkan Sufi. “Saya, Om?” “Dah sana, Kram. Ibu biar bantu tante Sufi dulu di sini,” timpal Sufi meyakinkan. Akram sedikit ragu. Ia dengan ayah kandungnya saja jarang sekali melakukan hal bersama, ini dengan orang yang memang nantinya akan menjadi mertua tapi tetap saja ia tidak terbiasa. “Ayo, Kram!” Akram pun mengangguk. ia membawa dirinya dari area makan itu mengikuti langkah Agit menuju halaman belakang. “Punya ibunya Mia, Kram,” terang Agit menenangkan ekspresi keterkejutan Akram. “Hobinya koleksi tanaman.” Akram mengangguk. Pantas saja di depan pun cukup banyak jenis tanaman yang tampak dirawat dengan maksimal. Rupanya memang sebuah hobi. “Nggak dijual, Om?” Agit menggeleng. “Cuma buat kesenangan aja.” “Termasuk anggrek-anggreknya?” “Iya. Kalau itu kesukaan ...” Agit menghentikan langkahnya. Menatap sebentar jenis tanaman yang berbeda sendiri dengan lainnya. Mulai dari spesies Vanda, phalaenopsis, Dendrobium hingga grammatophyllum. Agit paham betul siapa yang menyukai anggrek-anggrek ini. “Sebentar lagi sampai,” ujar Agit. Ia tak mau terlalu memikirkan tanaman-tanaman itu. Akram pun kembali melangkah. Ikut saja saat diajak jalan oleh calon mertuanya. Selain tampak mewah dari depan, rumah ini juga tergolong luas. Hanya saja ada satu hal yang tampak kurang lengkap. Akram masih berpikir bagaimana caranya membersihkan kalau sebegini luasnya. “Nyari apa, Pak? Maaf saya baru keluar.” Seorang laki-laki menyapa mereka. “Pantas saya cari-cari nggak ada.” “Iya, Pak. Maaf, saya lupa tidak kasih tahu Bapak.” “Ya sudah kalau begitu tolong ambilkan barang yang sudah kita siapkan di gudang. Ambil tiga pcs saja.” “Baik, Pak. Baik. Segera saya ambil.” Laki-laki tersebut menjalankan perintah Agit. Ia berlari kecil menuju bangunan lain di area ini. “Itu Pak Asep. Yang bantu-bantu di sini,” tukas Agit. Akram mengangguk. Terjawab sudah rasa penasarannya. Ia pun memerhatikan Pak Asep yang sedang membuka roling door. “Biar saya bantu, Om,” ujarnya. “Eh, nggak usah.” “Nggak apa-apa.” Tanpa menunggu persetujuan Agit, Akram berlari kecil mendekati Pak Asep. “Perlu dikasih oli mungkin, Pak,” seloroh Akram. Tampak jelas Pak Asep kesulitan mendorong pintu itu. “Eh, Mas, ngapain?” “Saya bantu, Pak,” ucap Akram sambil tersenyum. Pak Asep pun mengangguk. jarang-jarang ia menemukan laki-laki muda yang tanggap dan peka seperti ini. Ia sedikit paham siapa laki-laki yang membantunya dan merasa bahwa Akram memang tepat bersanding dengan Mia ke depannya. Begitu pintu terbuka Akram kembali ternganga. Setumpukan barang-barang ada di sana. Sesuatu yang jarang berada di sebuah rumah. “Mau yang warna apa, Mas?” tanya Pak Asep. Tangannya membuka gulungan yang terbungkus plastik. “Ini ngambil buat saya, Pak?” tanya Akram tak paham. Pak Asep mengangguk. Sesuai perintah majikannya memang begitu. Bahkan sudah disiapkan jauh-jauh hari. “Ada stok untuk toko. Koleksi terbaru, Mas. Bisa pilih tiga buat Mas, ibu, dan bapak.” “Ini barang dagangan, Pak?” “Iya. Khusus cabang Tegalrejo.” Akram masih sulit percaya. Sepemahamannya Pak Agit dan Sufi adalah pemilik kebun tanaman rempah kapulaga juga pemilik beberapa toko bangunan. Akan tetapi ini adalah perlengkapan solat yang digunakan sebagai alas juga beberapa karpet dengan motif khas timur tengah. Berarti ladang bisnisnya tidak hanya satu jenis saja. “Yang mana, Mas?” ulang Pak Asep. Ia tahu bahwa Akram terkejut dengan kekayaan calon mertuanya. “Yang mana saja, Pak,” jawab Akram. Tidak hanya tentang gadis bernama Mia yang membuatnya kepikiran. Kekayaan calon mertuanya juga sama. Apakah ibunya tidak salah menjodohkan gadis itu dengannya? Sungguh ini di luar kebiasaan yang dilakukan sang ibu. *** “Nanti waktu lamaran nggak usah repot-repot Mbak Yurika, biar kami yang menyiapkan,” ujar Sufi. Sambil menunggu suami dan calon menantunya kembali, ia memilih mengambil topik ringan. Yurika menyunggingkan senyum. Bagaimana bisa tidak repot saat putranya akan mempersunting anak juragan. “Sewajarnya laki-laki yang mau ngelamar anak orang, Bu. Sebatas itu saya menyiapkannya.” “Maksudnya nggak harus sesuai standar tertentu. Apapun itu kami terima, Mbak Yurika,” ujar Sufi. Ia enggan orang-orang terbebani dengan kekayaan suaminya. Banyak di antara rekan maupun kolega bisnisnya hanya memandang tentang hal itu. Yurika menggeleng. Ia paham bagaimana Agit memulai semuanya. Ia juga mengerti saat pria itu ada dalam titik terendah sebelum seperti ini. “Santai saja Bu Sufi. Kami tidak akan berlebihan.” Sufi menggenggam tangan Yurika. Ia bersyukur saat Yurika bersedia menjodohkan putranya dengan putrinya. “Makasih, Mbak.” “Sama-sama.” Melihat Mia bahagia adalah impian mereka semua. Selain itu dengan terjadinya pernikahan Mia dan Akram akan semakin mempererat hubungan persahabatan keluarga mereka. Bagi sebagian orang, memiliki satu teman saja sudah cukup. Mereka akan terus merawatnya sampai anak cucu mereka nanti. Sufi, Yurika, Agit memiliki pemikiran yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD