Bab 15 : Kepastian

1136 Words
Akram tak sempat memastikan apakah Nasha baik-baik saja begitu sebuah kalimat perpisahan ia ucapkan secara tersirat. Akram hanya mengira bahwa Nasha akan jauh lebih bahagia tanpa ia disisinya. Namun, benarkah Nasha mengalami badai patah hati sepertinya? Akram benar-benar tak paham. Sisa watktu shift sore pekerjaannya menjadi tidak menentu. Akram gusar atas sebuah berita yang belum pasti kebenarannya. Ia pun menjadi tidak fokus dan ingin segera mengakhiri sesi kali ini. “Buru-buru amat?” seloroh Rios begitu shift mereka berakhir. “Mau cabut, Yos.” “Cabut ke mana?” “Pulang, lah. Udah malem gini.” “Oh, mau pulang?” tanya Rios sambil mengangguk-angguk. “Iya.” “Ya udah hati-hati, ya. Ntar kasih kabar kalau udah nyampe,” ujar Rios. Ia masih santai merapikan lokernya. Akram pun berjalan keluar dari ruang karyawan. Ia ingin cepat sampai agar bisa melihat kondisi rumah yang berada tak jauh dari rumahnya. Biasanya momen semacam itu menjadi yang paling sangat ia tunggu saat kepulangan Nasha. Akram berjalan santai menuju tempat parkir. Hapal betul di mana biasanya ia meletakkan sepeda motor kesayangan. “Astaghfirulloh, kan tadi nebeng Rios berangkatnya. Kenapa bisa lupa?” ucapnya sambil meraup wajahnya kasar. Ia membalikkan badan berharap Rios sudah keluar dari gedung utama Betamart. “Kenapa?” seloroh Rios yang dari jauh saja sudah mengumbar tawa. Pasti ia senang sekali mendapati sahabatnya kelimpungan seperti itu. “Buruan!” keluh Akram. Ia harus segera sampai ke rumah. “Kagak! Aku mau nangkring dulu. Laper, Kram!” seru Rios sambil mencoba berbelok arah. Ia sengaja betul tidak langsung ke tempat parkir. “Yos! Awas kamu! Buruan, lah!” Rios menggeleng. Ia sedang ingin mengerjai sahabatnya. Biar sekalian kegalauan yang dialami semakin menjadi-jadi. “Yos! Ayo buruan!” seru Akram. Ia paham Rios hanya bercanda. Berusaha menghiburnya. Waktu terus berjalan. Sudah pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Artinya malam sudah semakin larut.  “Ngapain, Kram?” tanya Mas Danang yang baru keluar. Ia juga akan pulang ke rumahnya. “Pulang, Mas.” “Terus ngapain di situ?” “Nungguin Rios,” jawab Akram sambil menunjuk sahabatnya. Tampak jelas sedang duduk santai di warung tenda. “Nggak bawa motor?” Akram menggeleng. “Kebetulan tadi nebeng, Mas.” “Ya udah bareng saya, aja.” “Eh, serius, Mas? Putar arah?” Danang mengangguk. Tak masalah putar arah. Toh nanti ia bisa balik lagi. “Ayo.” Akram berpikir sejenak. Jika menunggu Rios bisa lebih lama ia sampainya. Ia mempertimbangkan ajakan Danang. “Nggak apa-apa, Mas?” “Iya, nggak apa-apa. Tambah malem ntar kamu pulangnya kalau nunggu Rios,” ujar Mas Danang dari mobil yang ia kendarai. Akram melihat ke arah warung tenda lagi. Memastikan apa sahabatnya hanya bercanda atau serius. Dari pesanan yang ada, tampak Rios memang perlu mengisi perutnya. Akram pun memutuskan tidak menunggu sahabatnya itu. Mas Danang memang atasan Akram di Betamart. Namun, tak banyak yang tahu rahasia di antara mereka berdua. Dulu, sebelum berada di Betamart, Akram sudah lebih mengenal Mas Danang lewat seseorang. Bahkan, Akram kira Mas Danang akan menjadi bagian dari keluarganya. “Berapa lama?” tanya Mas Danang setelah perjalanan mereka terasa sangat lengang. Mereka bukan orang asing sama sekali. “Ya, Mas?” “Berapa lama deket sama Nasha?” Akram meneguk ludah. Pertanyaan Mas Danang di luar dugaan. “Emmmmm dari SMP, Mas.” “SMP?” tanya Mas Danang kaget. “Iya. Kelas satu kenalnya, terus deket sampai kelas tiga SMA.” “Terus sekarang putus?” timpal Mas Danang langsung berterusterang. Akram mendesah. Putus satu kata yang menjadi sekat antara dirinya dan Nasha. Kata yang mewakilkan dengan benar seperti apa hubungan mereka sekarang. “Iya, Mas.” “Hilmi itu putra sulungnya Pak Bekti. Digadang bakal jadi penerus bisnis yang dikelola beliau. Mungkin nggak cuma Betamart tapi yang lain juga. Adiknya Hilmi perempuan semua soalnya.” Tanpa diminta Danang menjelaskan itu semua. Informasi yang sebenarnya tidak begitu penting dan sedang tidak ingin didengar Akram. “Nasha itu anaknya Pak Kapolres kan, ya. Bener nggak, Kram?” “Bener, Mas. Pak Wiyono.” Danang membelokkan kemudi mobilnya. Sebentar lagi masuk ke sebuah jalan di mana perumahaan elit di mana para pejabat pemerintah mendominasi hunian itu tak terkecuali keluarga Nasha. “Nggak selevel ya, Kram,” timpal Mas Danang. Sebenarnya tidak pantas berkata demikian. “Ya?” Mas Danang menepikan mobilnya dengan jarak aman di sisi kanan. Bersebrangan dengan rumah Nasha yang memang berdiri megah dengan pagar besi di bagian depan. Spot yang tepat untuk melihat keadaan sekitar. “Kok berhenti, Mas?” tanya Akram heran. Rumahnya masih masuk lagi ke bagian dalam sepanjang jalan ini kemudian keluar mengambil jalur kanan dan kembali melewati aspal tak halus yang mengarahkan langsung ke jalan desa. “Nggak apa-apa. Ini saya mau telpon orang dulu,” jawab Mas Danang santai. Kebetulan ponselnya tadi bergetar. Ia menerima panggilan itu. Setelah bercakap sebentar, Mas Danang pun sibuk mengoperasionalkan ponsel. Ia hanya berbalas pesan dengan seseorang seperti biasanya. Berpura fokus agar Akram—orang yang harusnya menjadi keponakannya itu leluasa mengamati rumah mewah milik tambatan hati. Akram pun merasa gusar. Sejak tadi ia baru sadar jika jalan yang diambil Mas Danang adalah jalan yang biasa ia lalui bersama Rios. Bukan jalan umum untuk sampai ke rumahnya. Mas Danang seperti paham apa urusannya. Akram menoleh ke sebelah kiri. Jelas sekali rumah itu ada di sana. Rumah yang hanya akan ia lewati tanpa merasa kenal dengan penghuninya. Akram dan Nasha tidak pernah sekalipun kedapatan bersama melewati jalan perumahaan ini. Ia terus mengamati pemisah di antara dirinya dan Nasha. Sungguh di luar prediksi pintu gerbang itu bergeser. Mobil mewah milik putra pemilik Betamart baru keluar dari dalam. Sementara waktu menunjukan hampir jam dua belas malam. Artinya pria itu bisa diterima oleh keluarga Nasha. Akram menunduk. Sekarang semua semakin pasti. Memang jalan ini terbaik baginya dan Nasha serta semua orang. Danang terus memainkan jemarinya. Masih setia dengan percakapannya pada seseorang. Meski ia mengerti pemandangan ganjil ada di depan mereka, ia berusaha cuek. Akram memang harus melihatnya agar bisa tegar menerima kenyataan. Sama seperti dirinya dulu yang harus merelakan cintanya kandas karena tak berpihaknya restu. Danang mendesah. Meski sudah berjanji tak akan berhubungan lagi dengan keluarga Akram, sulit sekali rasanya. Ia tak bisa menutup mata.    [Udah lihat sendiri, Dan. Harusnya habis ini dia mau dijodohkan.]   Pesan itu mengudara untuk seseorang yang kini menjadi sahabat baiknya. Dania—kakak pertama Akram yang memang menitipkan adiknya pada Danang. Ia selalu khawatir adik bungsunya mengalami kesulitan selama bekerja.  Perempuan itu bahkan tahu semua aktivitas yang dikerjakan Akram di Betamart, termasuk kejadian sore ini. Danang memang mengabarkannya. Dania ingin Akram tetap bisa bahagia meski nanti akhirnya harus merelakan cinta yang ia miliki demi memenuhi sebuah bakti. Dania tak mau Akram menjalani kehidupan penuh kepalsuan. Harapannya Akram bisa menerima perjodohan yang disiapkan sang ibu setelah perasaannya untuk Nasha benar-benar sirna. Tidak seperti dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD