Akram tak bisa berbuat banyak selain menyaksikan pemandangan paling memilukan di depan mata. Rasanya ia tak ingin berdiri tegak di depan tamu special di Betamart itu. Semua begitu jelas. Pria itu memang Hilmi—laki-laki yang ditengarai memiliki hubungan special dengan Nasha. Pria itu juga yang ada dalam screen capture yang ditunjukkan oleh Rios.
“Danial Akram!” seru Mas Danang. Ia sudah memanggil karyawan itu dua kali tapi tak diindahkan.
“Ya?” sahut Akram setelah tersadar dari lamunannya.
Danang meminta Akram untuk cepat mendekat seperti yang diperintahkan putra pemilik Betamart tadi.
“Ya, Mas?”
“Ada yang mau ketemu kamu,” ujar Danang. Ia menunjuk Hilmi yang sejak tadi menanti.
Akram mendongak. Sungguh hal yang cukup membuatnya tersentak. Ia kira hanya akan menyaksikan aksi mesra mereka berdua saja. Tidak untuk dipanggil dan saling menemui. Hal ini menjadi cukup sulit bagi Akram, mengingat ada Nasha di sana.
“Buruan,” ucap Danang sambil memimpin langkah.
Akram pun pasrah. Ia jelas kalah. Seperti di awal jumpa mereka Hilmi dengan tegas menunjukkan siapa dirinya. Begitu bangga bahwa ia memiliki semuanya. Akram menguatkan diri. Laki-laki tak boleh hancur meski patah hati. Profesional menjadi satu kata yang ia pegang untuk keadaannya sekarang.
“Ini Danial Akram, Pak,” ucap Danang. Ia juga harus bersikap profesional.
Hilmi menyunggingkan senyum. Ekspresi wajahnya menampakkan kepuasan. “Akram?”
“Ya. Saya Akram.”
Di luar dugaan. Nada suara yang muncul dari Akram justru terdengar tenang. Tidak seperti Danang yang lebih terasa gugupnya.
“Sha, ini lho ... ada Akram. Nggak kamu sapa?” seloroh Hilmi sambil menyikut lengan Nasha. Ia tahu Nasha berusaha mengabaikan pertemuan yang dirancangnya.
“Kram ....” lirih Nasha.
“Ada yang bisa saya bantu? Apa anda memerlukan hal lain di toko ini?” tanya Akram berusaha seramah mungkin. Ia harus memperlakukan semua pelanggan yang datang sesuai dengan ketentuan. Tak peduli itu siapa. Nasha menggeleng. Mana mungkin ia akan melakukan itu. Saat masih bersama saja ia tetap mengambil apa pun yang ia butuhkan seorang diri di toko ini.
“Bwahahahahahahahahahahaha!!! Nggak salah?” kelakar Hilmi. Ia Cukup geli menyaksikan bagaimana Nasha dan Akram tetap tak mau mengikuti candaannya.
“Hil ... ngapain, sih!” protes Nasha. Ia tidak suka kekasih barunya itu bersikap arogan di depan Akram.
“Aku nggak ngapa-ngapain. Cuma mau lihat cowok yang nyakitin kamu sama bikin kamu nangis-nangis di kosan. Oh, ini, toh,” ungkap Hilmi seraya menyeruput kopi seduhan Nasha.
Riak wajah Akram berubah. Ia jelas mempertanyakan apa maksudnya. Bagaimana bisa Nasha menangis? Setelah pertemuan mereka? Apa Nasha juga megalami hal yang sama?
“Ayo buruan ke rumah, Hil. Kelamaan di sini nanti kamu baliknya kesorean,” ucap Nasha.
Hilmi tersenyum tipis. Nasha benar-benar melindungi Akram di depannya. Bisa saja ia menjatuhkan pria itu dengan statusnya. Namun, ia rasa masih belum waktunya. Nasha belum sempurna menerima cintanya.
“Takut aku kesorean apa takut keburu papa kamu pulang?” ledek Hilmi. Ia ingin memberikan informasi bahwa ia dengan segala yang ia miliki pasti diterima di keluarga Nasha dibandingkan pria seusianya bernama Danial Akram.
“Buruan, ayo,” ujar Nasha sambil menggamit lengan Hilmi. Refleks Hilmi merespons dengan menatap Nasha tak percaya. Namun, ia mengikuti tarikan gadis itu terlebih saat melewati Akram dan juga Danang. Hilmi menang besar.
Akram terlolong. Beberapa informasi yang ia dapat setengah-setengah itu justru membuatnya tak berkutik. Nasha menangis sepanjang malam.
“Balik kerja. Mikir maharnya tahun depan. Cari ganti dulu!” ucap Danang sambil menepuk bahu Akram.
***
Nasha paham betul bagaimana sikap Hilmi. Pria itu memang kerap menunjukkan perasaannya padanya. Hilmi juga tak sungkan untuk sekadar memberikan banyak hadiah. Namun, ia masih belum bisa sepenuhnya menerima perasaan itu. Memang benar ada sosok Akram di yang menjadi pendampingnya. Sahabat saat duduk di bangku SMP hingga SMA. Tak tahunya hubungan mereka mekar menjadi sebuah bunga.
Nasha sejak pertama tak begitu cinta dengan Akram. Ia bertahan hanya karena rasa kasihan. Namun, sore ini ia tak mengerti jika melihat Akram berdiri sambil menatapnya membuat jantungnya berdenyut pedih. Ya ... ia ingin berpisah, tapi ternyata tidak sebaik yang ia kira. Nasha bahkan akhirnya memilih menghabiskan akhir pekan di rumah untuk sekadar menata suasana hatinya.
“Kenapa? Masih kepikiran?” tanya Hilmi saat mobil miliknya sudah berlalu dari area parkir Betamart.
Nasha menggeleng. Ia jelas tak akan membeberkan perasaannya saat ini mengingat ia sendiri tak yakin. “Enggak, Hil. Nggak ada aku kepikiran dia. Aku malah kepikiran kamu.”
“Aku? Kenapa bisa aku?”
“Kamu sengaja bersikap kayak gitu cuma gara-gara aku? Kamu pakai jalur papa kamu buat hal remeh kayak tadi?” tanya Nasha sangsi.
“Hahahahaha! Kenapa memangnya? Kamu nggak terima?” Tangan kanan Hilmi meraih pundak Nasha.
“Hil, kapan sadarya, sih!” sentak Nasha. Lama-lama risi juga dengan sikap Hilmi yang berlebihan.
“Sorry, sorry. Khilaf, aku.”
“Kebiasaan, deh.”
Hilmi menangkupkan kedua tangannya seraya menyunggingkan senyum, “Maaf, maaf. Lagian kamu pake nangis gara-gara pria itu. Aku nggak terima, Sha!”
Salahnya memang. Curhat dengan orang yang tidak tepat. Ia paham Hilmi bukan tipe pendengar yang baik. Tetapi sialnya sore itu Hilmi-lah yang mengantarnya pulang. Ia belum sempat mempersiapkan hatinya saat berpisah dengan Akram. Ia tak menduga Akram justru memperlakukannya dengan begitu baik.
“Aku kira kamu bisa jaga rahasia. Sama aja ternyata,” gerutu Nasha.
“Sama kayak siapa? Akram?!”
“Nggak usah bawa-bawa dia, Hil.”
“Kalau nggak mau bawa-bawa nama dia terima aku dulu buat jadi pacar kamu. I’ll do my best.”
Nasha mengangkat tangan Malas saat Hilmi sudah merayu seperti itu. Ia masih belum bisa sepenuhnya menerima Hilmi. Ia hanya senang dekat dengan Hilmi karena merasa datang dari lingkungan yang sama. Mereka sama-sama dibesarkan dengan standar tinggi yang diterpakan orangtua mereka. Hanya berbeda tempat saja. Nasha merasa Hilmi bisa menjadi temannya mengingat orangtua Hilmi juga memiliki bisnis di Magelang. Papanya tak akan bertanya banyak meski Hilmi seorang laki-laki.
“Perempatan belok kanan, Pak. Maju sekitar dua ratus meter,” ujar Nasha saat menyadari mobil Hilmi sudah semakin dekat dengan rumahnya.
“Baik, Non. Blok B?”
Nasha mengangguk. Bisa dibilang ini pertama kali ia pulang dari Semarang bersama teman terlebih teman lawan jenis sampai diantar ke depan rumah. Sebelumnya ia selalu melakukan aksi diam-diam diantar dan dijemput Akram. Mereka akan berpisah di terminal atau tempat yang lebih jauh. Semua dilakukan agar tidak ketahuan keluarganya.
Nasha menguatkan diri. Tak peduli bagaimana nanti respons papanya. Ia hanya sedang ingin pulang tapi tak punya keberanian meminta Akram menjemputnya seperti sebelumnya. Juga sedang malas menikmati ketidaknyamanan menggunakan transportasi umum.