Bab 40 : Mulai Menerima

1348 Words
Mia memungut kardigannya. Mengenakan kembali seperti sebelum mengungkapkan kebenaran di depan Akram. Meski perih, ia tetap harus menjalankan sisa malam di vila ini. Hati Mia mencelos. Usahanya tak membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan. Kerudung yang teronggok di kursi juga ia pakai lagi. Meski dalam remang tadi, Akram sempat melihat mahkotanya itu, ia tetap nyaman jika langsung melepasnya terus-terusan. Pintu kamar Mia tarik ke dalam. Sebelum melangkah, ia pastikan hatinya sudah tenang. “Bismillah,” ujarnya. Di ruang tengah, Akram menata menu-menu yang diantarkan. Sedikit di luar prediksi Mia karean terlihat sangat lengkap. Kak Delia memang juara. Mia terus berjalan. Ia tak peduli Akram masih tampak dingin dan tak menyadari kehadirannya. Yang pasti, ia sangat lapar. “Suka yang berkuah, kan?” tanya Akram tiba-tiba. Sontak Mia mengangguk. “Iya.” “Ambil mangkok dulu.” “Memangnya ada?” tanya Mia polos. Mungkinkah sebua Vila menyediakan peralatan dapur semacam itu? “Kata Kak Delia ada. Biasanya di rak dapur.” “Oh, ya.” Mia yang tadi hendak duduk pun berdiri kembali. Melangkah ke dapur mini di dalam vila itu. lebih tepat disebut pantri menurutnya. “Ini,” ujar Mia menyerahkan satu mangkuk itu. Akram mengedikan dagu. Mengarahkan agar Mia meletakkan di atas meja. Mia pun menurutinya. Di luar dugaan Mia, sebuah sup iga dituangkan oleh Akram. Aromanya menguar. “Nih,” ucap Akram sambil menekatkan mangkuk itu. “Makasih,” timpal Mia. “Nasinya. Orang Indo kalau gak makan nasi biasanya nggak kenyang.” “Iya, nanti.” Buru-buru Mia menyendok kuah sup tersebut. Menikmati paduan bumbu yang bertemu dengan air dan iga, lengkap dengan sayurannya. Akram mengambil kwitai yang dipesankan Delia. Tidak terlalu pedas karena memang ia tidak suka pedas. Dalam diam mereka berdua menghabiskan menu masing-masing. Sekilas Akram memerhatikan gadis di sampingnya. Dengan jilbab seperti itu, benar-benar tak nampak luka yang ada di punggungnya. Uhuk! Uhuk! Uhuk! Rupanya Mia terlalu bersemangat saat makan. Sampai-sampai tidak hati-hati. Akram pun menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada minum sama sekali. “Tas,” lirih Mia. “Uhuk! Uhuk!” “Tas?” Mia mengangguk. Ia menunjuk kamar tadi. Akram pun paham. Segera melangkah ke kamar mengambil air mineral yang ada di sana. Pintu kamar ia buka. Pandangannya menyapu seisi kamar untuk menemukan tas istrinya. “Nah, itu,” ujarnya. Akram membawa serta tasnya keluar. “Di dalam?” tanyanya. Mia mengangguk. Ia mengulurkan tangan. Akram pun menyerahkan tas itu setelah membuka resletingnya. Mia menerimanya dan segera membuka botol air mineral lalu menenggaknya. “Alhamdulillah,” lirihnya. Akram menahan napas. Wajah Mia sudah memerah. Terbatuk dengan susah payah. Beruntung ada sebotol air mineral itu. “Makannya nggak usah buru-buru,” ujar Akram lega. Kembali duduk di lantai. Mia mengangguk. “Maaf.” “Ngapain minta maaf?” Mia pun menunduk. Ia lanjutkan menyantap sup iga beserta nasi putih dengan lebih hati-hati. Sementara Akram melahap kwitai itu dengan cepat. Ia harus memesan minum untuk melegakan kerongkongannya. Kakaknya cukup payah karena tidak sekalian mencarikan minuman. Acara makan malam yang sudah sangat terlambat pun terulang. Hanya beda menu dan tempat saja. “Mua kemana?” tanya Mia saat Akram berdiri. “Cari minum.” “Keluar?” tanya Mia. Ia melirik ke kanan dan kiri. Akram mengikuti pergerakan mata Mia. “Kenapa?” “Nggak apa-apa. Aku boleh ikut?” Akram mendesah. Selain aneh, dan berubah-ubah sikapnya, gadis ini penakut. Fix jauh dari bayangannya. “Ya sudah ayo.” Mia bersorak dalam hati. Senang sekali karena tidak perlu berada di vila seorang diir. Rasanya asing dan menakutkan. Terlebih di waktu malam yang sudah sempurna gelap. Pepohonan pinus di luar Vila tak menghalangi sinar bulan masuk ke dalamnya. Setelah mengunci kamar itu, Akram dan Mia berjalan. Tidak beriringan melainkan depan dan belakang. Awalnya Akram memimpin langkah, namun melihat sikap Mia yang tertinggal Akram meminta Mia berjalan di depan. “Lurus terus?” tanya Mia hati-hati. Takut terpeleset di undakan batu yang ia pijaki. “Iya. Resepsionis depan.” “Emangnya nggak ada layanan antar?” tanya Mia polos. “Nggak ada,” jawab Akram cepat. Ia malas memberikan alasan yang sebenarnya. Setelah tahu siapa Mia, tahu insiden yang melatarbelakangi mereka dan tahu akan luka itu, ia sedikit kesulitan menngontrol diri. Mencari udara luar sangat membantunya. “Itu belok kanan,” ujar Akram. Tampak jelas area resepsionis kedatangan. “Ah, iya.” Mia mempercepat langkah. Jujur, ia memang kehausan ditambah tersedak tadi. Tanpa memerhatikan langkah, Mia terus berjalan dan tanpa sengaja ujung roknya terinjak. “Awas!” teriak Akram. Beruntung kardigan Mia sempat ditarik olehnya. “Astaghfirulloh,” gumam Mia. “Hat-hati,” omel Akram. Ya, terdengar seperti omelan. “Maaf.” “Maaf terus perasaan,” protes Akram. “Maaf,” timpal Mia lagi. Ia memang hanya bisa berujar maaf. Akram menghela napas panjang. Sungguh gadis ini membuat kepalanya akan pecah saja. “Tunggu di sini,” perintah Akram. Mia mengangguk. Ia sedikit menepi dari undakan tadi. Tak berani membantah karena jalan batu di depannya memang tampak lebih licin. Ia perhatikan dengan baik pungggung suaminya. Dengan sopan, pemuda itu menanyakan perihal kebutuhan mereka. Mia mengukir senyum tipis. Sejak dulu ia memang sudah jatuh cinta. “Nih.” Akram meyerahkan satu botol minuman teh kemasan. Mia menerimanya sedikit sungkan. “Air putih nggak ada.” “Oh, ya.” Mia tak langsung membukanya. Ia menengok ke kanan dan kiri lagi. Mencari tempat untuk duduk. “Kenapa?” “Nggak apa-apa,” jawab Mia. Ia tak berani menegur suaminya. Akram pun tersadar. Ia memilih menyudahi niatnya untuk langsung menenggak minuman kemasan itu. Mia tampak tidak nyaman. “Balik kamar, aja,” ujarnya. Mia mengangguk. Dengan senang hati ia menerima saran itu. Ia pun mempercepat langkah. Selain ingin segera melegakan dahaga, ia juga ingin segera mengganti bajunya. Sejak siang ia tak sempat berganti pakaian karena ada Akram di kamar. Sementara Akram mengamati punggung Mia. Gadis ini, menyimpan terlalu banyak cerita. Hal-hal yang akan membawanya pada kebenaran. Akram mendesah. Menghentikan sejenak langkahnya. Mengamati cahaya bulan yang menembus daun-daun pinus. “Haruskah kuterima takdir tanpa perlu menyangkalnya?” bisik Akram di hati. *** Di rumah besarnya, Nasha terpaku di depan cermin. Setelah hampir enam tahun bersembunyi, kini ia tak bisa lagi. Mia selama ini memang tak pernah menghubungi. Namun, bukan berarti gadis itu tak tahu apa yang terjadi. Nasha mengacak rambutnya. Balasan dari Mia terlalu singkat. Sulit baginya untuk menceritakan lebih banyak. [Mia : Ya.] Andai gadis itu menyangkal, memaki atau mengatakan hal-hal tak pantas untuknya, ia justru bisa menerima. Saat seperti ini, ia malah tak bisa berbuat apa-apa.                “Sha! Lagi apa kamu, Nak?” seru mamanya dari luar kamar. Sejak tadi sudah memanggil tapi tidak ada jawaban.                Nasha berusaha mengambil alih fokus diri. Ia tidak boleh terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Mia tidak mungkin setega itu.                “Ya, Ma,” sahut Nasha.                “Itu ada Hilmi di bawah. Kamu jadi berangkat nggak?”                Nasha pun teringat akan rencananya hari ini. Hilmi sudah menjemputnya. Trip mereka sebelum kembali menjalani rutinitas kampus. Nasha menyambar tas kecilnya. Bersiap menemui Hilmi dan teman yang lain meski suasana hatinya sedang kacau.                “Nggak denger mama manggil?”                “Maaf, Ma, tadi di toilet,” jawab Nasha.                “Ya udah buruan. Yang lain juga udah pada datang. Ini jadi nginep?”                Nasha mengangguk. “Boleh, ya, Ma. Tapi jangan bilangin ke papa.”                Maria tersenyum. Sejak dulu putrinya sangat takut dengan papanya. “Iya. Yang penting inget pesen mama, ya.”                “Siap, Bos!”                Nasha dan Maria menuruni tangga. Menemui Hilmi, Risa dan Bagas. Selain ada project kampus, mereka juga berencana menyempatkan diri untuk berlibur.                “Berangkat dulu, ya, Tante,” ucap Hilmi sambil menyalami Maria.                “Ya. Hati-hati, ya. Nggak ngebut.”                “Aman Tante, bawa supir, kok.”                Maria pun terkejut. “Oh, pake supir?”                “Iya, Tante. Mana diijinkan sama Pak Bekti, Den Mas Hilmi nyetir sendiri jarak jauh,” seloroh Bagas.                “Berangkat ya, Ma,” potong Nasha.                “Ya, Nak hati-hati.”                Maria melepas Nasha dan rekannya untuk sebuah perjalanan. Baginya tak masalah sang putri menghabiskan masa muda seperti itu. Asal masih dalam batasan wajar yang ia terapkan pada putrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD