Bab 25 : Hadiah dari Orangtua

1087 Words
Kang Asep masih saja meledek Mia. Sampai habis bunga-bunga di sana tersiram semua, wajah Mia terus merona. “Kalau pengantin baru memang gitu, Mbak. Kang Asep paham,” ujar Asep sambil membereskan peralatan. “Paham apanya, Kang Asep? Orang daritadi kita bahas bunga.” “Bunga yang mekar di hati Mbak Mia,” celetuk Asep. Ia sedikit tergelak sampai Agit dan Akram menoleh ke arah mereka. “Waduh, gaswat. Saya permisi, Non.” Mia yang menjadi objek utama pandangan Akram dan Agit pun menyunggingkan senyum. Ia tersipu saat tukang kebun di rumahnya saja bisa menebak gelagatnya. “Sini,” ujar Agit. Obrolannya dengan Akram sudah cukup. Mia pun mengangguk. Ia berjalan ke arah suami dan ayahnya. Di sana sebuah gazebo sederhana sengaja dibuat untuk duduk-duduk santai. “Ada apa, Pak?” “Sini duduk, sini.” Agit menepuk lantai gazebo di sisi kirinya. Sigap Mia menaatinya. “Kalian sudah menikah. Sudah sah jadi suami istri. Mulai nanti, rencananya bapak sama ibu mau ngantar kalian.” Agit menjeda. Ia menunggu respons anak dan menantunya. “Maaf, Pak. Ngantar kemana?” tanya Akram. Obrolan mereka sebelumnya hanya sebatas hobi, kegiatan serta rencana ke depan. Akram bahkan tak sadar saat Agit mengetahui dia sudah tidak bekerja. “Ada yang bilang mau tinggal di kontrakan, di bawah jembatan apa di mana itu lebih baik bagi pasangan yang sudah menikah dibandingkan harus tinggal bersama orangtua atau mertua.” “Bapak...,” Agit menggeleng. “Bukan tentang itu, Mia. Tenang saja.” Mia belum siap rahasianya terungkap. Ia masih belum mau suaminya tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah gedong ini. “Gini, Nduk. Kita sama-sama tahu kalau suami kamu itu anak terakhir. Di sana juga udah nggak ada kakak-kakaknya, karena ikut suami semua. Nah, tadi suami kamu bilang. Seandainya Mia tinggalnya di tempat Akram saja bagaimana? Gitu katanya.” Agit menatap Akram. Ia tak mengira pria itu berani berkata langsung tentang hal itu. padahal kesepakatan awal keluarga Akramlah yang ikut di tempatnya. “Bukan begitu, Pak. Maksudnya ...” Akram merasa tak nyaman. Harusnya mertuanya tak langsung mengatakan saat itu juga. Agit menggeleng. Ia tidak keberatan. “Nggak apa-apa. Malah seneng Bapak dengernya. Tandanya, kamu mau tanggungjawab. Tapi, Kram. Bapak sama ibu juga orangtua kamu sudah menetapkan sesuatu juga.” Baik Mia maupun Akram sama-sama terkejut. Tentang apa lagi kali ini. “Jadi, nanti biar adil. Biar seperti yang bapak bilang tadi kalau lebih baik pasangan suami istri itu tinggal sendiri, Bapak sudah menyiapkan tempat buat kalian.”  “Maksud bapak tempat tinggal?” tanya Mia. Agit mengangguk. “Anggap saja hadiah, Nak.” Kalimat itu tak pernah terpikirkan oleh Akram.  Ia kira setelah menikah harus tinggal bersama orangtua atau mertua. Tidak mandiri seperti yang dibilang tadi. Pikiran Akram bekerja. Tinggal berdua saja jelas lebih menguntungkan untuknya. *** Mia mulai merapikan baju yang sekiranya akan ia bawa. Meski tak tahu ada rencana mendadak seperti ini, ia tetap  tak bisa melawan. Baginya, patuh pada orangtua menjadi kewajiban. Sementara Akram hanya duduk termenung di meja belajar milik Mia. Memikirkan sedikit tentang pernikahannya. Akan seperti apa? Mau dibawa ke mana? Sebuah ketukan membuat Mia dan Akram menoleh. Tatapan keduanya saling bertemu. Namun, Akram buru-buru mengalihkan. “Sudah siap, Nduk?” tanya Sufi dari balik pintu. Sekarang tidak bisa seenak sendiri masuk ke kamar putrinya. Mia melirik ke arah Akram. Ia perlu mendapat persetujuan dari suaminya dulu. “Tasku nggak dibongkar dari kemarin, jadi aman.” Mia pun mengangguk. Ia beranjak dari ranjang tidurnya. Membuka pintu kamar yang sejatinya tidak terkunci. Akram juga ikut berdiri. Di depan ibu mertuanya, ia tidak boleh bersikap buruk pada Mia. “Gimana udah siap?” ulang Sufi. Ia cukup antusias. “Sudah, Bu. Barang bawaan kami tidak banyak,” sahut Akram. “Nanti bisa balik lagi ya, Kram?” “Iya, Bu. Masih di area Magelang, kan, Bu?” “Iya. Kamu biasa nglewatin, Kram.” “Oh, iya, Bu,” respons Akram. Ia menjadi mudah menyambung obrolan demi menjalani hidup yang tidak ia ingini. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kepribadiannya. “Ya sudah kalau begitu kita berangkat sekarang. Nanti keluarga Akram langsung ketemuan di sana.” “Baik, Bu.” Mia berbalik. Ia harus membawa kopernya yang hanya berisi beberapa baju saja namun Akram sudah lebih dulu mengambilnya. “Mas,” lirih Mia. “Nggak apa-apa.” Mia pun mengangguk canggung. Mereka mengayunkan langkah meninggalkan kamar yang sudah terbiasa ditinggalkan oleh pemiliknya. Sepanjang perjalanan, Mia lebih banyak diam. Ia duduk di bangku tengah bersama ibunya. Ia tak berani membuka percakapan saat Akram ada di depan bersama ayahnya. Pikiran Mia mengudara. Jika tinggal hanya berdua apa yang harus ia lakukan. Bagaimana mereka bisa menjadi pasangan halal yang sebenarnya. Beberapa pertanyaan yang disampaikan Akram pasca akad kemarin kembali terngiang. “Kamu paham kalau di antara kita nggak mungkin ada rasa, ‘kan?” Mata Mia terpejam. Jawaban dari pertanyaan itu adalah luka bagi ia dan suaminya. Ia paham bahwa di antara mereka ada sekat yang sengaja dibangun suaminya. Mia tak pernah mengira jika pernikahannya ini tak seperti yang ia pikirkan. Tetapi ia sudah berikrar hanya pria bernama Danial Akram yang akan menjadi pasangannya. Selamanya. Setelah melewati dua belokan besar, mobil yang dikendarai Agit mengambil laju kiri menuju jalan perumahan yang sangat Akram kenal. Baru membaca nama jalannya saja ia sudah berdebar. Biasanya ia akan menghitung dari belokan itu sekitar tiga rumah dari ujung belokan adalah rumah kekasihnya. Ralat mantan kekasih karena di pertemuan terakhir mereka sudah terjadi kesepakatan. Akram tak berani melihat ke samping kiri. Ia paham betul nomor rumah itu. Laju mobil yang dikendarai Agit perlahan melambat. Menepi ke sebelah kanan dan berhenti tepat di seberang rumah yang sangat Akram kenal. “Kenapa, Pak? Macet?” tanya Akram penasaran. “Enggak, udah sampai kita.” “Di sini?” sentak Akram. “Kenapa, Kram?” tanya Agit heran. “Ehmmm, maksudnya di daerah sini, Pak, tempat tinggalnya?” Agit memahami keterkejutan menantunya. Ia tersenyum tipis. “Iya, Kram. Nih, samping kanan.” Akram tak bisa berkata-kata. Akan tinggal bersebrangan langsung di depan mantan kekasihnya. Apa ini lelucon? Ditambah statusnya yang sudah menjadi suami orang. “Ayo, semuanya turun,” ajak Agit. Ia membuka dashboard mobil untuk mengambil kunci. Jauh-jauh hari Agit memikirkan tentang kado yang tepat jika putrinya menikah nanti dan ini yang paling sesuai.                 Mia dan Sufi mengikuti instruksi Agit. Memiliki hunian lantai dua dengan gaya modern seperti ini jelas hal biasa untuk Mia. Ia tak begitu kaget karena pasti ayahnya ingin yang terbaik terlebih setelah ia menikah. Mia mengedarkan pandangan. Mulai malam nanti malam-malamnya akan semakin panjang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD