“Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga k*********a (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya."
***
Hening malam terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Mia yang akan
melakukan qiyamulail di kamar, tersentak saat suaminya sudah lebih dulu duduk bersila menghadap kiblat. Pria itu yang sebelumnya terlelap di lantai, tengah menengadahkan kedua tangan. Mia tak pernah mengira bahwa sebelum alarm di ponselnya berbunyi, Akram sudah mendahului.
Meski canggung berada dalam satu kamar, Mia tetap bersikap biasa. Ia tak mempermasalahkan batasan yang dijelaskan Akram. Ia sadar diri. Begitu suaminya menyadari, gegas Mia berdiri.
"Maaf," ujar Mia. Refleks ia mengatakan itu. Akram mengangguk. Ia kembali khusuk dalam munajatnya.
Ada kelegaan tak terbantahkan saat Mia berhasil keluar dari kamar itu. Meski seperti musim dingin, aksi Akram menjelang pagi ini seakan menjadi mantel penghangat bagi Mia. Meski tampak lugas menolak hubungan mereka, Akram nyatanya salah satu pemuda yang taat. Mia melengkungkan senyum. Ia tahu hanya perlu waktu untuk mereka bisa saling mengenal. Mia pun memutuskan mencari sudut khusus di rumahnya, untuk melakukan kebiasaan baik itu.
Hening malam ini tak hanya syahdu saat Mia hendak bertemu dengan pencipta lewat untaian doa. Ada haru yang turut hadir. Mia menyeka air mata. Lepas dua rakaatnya ia sadar betul akan lemahnya diri manusia. Tanpa kekuatan iman di d**a, mustahil makhluk yang paling sempurna itu bisa berdiri tegak. Segalanya berjalan sesuai ketentuan dan kehendak-Nya. Mia memantapkan hati bahwa ia sudah memiliki satu kunci ajaib untuknya meraih surga.
Dalam ilmu yang ia ketahui, keutamaan menaati suami memang begitu besar. Ia paham betul mengingat ada beberapa hadist serta nasihat yang sering ia dengar. Mia kembali merapal doa. Ia bertekad sekeras apapun Akram membuat batasan, ia tetap akan bertahan.
"Sudah?" tanya Sufi yang rupanya menemukan keberadaan Mia.
"Ibuk?"
"Kenapa di sini?"
"Mia kesiangan, Bu."
"Kesiangan? Subuh saja belum, Mia."
"Mas Akram sudah bangun duluan. Mia bahkan tidak membangunkannya." Sufi pun tersentak. Artinya Akram sudah lebih dulu melakukan salat lail.
"Beneran?" Mia mengangguk lemah. Merasa bersalah.
"Alhamdulillah, sesuai doa ibu, Nak. Kamu dapat imam yang solih. Semoga Akram senantiasa menjaganya."
Mia tersenyum tipis. Ya. Secara kasat mata suaminya memang sempurna. Solih, baik, pekerja keras. Siapa pun yang melihatnya akan menyimpulkan demikian. Namun, siapa yang mengira tepat di hari akad mereka pria itu secara lugas menolaknya sebagai istrinya.
"Ingat sabda Rosul, Nak?" Mia mengangguk kecil. “Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga k*********a (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya." Mata Sufi berbinar. Ia juga seorang istri. Paham betul tentang pesan ini.
“Tidak boleh seorang perempuan puasa (sunnat) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya.” Mia mengenal sekali hadist itu. Ia jelas paham.
"Ibnu Hajar rahimahullaah mengatakan: Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak suami lebih utama dari amalan sunnah, karena hak suami merupakan kewajiban bagi istri. Melaksanakan kewajiban harus didahulukan daripada melaksanakan amalan sunnah,” sambung Mia. Sufi mengangguk. Mia dari segi agama jauh lebih mengerti. Ia hanya mengingatkan.
"Semoga Allah melindungi pernikahan kalian."
"Makasih, Bu."
"Iya. Sekarang balik kamar. Tanyakan suamimu mau disiapkan apa."
"Baik, Bu."
Mia mengambil jeda sejenak sebelum mengetuk pintu kamarnya. Ada rasa segan terhadap suaminya. Mia pun mendorong pintu itu perlahan. Posisi Akram sudah berbeda.
"Masyaallah," ujar Mia. Ia cukup kaget saat tiba-tiba Akram sudah berada tepat di depannya.
"Kamu bisa siap-siap atau yang lainnya. Kata Bapak kemarin kalau subuh jamaah di mesjid," ungkap Akram. Mia terdiam.
Akram tak berani mengamati wajah Mia. Ia tahu bahwa paras Mia kategori sempurna bahkan melebihi Nasha. Ia sudah bertekad tidak akan membelokkannya.
"Bisa geser?"
"Ya?"
Akram pun mengulangi ucapannya. Setelah jelas terdengar oleh Mia, ia melangkah. Sementara Mia bergeming. Laki-laki ini harus ia pertahankan sampai akhir nanti.
***
Suasana rumah gedong kediaman mertuanya, sangat berbeda dengan rumah milik orantuanya. Akram melangkah santai menuruni anak tangga. Ia tahu betul tempat mana yang harus ia tuju.
"Belum azan, Kram," ujar Agit. Ia duduk santai di dapur sambil menyaksikan aktivitas istrinya.
"Nggak apa-apa, Pak. Nunggu di sini aja."
"Mia belum bangun?" tanya Agit memastikan. Harusnya putrinya juga ikut turun.
"Lagi beresin mukena, Pak. Paling nanti," jawab Akram menutupi.
"Iya biarin aja. Istri ya tugasnya gitu, Pak. Harus beberes juga," ujar Sufi. Akram dan Agit pun tersenyum.
Sejatinya berada di posisi Akram, sangatlah tidak nyaman. Ia harus terus berpura pernikahannya dengan Mia bak cerita negeri dongeng yang mengesankan. Baru hari pertama Akram menjalaninya, rasanya sudah melelahkan. Ia diharuskan menutup satu kebohongan dengan kebohongan lainnya.
***
Mia sudah berganti pakaian sebagaimana seperti paginya setiap hari. Ia akan menyiram bunga sesuai jadwal yang sudah dituliskan ibunya. Jika di rumah, halaman menjadi kawasannya. Mia tahu betul tanaman-tanaman ini memiliki arti bagi setiap orang yang tinggal di rumah gedong. Semuanya mengesankan.
Mia mengambil teko sebagai alat kerjanya kali ini. Ia belum memiliki agenda pasti mengingat masih belum tahu kemana nanti ayahnya akan mengarahkan. Namun, slentingan Pak Asep dengan ibunya sempat membuatnya berpikir macam-macam.
"Toko sepatu, Sep. Bukan toko paku." Sufi menyebutkannya saat Asep salah menerangkan dua toko itu.
Sepatu. Sejak kapan ayahnya memiliki cabang toko sepatu? Mia sudah berencana menanyakannya namun sejak tadi sang ayah lebih memilih menghabiskan waktu bersama menantunya.
"Nggak usah cemburu, Mbak. Baru juga semalem," seloroh Asep yang datang membawa pupuk.
"Apaan Kang Asep?"
"Itu dari tadi bunganya dikasih air terus. Nggak kasihan, Mbak?"
"Astaghfirulloh, salah saya, Kang," ungkap Mia. Ia tak sadar bawha air dari teko terus mengalir.
"Nggak mungkin ilang Mas Akramnya, Mbak. Santai saja. Itu lho cuma di situ sama bapak dari pagi. Kok ya, takut amat," ledek Asep. Ia senang saat ada Mia di rumah. Suasana rumah gedong menjadi lebih hangat.
"Apaan Kang Asep? Saya murni nggak sengaja ini," kelak Mia. Meski sejatinya ia merutuki kebodohannya yang diam-diam mencuri pandang ke arah Akram.
Dari posisinya Akram tahu kalau Mia diam-diam memerhatikan. Akram terus fokus menanggapi obrolan mertuanya tanpa memberi sedikitpun kesempatan untuk Mia ikut terlibat dalam pembicaraan. Pintu itu sudah ia tutup. Ia lempar kuncinya ke dasar laut. Hanya akan terbuka untuk Nasha saja.