Bab 20 : Resign

1214 Words
Akram tetap menjalani hari-hari pasca lamaran seperti biasanya. Tak ada yang istimewa. Ia tetap berangkat ke Betamart H-3 menjelang pernikahan. "Gila kamu, Kram. Nggak bilang-bilang mau nikah," tukas Rios yang baru selesai menata barang. "Tau dari mana?" "Dari emak gue. Gila malah nggak ngasih tau aku, Kram. Kebangetan!" Akram tak tertarik sama sekali dengan aduan Rios. Ia bisa saja antusias jika itu pernikahannya dengan Nasha. Ini berbeda sekali. "Kapan berangkat ke Sleman?" tanya Akram mengalihkan topik pembicaraan. Ia sendiri tidak ingin banyak yang tahu tentang rencana pernikahannya. "Lusa, Kram. Pas nikahan kamu." Akram mengangguk kecil. "Udah banyak yang handel, Yos. Nggak dateng nggak masalah." "Camen juragan santai, ya. Tinggal naik pelaminan aja," seloroh Rios. Akram memilih tak menanggapi. Ia menutup lokernya setelah memastikan tasnya berada di dalam. Satu hal yang akan membuatnya terus-terusan tak nyaman. Camen atau calon mantu juragan. Belum apa-apa Rios sudah memberinya gelar itu. Akram meski berusaha untuk tidak memikirkannya, tetap saja melintas di kepala. Ia pun mengalihkannya dengan menilik sebentar ponsel miliknya. Berharap betul pesannya untuk perempuan yang belum lama ia jumpai bisa mendapatkan balasan. Sebuah panggilan datang menyapa. "Ya, Bu?" Kamu masih kerja? "Iya, Bu. Pulang jam tiga." Nanti langsung pulang, ya. Ibu tunggu. "Iya, Bu." Panggilan terputus. Sekarang ponselnya menjadi lebih sering berdering karena panggilan dari ibunya. Satu hal yang membuatnya semakin merasa pernikahan ini menyiksa diri. "Yang sabar, Sob! Anggap bakti sama orangtua. Kapan lagi nyenengin mereka," ujar Rios sambil menepuk bahu Akram. Buru-buru Akram menghindarinya. "Dah ayo istirahat aja," tukas Akram seraya beranjak dari ruang ganti. "Astahhfirullohaladzim," pekik Akram. Ia tak tahu jika Mas Danang berdiri di gawang pintu. "Mikirin apa si, Kram. Ampe kaget gitu?" "Mas Danang nggak bilang-bilang mau masuk," kilah Akram. "Udah ditunggu noh sama orang." Rasanya kalimat itu menjadi mengerikan bagi Akram. Ia beberapa kali harus memenuhi panggilan Mas Danang dan berakhir tak menyenangkan. Terakhir tentang Nasha. "Siapa?" tanya Akram cukup ragu. "Lihat aja, lah di depan." Akram mengernyit. Jika seperti ini sudah pasti tidak sembarang orang. "Ibuku, Mas?" Mas Danang mengangguk lemah. Sejak pertama kerja di Betamart, beberapa kali Yurika memang sengaja datang mencari putranya. Bahkan menghabiskan waktu jauh lebih banyak. "Bentar ya, Mas," ucap Akram sambil berlari. Padahal ia baru akan istirahat makan siang bersama Rios tapi sudah harus didatangi ibunya. Akram berlari kecil dari ruangan itu. Melewati tempat pelayanan Betamart yang cukup ramai. Sudah ada beberapa karyawan lain tengah berjaga. Kebetulan ini jatah Akram untuk berehat. Akram pun menarik pegangan pintu dengan terburu-buru. "Ibu!" serunya. Sang Ibu tengah duduk manis di kursi yang memang disediakan untuk pengunjung di area luar. "Ada apa, Bu? Kenapa datang ke sini? Kan Akram sudah bilang pulang jam tiga," ungkap Akram. Baru saja ibunya menghubungi lewat ponsel. Yurika tersenyum. Ia hanya sedang ingin memastikan apakah putranya baik-baik saja. Ini H-3 pernikahan dan Akram belum mengajukan cuti kerja. Yurika pun mengusap wajah putranya. "Ada yang ketinggalan, Kram," ujar Yurika. "Apa, Bu? Akram kan kalau kerja nggak bawa apa-apa." Akhir-akhir ini Akram cukup berani menyangkal ucapan sang ibu terlebih setelah acara lamaran. "Surat pengunduran diri kamu, Kram. Ibu lihat masih ada di laci." Tanpa merasa bersalah Yurika mengambil surat itu dari laci meja putranya. Semalam ia menjelaskan banyak hal tentang pekerjaan dan berakhir dengan pembuatan surat pengunduran diri Akram. "Bu....," Yurika menggeleng. Keputusan resign jelas harus diambil Akram. Mengingat itu salah satu syarat yang diberikan keluarga Mia. Akram dan Mia akan langsung diarahkan untuk menjaga sebuah toko yang memang disiapkan khusus untuk mereka. "Kamu sudah setuju, Kram. Nggak bisa diubah gitu saja." "Masih ada tiga hari, Bu. Akram masih bisa di sini." Yurika menggeleng lagi. "Tiga hari nanti bisa digunakan buat persiapan. Masa iya kamu nggak peduli sama sekali." "Bu....," "Udah, udah. Ibu juga udah cerita sama Danang tadi. Kata Danang tinggal kasih suratnya aja. Nanti diproses. Besok kamu udah nggak harus kerja." Akram ingin membantah. Ingin menyangkal semua keputusan itu. Namun, saat ibunya sudah menatap dengan penuh harap ia kalah. "Kalau mau malah sekarang aja, Kram. Nanti pulang bareng ibu. Nggak harus nunggu sore." Akram menggeleng. Hari ini ia berniat dari rumah untuk mengerjakan pekerjaannya. Bukan untuk mengundurkan diri. Bahkan ia tidak mau menyerahkan surat itu. Namun, apa kata ibunya tadi? Sudah bicara dengan Mas Danang. Artinya sudah jelas kalau ia harus merelakan pekerjaan yang sedang ia tekuni. "Bu, haruskah begini?" tanya Akram untuk terakhir kalinya. Ia tak bisa melepas pekerjaannya di Betamart begitu saja. Yurika mengangguk mantap. "Harus." Rasanya ingin tenggelam ke dalam lautan terdalam. Rasanya ingin menjadi angin yang tak nampak oleh orang-orang. Buat apa memiliki raga jika tak bisa menggerakannya sesuai kehendak diri. Buat apa menjadi anak laki-laki jika harus melakukan ini itu berdasarkan titah sang ibu. Tangan Akram mengepal. Ia jangankan menentukan sendiri jodohnya. Pekerjaannya saja tidak bisa ia pertahankan. "Segera serahkan ke Danang. Ibu tunggu sore ini di rumah. Kamu ... nggak lagi jadi karyawan di sini." Yurika memandang bangunan Betamat yang tergolong besar di kota Magelang. Akram tak mampu menyangkal titah itu. Ia hanya bisa menggerakan kepala dalam bentuk anggukan yang artinya setuju atas kehendak perempuan itu. Seperti yang ia ketahui bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibunya. Akram, mau tak mau harus merelakan impiannya untuk merintis karier sendiri. Rasanya memang tidak adil sekali. Ia sudah berpura rela atas semua yang diberikan padanya. Akan tetapi semesta masih terus mendesaknya. Sebagai usaha terakhirnya selepas Yurika pergi meninggalkan Betamart, Akram menemui Mas Danang dengan membawa surat itu. "Ini bukan keinginan saya, Mas," ungkap Akram. Danang sudah mendapat pengantar dari ibunya. "Mau bagaimana lagi memang begitu alurnya, 'kan?" "Tapi, Mas. Rasanya aneh. Terlalu berlebihan." "Kakak kamu sudah kasih kabar." "Kak Dania?" Danang mengangguk. Bahkan Dania berani mengirimkan pesan untuknya demi Akram. Dania minta agar ia memberi wejangan untuk adik bungsunya. Satu permintaan yang menurut Danang cukup berat. "Sama-sama di toko, Kram, kerjanya. Nggak jauh beda." "Tapi itu toko orang, Mas," sambar Akram. "Ini juga toko orang. Malah lebih parah sejarahnya, Kram." Danang berusaha mengingatkan. Kedepan pun Akram akan terluka jika bertahan di Betamart. Hanya caranya saja yang berbeda. "Ini toko malah punyanya orangtua Hilmi, Kram. Kamu mau nanti jadi bulan-bulanan?" "Nggak ada hubungannya, Mas. Saya bisa profesional." "Iya, kamu. Tapi nggak sama Hilmi. Lagian ke depannya saya juga pindah. Mau bagaimana?" Danang sedikit menggeser posisi. Ia mengamati kaki Akram yang memang sedikit bermasalah. Akram mengikuti pandangan mata Danang. Seketika ia tersadar. "Maaf, Mas." "Bukan salah kamu, Kram. Memang faktanya begitu. Enam bulan training dan evaluasi kamu bagus. Hanya saja keluarga kamu khawatir. Nggak ada yang salah." "Harusnya saya nggak diterima ya, Mas, kalau nggak ada Mas Danang. Saya nggak layak?" Danang menggeleng. Mana tega ia membeberkan yang sebenarnya. Ia tetap menjaga perasaan Akram. "Surat pengunduran diri kamu saya proses besok. Besok, kamu nggak harus berangkat. Saya cuma bisa bantu kamu dan kakak kamu sampai di sini." Akram paham. Selama ini kakaknya Dania yang selalu menjaganya termasuk menawarkan pekerjaan di Betamart atas rekomendasi Mas Danang. Jika tidak, mungkin ia masih menganggur. Namun, mengetahui itu semua tetap saja membuat Akram mendera luka. Ia kembali diingatkan akan kenyataan. Sekuat apa pun ia berusaha dengan kakinya yang tak lagi sempurna, ia harus mengubur niat untuk tidak terlalu bergantung pada keluarganya. Ada semacam kekhawatiran yang menjalar di keluarganya. Menganggap bahwa ia harus terus didampingi meski perlahan sudah bisa menapak sendiri di dunia yang sesungguhnya. Patah hatinya karena Nasha tak seberapa dibandingkan patahnya impian yang ia punya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD