Bab 22 : Pesan Terakhir

1092 Words
H-2 pernikahan atau tepatnya satu hari setelah Akram keluar dari Betamart, ia menyempatkan diri berjalan-jalan untuk mencari udara segar. Ia yang sudah menjadi pengangguran karena telah resign dari tempat kerjanya tak tentu arah harus melakukan apa. Hingga sebuah pesan singkat mendarat di ponselnya, Akram akhirnya memiliki satu tujuan. [Jam setengah satu di tempat biasa.] Akram mengucek mata. Ini jelas nomor Nasha yang masih ia simpan dengan nama kontak sama. Akram pun memusatkan pandangan. Gegas ia membalas pesan itu. [Oke. Meluncur.] Segera Akram mengambil motornya dan menuju tempat yang disebutkan Nasha. Memenuhi panggilan gadis itu menjadi prioritasnya. Seperti biasa Akram melewati rute utama jalan besar. Ia tidak mengambil jalan pintas karena kebetulan sedang berada di area Armada Town Squer. Akram melaju dengan motor kesayangannya. Terminal Kota Magelang menjadi saksi bagaimana Akram dan Nasha kerap mencuri temu. Biasanya gadis itu akan menunggu Akram sebelum mereka berangkat ke Semarang. Sesuatu yang lucu dan terasa cukup aneh. Namun, mereka senang melakukannya. Hati Akram kian berdebar saat tampak jelas gerbang kedatangan bus bus besar juga kendaraan lainnya. Akram sudah sangat paham harus parkir di mana. Nasha yang memang mengambil waktu cukup lama di jeda kegiatan kampus memainkan ponselnya. Sejak semalam hatinya tak menentu begitu mendapati pesan yang disebar di grup WA alumni. Ia tak menyangka bahwa kabar semacam itu justru ia dengar dari orang lain. "Akram," lirih Nasha begitu pria seusianya itu turun dari motor dan berjalan ke arahnya. "Mau balik?" tanya Akram. Ia bersikap seperti biasa. Nasha mengangguk. Saat itu juga rasanya ia ingin menghambur ke pelukan Akram sekaligus mengadukan apa yang ia rasakan. Namun, jelas ia tak bisa mengingat di mana posisi mereka. "Ada apa?" tanya Akram memahami sesuatu yang berbeda pada diri Nasha. Gadis itu tampak berkaca-kaca bola matanya. "Kamu jahat, Kram," ungkap Nasha. Ia tak lagi bisa menahan untuk tidak jujur pada Akram. "Jahat?" "Kenapa nggak bilang kalau kamu dijodohin? Dari awal kamu udah tahu semua?" Deg! Jantung Akram seakan diremas. Tepat siang ini Nasha mengetahui berita itu entah siapa yang meberitahu. Akram sejak awal memang akan merahasiakaannya. "Dari awal kita hubungan ternyata kamu udah ada jodohnya, Kram? Terus kamu minta putus waktu itu karena ini? Karena kamu bakal nikah sama cewek lain?" Nasha memberondong Akram dengan berbagai pertanyaan dan Akram sendiri hanya bisa terdiam. "Kamu udah punya calon, Kram? Dan kamu seenak sendiri jalan sama aku? Apa maksudnya, Kram?" Kali ini tampak pasti Nasha menyangsikan sikap Akram. "Kamu tahu dari mana?" "Apanya, Kram?" "Pernikahanku kamu tahu dari mana?" tanya Akram. Ia tak mau Nasha tahu meski itu mustahil dengan kondisi mereka. "Nggak penting dari mananya. Berarti benar kamu mau nikah?" tanya Nasha. Rasanya tak pasti mengetahui fakta itu. Mulut Akram seakan terkunci. Ia meraup wajahnya kasar. Sungguh pertanyaan yang paling ia hindari selama ini. Nasha menggeleng. Ia memilih mendudukan diri di tempat biasa. Menutup wajahnya guna menghalau air mata. "Maaf," lirih Akram. Nasha terus menggeleng. Ia menangis karena rupanya sejak awal takdir mereka sudah sangat berbeda. Buat apa ia bertahan dan malah merasa memiliki beban berat karena hubungan itu. Nasha pun mendongak. "Kapan? Beneran lusa?" Akram tak mampu berkata-kata. Tatapannya terpaku pada mata Nasha yang basah. Sungguh ia tak bermaksud menyakiti gadis itu. Ucapan Hilmi saat di Betamart terlintas. Nasha menangis sepanjang malam pasca perpisahan mereka. Kali ini Akram menyaksikannya. "Lusa," jawab Akram. "Itu kenyataan, Kram?" Akram mengangguk. Semua sudah direncanakan bahkan mungkin jauh-jauh hari sebelum ia dilahirkan. Nasha membuang muka. Ia sadar tak akan kuat menatap sosok yang sama yang jelas-jelas tak akan bisa lagi ia miliki. "Kamu baru mau balik, Sha?" tanya Akram mengalihkan topik pembicaraan. Baginya pernikahannya dengan Mia bukan hal yang perlu dibicarakan. Nasha mengangguk. Ia memang sedang tidak ada kegiatan di kampus. Ia juga sengaja berlama-lama di rumah. Berharap ada panggilan atau pesan dari Akram. Ia terlalu gengsi untuk memulainya lagi. "Mau aku antar?" tawar Akram. Ia paham betul apa yang perlu ia lakukan. Nasha menggeleng. Ia sudah ada janji dengan orang lain. Ia hanya akan memastikan apakah kabar berita itu benar atau hanya bualan belaka. Akram mendesah halus. Harusnya Nasha yang akan dipersuntingnya. Harusnya gadis ini yang nanti ia ajak hidup bersama. Bukan gadis entah berantah yang muasalnya saja ia tak paham. "Kalau begitu selamat, Kram. Semoga kamu bahagia," tukas Nasha. Meski berat ia wajib mendoakan yang terbaik untuk Akram. "Mulai hari ini aku hanya mau pastiin kalau hubungan kita emang udah berakhir. Terlepas apa pun yang terjadi sebelumnya. Permintaan putus dari kamu aku terima, Kram. Kita ... emang udah nggak bisa lagi bersama. Terlalu memaksa jatuhnya." Ada getaran yang berusaha ditahan Nasha. Ia mencoba tidak terbawa suasana. "Mau aku deket sama Hilmi apa kamu yang nikah sama orang lain, hubungan kita emang nggak bisa diteruskan. Aku mau bilang makasih karena udah jadi pacar terbaik juga partner yang selalu ada." Akram menghela napas berat. Ia tak mengira Nasha akan mendoakannya. Ia juga tak tahu jika Nasha memperjelas semuanya. Akram pun mengangguk. "Selamat menempuh hidup baru, Kram," lirih Nasha. Akram tak mampu berkata-kata. Hanya anggukan yang bisa ia berikan. Faktanya ia memang akan menikah dan tak bisa membantah. Sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arah mereka. Akram yang posisinya memang menghadap ke jalan bisa dengan jelas melihat mobil itu. Sekilas ia paham siapa pemiliknya. "Dijemput?" tanya Akram ragu. "Iya. Aku dijemput Hilmi," ucap Nasha sambil menyeka air matanya. Entah apa tujuan gadis itu sebenarnya. "Hati-hati. Semoga selamat sampai tujuan." Nasha tak menjawab. Ia menatap netra Akram yang merefleksikan perasaan pria itu. Ia mengerti bahwa hanya dirinya lah yang ada di sana. "Sha!" seru Hilmi yang sudah keluar dari mobil. Kali ini ia tidak membawa supir. Nasha pun menoleh. Ia melambaikan tangan pada Hilmi. Meminta waktu sedikit lebih lama. Akram tak memedulikan kedatangan Hilmi. "I do love you," ujar Akram. Nasha menoleh lagi. Ia menggeleng kecil. Takdir mereka berkata beda. Tak akan ada lagi hubungan special seperti sebelumnya. Nasha tak menjawab. Ia belum yakin atas perasaan yang ia miliki. Demi menghindari getaran lain, Nasha meninggalkan Akram beserta semua cerita yang menjadi kenangan. *** "Kram!" Suara itu mengembalikan lamunan Akram. "Ya?" "Dari tadi ngapain sampai nggak dengar?" ujar Delia. Ia memang meneriaki adiknya. "Kakak panggil aku?" "Enggak! Manggil demit Kakak," timpal Delia kesal. Tampak jelas ekspresi wajahnya. "Gimana, Kak?" "Ditunggu Mia buat makan. Kamu mau makan nggak?" Mia. Mia. Mia. Satu nama yang akan terus Akram dengar belakangan ini. Satu nama yang kini menjadi tanggungjawabnya. "Oh, iya," jawab Akram sambil memainkan kembali ponselnya. "Kalau iya, ya, buruan!" Akram pun bangkit dari posisi duduknya. Sungguh semua urusan menjadi harus serba cepat saat Delia--kakaknya sudah terlibat. Dalam hati Akram mengumpat karena kakaknya sekarang jauh lebih mengutamakan adik iparnya dibandingkan dirinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD