Kejadian memalukan itu benar-benar menghentakkan Adam hari ini.
Bagaimana tidak, banyak sekali murid-murid yang melihat kejadian itu di lapangan. Dan kebanyakan dari mereka adalah anak-anak baru yang menginjak sekolah ini. Apa kata mereka jika mengetahui kalau di hari pertama sekolah sudah terjadi insiden yang memalukan?
Sesaat setelah kejadian itu, Gina langsung saja pergi. Enggan untuk melihat ke depan wajah Adam. Dia benar-benar tersipu malu terlihat dengan berlari dan juga bajunya kotor penuh dengan debu yang menyentuh tanah.
Di saat itulah, Adam tahu kalau kesempatannya untuk bersama dengan Gina benar-benar nihil.
Calvin yang saat itu juga ikut melihatnya tak bisa menahan tawa dan juga rasa konyol. Bocah itu benar-benar bersimpati kepada Adam karena walaupun memang kejadian itu terjadi dengan sangat memalukan, Adam benar-benar mendapatkan apa yang sudah dia lama inginkan. Yaitu mencium bibir manis dari Gina, gadis yang sudah lama ia idam-idamkan.
Padahal Adam sudah berharap kalau saat masuk ke kelas 11 ini kehidupannya akan berubah menjadi lebih cerah dan lebih baik. Namun jika setelah itu mengetahui kalau akan kejadian seperti ini, mungkin kehidupan kelam penuh dengan kesengsaraan yang dialami Adam akan terus berlanjut tanpa henti.
“... Dengan logaritma 10 akar 2. Kita harus menemukan dimana...” Guru di depan kelas berhenti berbicara.
Adam sudah berada di dalam kelas sekarang ini, dan entah kenapa pikirannya melayang-layang kemana-mana tak jelas. Dia terlalu banyak memikirkan apa yang terjadi dengan hari ini tadi dan berpikir bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Gina dengan baik dan benar.
“Calvin! Bu Ira lagi lihat ke arahmu tuh! Jangan ngelamun terus!” Bisik Nico, teman sebangku Adam yang menyikutnya dari tadi. Namun Adam tak kunjung untuk sadar kalau posisinya sedang berada di dalam masa berbahaya sekarang ini.
Adam tetap tak menghiraukan apa yang ada di sekelilingnya. Matanya melengos ke sebelah ke arah jendela yang ada di sampingnya. Dia terlalu banyak menonton film animasi jepang saat liburan sehingga menganggap kalau seseorang yang duduk di pinggir jendela adalah sosok yang begitu keren. Namun posisinya itu mengandung arti yang begitu berbahaya untuk dirinya sendiri sekarang ini.
“Adam... Silakan jawaban yang ibu telah tulis di papan ini...” Tanya Bu Ira. Guru Matematika yang kebetulan mengajar di kelas tempat Adam menetap untuk tahun ini.
Adam tak menjawab, dia masih memandang ke arah jendela dan juga melihat jatuhnya setiap daun yang berguguran dari atas pohon sampai ke tanah. Nico terus saja mencoba untuk menyikut Adam sampai tersadar. Dia tak mau jika kawan sebangkunya itu akan terkena masalah yang harus dia selesaikan dengan begitu buruk nantinya.
“Adam! Ibu ingin kamu menjawab soal ini di papan!” Bu Ira mulai berteriak. Seluruh isi kelas langsung saja menjadi begitu hening karena suara guru tersebut. Para murid pun memalingkan kepala mereka menghadap ke arah Adam sedang berada di pojok meja tersebut.
Entah memang dia sedang berada di dunia lain atau memang tertidur dengan kelopak mata terbuka, Adam masih tak membalas perkataan dari Bu Ira tersebut sekarang ini. Seluruh kelas benar-benar bingung bagaimana bisa Adam mempermainkan Bu Ira dengan semudah itu.
Tanpa basa-basi, Sang Raja telah turun dari takhtanya. Bu Ira terkenal sebagai guru yang jarang sekali untuk menghampiri murid yang nakal. Namun karena Adam telah mengganggu jalannya mata pelajaran, Bu Ira harus melakukan ini agar kelasnya bisa berjalan dengan kondusif dan lancar dengan begitu baiknya sekarang ini.
Tepat di depan bangku Adam yang sedang duduk, dia pun langsung saja bertanya secara langsung kepada anak muridnya itu sekarang ini. “Adam... Apakah kamu bisa membantu Ibu untuk mengerjakan soal itu di depan kelas sekarang ini?”
Seperti melihat seekor hantu, Adam menoleh dengan begitu kagetnya. Lehernya memelintir dengan sangat cepat layaknya stir pembalap mobil. Tubuhnya juga langsung bergetar sampai kursinya hampir lepas dari badannya sendiri sekarang ini. Adam menoleh ke seluruh kelas yang juga menoleh ke arahnya.
Adam merasa kalau dia terlihat seperti seorang maling tertangkap di tengah jalan dengan semua tatapan itu. “Baik Bu...” Jawab Adam dengan begitu pelan dengan kepala sedikit menunduk malu.
Keluar dari bangkunya, Bu Ira memandu Adam dari depan. Mengantarnya langsung ke papan tulis yang sudah tercantum begitu banyak angka, simbol, dan juga huruf-huruf prasasti majapahit yang begitu rumit tak bisa Adam pecahkan saat ini juga.
“Ibu telah membuat soal logaritma, Ibu ingin kamu menyelesaikan soal ini dengan baik dan benar beserta caranya...” Pinta Bu Ira kepada Adam.
Sambil memegang spidol warna hitam di tangannya, Adam menggaruk-garuk kepalanya sampai semua ketombe telah jatuh dan hilang dari atas turun ke bawah. Dia benar-benar kebingungan untuk memahami apa sebenarnya makna dari angka-angka ini.
Adam mencoba untuk menoleh melihat kiri, kanan, atas, bawah mencari clue atau petunjuk yang mungkin bisa dia gunakan untuk mengerjakan soal ini. Namun naasnya, tidak ada catatan atau contoh pengerjaan apa-apa yang ada di papan tulis.
Sebentar saja, Adam mencoba untuk menoleh ke belakang, bermaksud untuk mencari bantuan dari teman-temannya yang ada di sana. Mereka benar-benar diam. Tidak mengecapkan mulut atau membukanya sama sekali untuk saat ini.
Bahkan Calvin, menunduk dan tak ingin melihat ke arah Adam sekarang juga. Di saat itulah, Adam tahu kalau mungkin dia sedang berada dalam masa yang benar-benar buruk. Tanda kalau Calvin saja tidak tahu bagaimana cara untuk membantu Adam di depan saja menandakan kalau Adam memang tidak mungkin untuk bisa diselamatkan.
Karena bagaimana tidak. Sebelum Bu Ira memanggil, dia bahkan belum menjelaskan apa pun tentang teori atau bagaimana caranya menyelesaikan soal dan perkara itu. Bagaimana mungkin sosok seperti Adam yang begitu lemah terhadap matematika bisa menyelesaikan soal semacam itu untuk saat ini?
“Bagaimana Adam? Harus Ibu tunggu berapa lama agar kamu bisa menyelesaikan soal ini?” tanya Bu Ira kepada Adam meminta kejelasan. Adam sekali lagi hanya menggaruk kepalanya sekarang ini, benar-benar kebingungan dengan apa yang harus dia lakukan.
Dengan nekat, Adam mencoba untuk menjawab sekenanya. Spidol mulai dia tempelkan ke papan tulis, pikirannya masih kosong dan juga entah tak tahu harus menjawab apa-apa. Yang dia pikirkan sekarang hanyalah bagaimana caranya agar kembali ke bangkunya dan tidak menjadi sumber perhatian bagi anak-anak lain di kelas ini saat ini juga.
Adam menggores papan tulis tersebut dengan begitu lancar tanpa hambatan sama sekali. Sampai akhirnya dia selesai untuk menulis apa yang ada di sana.
“Maaf bu, saya tidak mengerti materi ini ?” Tulis adam di papan. Bocah itu pun menunjukkannya kepada semua murid yang ada di sana. Sontak, semua orang pun langsung saja tertawa dibuatnya. Mereka benar-benar tak menyangka kalau Adam benar-benar berani menulis sesuatu yang begitu konyol.
Meskipun Bu Ira adalah guru yang tergolong masih muda dan masih cantik, terlihat jelas bagaimana mukanya yang langsung naik pitam dan juga marah terhadap tulisan Adam sekarang ini. Dengan cepat Bu Ira mengambil Spidol dari Adam dan mencoba untuk menghapus kalimat yang baru saja dia tulis.
“Apa maksud kamu menulis seperti ini! Kamu pikir Ibu mengajar seperti ini karena sedang bercanda? Kamu pikir kalau kamu sekarang ini merasa begitu pintar karena telah membuat seluruh kelas tertawa akan leluconmu!” Bentak Bu Ira kepada Adam.
Seluruh kelas kembali hening tak bersuara. Adam hanya menunduk malu dan juga ketakutan. Dia tahu dia memang salah, namun dia juga tidak memiliki apa-apa yang dia bisa lakukan untuk menjawab soal tadi.
“Maaf Bu. Saya memang salah. Namun saya benar-benar tak mengerti bagaimana cara mengerjakannya”.
“Kalau kamu tidak mengerti, seharusnya kamu duduk diam di sana melihat ke arah ibu dan berkonsentrasi! Bukannya malah melamun dan tidak mengacuhkan Ibu seperti tadi! Kamu tahu tidak! Gara-gara kamu waktu ibu terkuras dan habis secara sia-sia sekarang ini! Seharusnya kita sudah selesai belajar tentang logaritma, tapi kamu malah berbuat sesuatu yang merugikan teman sekelas kamu sendiri!” Teriak dan juga hentak Bu Ira
Adam masih melihat ke bawah, dia tidak tahu harus membalas atau berucap apa untuk sekarang ini. Saat dia menoleh sebentar ke arah teman-temannya yang sedang duduk, mereka benar-benar hening dan tak bisa mengatakan apa-apa. Ketakutan dan ketegangan memenuhi kelas ini sekarang.
“Baiklah kalau begitu, sebagai hukuman. Kamu harus mengerjakan seluruh soal tentang logaritma yang ada di buku paket sekarang ini dengan benar. Dan kamu, harus mengumpulkannya minggu depan. Tapi jika ada satu saja jawaban yang salah, maka kamu harus berganti soal materi baru dan mengerjakannya lagi satu minggu ke depan. Mengerti!” Ucap Bu Ira kepada Adam saat itu juga.
Bocah itu akhirnya berani memandang ke arah Bu Ira, walaupun tak berani menatap matanya. Dia hanya mengangguk setuju dengan hukuman yang guru tersebut berikan kepadanya sekarang ini.
“Sekarang kembali duduk di bangku kamu. Dan dengarkan Ibu saat menjelaskan materi ini, mengerti!” Ucap Bu Ira dengan tegas. Dengan buru-buru, Adam pun langsung saja duduk di bangku yang dia duduki tadi dengan tenang dan tak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Nico memperhatikan Adam yang tengah sibuk menata kursi untuk dia duduki saat ini juga, dan Adam yang menyadarinya langsung saja mencoba untuk bertanya, “Ada apa?”
Tidak mau terkena masalah seperti Adam. Nico hanya diam tak menjawab apa-apa dengan pertanyaan tersebut. Dia menghadap ke depan berusaha untuk menghindari masalah seperti tadi.
Kurang lebih sudah sekitar 30 menit waktu berlalu. Materi Logaritma memang belum dijelaskan sampai dengan selesai. Dan ternyata anak-anak yang lain masih belum paham betul bagaimana cara menjelaskan materi tersebut sekarang ini. Dengan situasi tersebut, Adam merasa kalau dia berada di masa yang terpuruk sekarang ini. Dia seharusnya meminta bantuan teman-temannya untuk mengerjakan soal hukuman itu pun pupus sudah harapan besarnya.
Setelah bel berbunyi dan juga Bu Ira keluar dari kelas, anak laki-laki buru-buru berusaha untuk menghampiri Adam dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadanya tadi. Benar-benar sesak dan Adam merasa kalau dirinya itu seperti seorang tahanan yang sudah berhasil bebas dari penjara.
“Kau benar-benar gila Adam berani untuk menulis sesuatu seperti itu. Kalau aku, mungkin jantungku copot duluan karena tak berani sama sekali.” Sahut salah satu teman laki-lakinya
“Kalau aku mungkin lebih memilih menulis angka-angka acak daripada mempermainkan Bu Ira seperti tadi...”
“Ya aku juga. Mungkin kau memang satu-satunya anak yang paling berani dengan Bu Ira seperti tadi...”
Mendengar semua sanjungan itu dari teman-temannya, entah kenapa Adam malah merasa kalau dirinya menjadi orang yang paling keren di kelas ini. Adam seperti seorang pahlawan karena berani bertindak untuk melawan penindasan dan juga ke tidak adilan yang disebabkan oleh Bu Ira kepada kelas ini.
“Hehehe... jangan khawatir. Aku melakukan itu semua karena aku memang sengaja. Aku bisa saja mengerjakan soal itu dengan mudah. Namun peranku untuk maju di depan kelas tadi adalah agar Bu Ira bisa menunjukkan kalau aku adalah siswa yang bodoh bukan? Aku hanya mengikuti bagaimana alur yang dia inginkan dan memainkannya sedikit...” Jawab Adam mulai berlebihan.
Calvin kemudian datang dari dalam kerumunan itu sambil membawa buku paket matematika kelas XI yang sangat tebal untuk dibawa. “Simpan takabur dan rasa sombongmu itu. Lihatlah dulu apa yang akan menantimu nantinya...” Jawab Calvin dengan rasa yang begitu panik.
Buku yang baru dan masih terasa aroma kertas benar-benar unik itu sekarang dibuka perlahan-lahan oleh Calvin. Dia menunjukkan halaman dimana kumpulan soal yang harus dikerjakan oleh Adam nantinya. Dan walaupun sekejap, mata anak-anak itu melongo karena tak menyangka akan seperti ini jadinya.
Terdiri dari 30 halaman buku, kurang lebih ada sekitar 15 soal yang harus dikerjakan oleh Adam satu minggu ke depan. Dan soal-soal itu bukanlah soal yang mudah untuk dikerjakan. Soal tadi benar-benar soal yang membutuhkan ketelitian, dan juga cara-cara yang begitu unik dalam setiap permasalahannya.
“Apa kau yakin bisa mengerjakan semua soal ini dalam waktu satu minggu! Ingatlah! Tidak ada yang bisa mengerjakan soal Logaritma di kelas ini karena kita semua tidak memahaminya! Apa kau, Adam Wardana, bisa mengerjakan semua soal itu dengan tepat waktu dan juga hasil yang memuaskan?”
Adam meneguk air ludahnya sendiri. Dia sudah terlanjur sombong kepada semua orang di depannya itu sekarang ini. Dan dia, tidak mungkin mencoba untuk mematahkan semua semangat mereka dengan begitu buruknya.
Tatapan teman-temannya itu berganti dari tatapan kagum dan juga terpesona menjadi tatapan belas kasih dan juga penuh empati. Hukuman yang ditimpa oleh Adam serasa hukuman neraka tingkat ke 7 dalam dunia sekolah.
“Apa maksudmu Calvin? Aku menulis kalimat di papan tulis tadi hanya sebagai sebuah sandiwara yang aku mainkan saja. Mana mungkin aku kebingungan dan juga tidak bisa menjawab soal semudah itu?”
Adam mengucapkannya dengan keringat dingin. Secara serentak, teman-teman laki-laki di kelasnya yang kurang lebih berjumlah 13 orang itu memegang pundak Adam dan berkata. “Senang bertemu denganmu kawan, semoga kau tenang di alam sana...