30. DIA INGAT

3087 Words
Gelora Bung Karno... Di malam yang tenang dengan ditemani oleh suara guyuran air hujan, Dokter Nick duduk di kursi kerjanya sembari memikirkan tentang perkataan Jenderal Dipa sebelum ini. Jenderal Dipa yang baru saja bertemu dengan Zyn yang memiliki kemampuan khusus, langsung memberitahukannya pada Dokter Nick. Ditemani oleh Adipati dan juga Nando yang ikut melihat sendiri kemampuan khusus tersebut, membuat Dokter Nick terus memikirkannya hingga sekarang. "Di saat umat manusia mulai ada harapan dengan hadirnya sosok Genesis, para Zyn malah kembali bermutasi dan sekarang beberapa dari mereka memiliki kekuatan khusus." "Jika kami hanya memiliki Adipati dan Nando sebagai Genesis di sini, maka itu tidak akan cukup. Tempat ini butuh lebih banyak Genesis lagi. Karena aku yakin, senjata saja tidak akan cukup untuk melawan mereka." Di jam yang hampir memasuki waktu tengah malam itu, Dokter Nick kembali meneguk secangkir kopi yang ia buat. Entah mengapa ia sangat butuh asupan kafein yang sangat banyak sekarang. Saat ia tengah meneguk kopinya, sebuah suara tiba-tiba saja mengagetkannya. "Tumben sekali kamu minum kopi di jam-jam larut seperti ini?" Dokter Nick seketika mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan lalu didapatilah sosok Jenderal Dipa tengah berdiri di sana sambil tersenyum menatapnya. Pria yang biasanya mengenakan seragam dinasnya, kini sedang mengenakan pakaian santainya. "Heum, hanya ingin saja," ucap Dokter Nick. Jenderal Dipa kemudian berjalan mendekati Dokter Nick. Ia menarik kursi yang ada di depan meja kerja sahabatnya itu dan lalu mendudukinya. "Kamu sedang melakukan tugas jaga malam?" tanya Dokter Nick. Jenderal Dipa mengangguk sebagai jawaban sembari masih mempertahankan senyumnya. Ia kelihatan lelah, tapi ia tetap tersenyum karena senang melihat sahabatnya. Dokter Nick yang melihat Jenderal Dipa terus tersenyum sembari menatapnya, merasa aneh dan kebingungan. "Kenapa? Apa ada yang aneh?" tanya Dokter Nick. "Kenapa apanya?" tanya balik Jenderal Dipa. "Itu, kamu tersenyum seperti itu kepadaku," jawab Dokter Nick. Jenderal Dipa pun tertawa kecil, dan baru setelahnya ia menjawab pertanyaan Dokter Nick sebelumnya. "Aku hanya senang karena kamu terus bersamaku sampai saat ini," kata Jenderal Dipa. Dan seketika Dokter Nick pun ikut melebarkan senyumnya. Sama seperti Jenderal Dipa, ia juga merasa senang karena sahabatnya itu terus bersama dengannya bahkan di saat-saat yang sangat tidak memungkinkan seperti ini. "Aku juga senang ada kamu yang selalu bersamaku. Aku benar-benar bersyukur," ucap Dokter Nick. Keduanya akhirnya saling tatap sembari melemparkan senyum. Setiap pertemuan yang mereka berdua lakukan selalu saja bisa membuat keadaan keduanya menjadi jauh lebih baik. Rasa lelah, stres dan kacau, seketika berkurang ketika dua insan itu saling bertemu. Tanpa sadar, Dokter Nick jadi sedikit melupakan tentang Zyn yang memiliki kemampuan khusus itu. Kini fokusnya hanya pada Jenderal Dipa yang ada di depannya. "Buatkan aku kopi juga, aku mulai sedikit mengantuk," pinta Jenderal Dipa. Dokter Nick pun mengangguk dan lalu bangkit dari kursi kerjanya. Ia berjalan menuju tempat ia meletakkan kopi dan juga air untuk menyeduhnya. Ia akan membuatkan secangkir kopi spesial untuk sahabatnya itu. *** Taman kanak-kanak... Rakha baru saja selesai mandi di tengah malam yang dingin ini. Untung saja pasokan listrik dan air di tempat itu masih tersedia. Namun, ia dan yang lainnya tidak tahu kapan pasokan listrik akan habis. Jika sampai listrik di tempat itu mati, otomatis mereka tidak akan mendapatkan sumber air dan mau tidak mau mereka harus berkeliling untuk mencari sumber listrik yang baru. Dengan baju seadanya yang ada di tempat itu, Rakha mengganti pakaiannya. Sembari mengenakan baju dan juga celana, Rakha memikirkan tentang stok persediaan barang yang ada di tempat itu. "Jika dihitung-hitung, stok makanan kami semakin lama semakin menipis. Selain itu, kami juga perlu menyetok obat, pakaian dan bahkan senjata agar bisa bertahan hidup lebih lama di sini." Rakha bermonolog. "Dan jika nanti kami sudah membawa orang-orang yang selamat untuk berlindung di tempat ini, maka otomatis jumlah kebutuhan kami pun akan semakin bertambah. Aku pun juga harus mencari sumber listrik yang baru agar tempat ini bisa terus beroperasi dengan baik. Benar-benar sebuah perjuangan yang berat." Rakha mengembuskan napasnya. Ketika ia sudah selesai mengenakan pakaiannya, ia pun berjalan ke tempat biasa ia dan teman-temannya beristirahat. Ia lelah dan ingin segera tidur. Urusan apa yang ia pikirkan tadi akan ia bicarakan besok bersama dengan teman-temannya. Namun, ketika ia baru saja ingin memejamkan kedua matanya, ia tanpa sengaja melirik ke arah Zain yang sedang tertidur. Dan seketika ia memiliki sebuah ide yang brilian. "Kekuatan Zain adalah listrik, itu berarti tempat ini memiliki pasokan listrik yang tidak terbatas," batin Rakha dan lalu melebarkan senyumnya. "Akan aku meminta Zain untuk mengisi daya listrik yang ada di tempat ini secara berkala agar listrik di tempat ini bisa terus menyala." Dengan perasaan lega karena satu masalahnya telah teratasi, Rakha pun mulai memejamkan kedua matanya. Dan tak butuh waktu lama, Rakha yang kelelahan langsung tertidur dengan pulas. Sementara itu di tempat Ega dan Qyan berada, keduanya kini sedang kebagian jadwal untuk berjaga malam. Mereka kembali membuat sistem jaga malam setelah musibah Zyn waktu itu. Mereka tidak ingin tempat berlindung mereka ini kebobolan seperti kemarin. "Kamu mengantuk?" tanya Qyan pada Ega. Ia sejak tadi melihat Ega terus menguap tanda kalau pemuda itu tengah mengantuk. "Tidurlah, biar aku sendirian yang berjaga," ucap Qyan. Ega menggeleng dan lalu melebarkan senyumnya. "Tidak, aku tidak mengantuk. Aku hanya kekurangan oksigen di otakku," kata Ega dan lalu kembali fokus memandangi hujan yang sedang turun. Walaupun tersenyum dan berkata tidak mengantuk, tapi wajah Ega berkata kalau ia sangat kelelahan. "Tidurlah, aku tidak ingin kamu sakit," pinta Qyan. Ia yang sudah berteman lama dengan Ega, kini sangat mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu. "Tidak apa, aku baik-baik saja. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku." Ega tetap pada pendiriannya untuk berjaga bersama Qyan. Karena Ega terus bersikeras untuk melanjutkan tugasnya, maka Qyan dengan baik hati membuatkan kopi untuknya. Mungkin saja dengan secangkir kopi, kondisi pemuda itu akan kembali segar. "Akan aku buatkan kopi untukmu," kata Qyan dan lalu beranjak pergi dari tempat itu. Ega yang mendapat perhatian sebaik itu dari Qyan, hanya bisa menyunggingkan senyumnya tanda ia sangat berterima kasih. Kini di tempat itu hanya ada Ega seorang diri. Tempat itu selalu menjadi pos utama bagi mereka yang bertugas berjaga malam karena posisinya yang tepat menghadap ke arah depan gerbang taman kanak-kanak. Siapa pun yang berjaga pasti bisa melihat siapa pun yang datang, entah itu orang yang selamat maupun Zyn. Beberapa menit setelah perginya Qyan, semuanya terasa tenang dan sunyi. Tidak ada suatu hal yang gawat yang terjadi di sana. Ega bahkan bisa sedikit meregangkan tubuhnya yang terasa pegal sembari menguap dengan cukup lebar. Namun beberapa saat kemudian, samar-samar ia mendengar suara seorang perempuan yang sedang berteriak meminta tolong. "Apa aku salah dengar?" ucap Ega. Ia lalu menajamkan pendengarannya, berusaha menangkap suara samar-samar yang ia dengar tadi. "Tolong! Tolong kami!!" Dan suara teriakan yang pelan itu pun terdengar olehnya. Perempuan yang berteriak meminta tolong itu sepertinya berada dekat dengan tempatnya berada saat ini. Karena merasa keadaan ini adalah keadaan yang sangat genting dan setiap detik waktu yang terbuang adalah sebuah kesempatan, Ega pun memutuskan untuk langsung menghampiri sumber suara seorang diri. Dengan berbekal pistol Glock 26 di tangannya, Ega melompat dari lantai dua dan mendarat dengan sempurna di atas tanah. "Tunggu aku. Aku akan segera ke sana!" ucap Ega dalam hati. Di sebuah jalan yang begitu gelap, dua orang gadis dengan tubuh yang bersimbah darah dan penuh luka, tengah berjalan tergopoh-gopoh menghindari sesuatu yang tampaknya membahayakan nyawa mereka. Darah keduanya menggenang di air becekan hujan di sepanjang jalan yang mereka lalui. "Bertahanlah, Vivi. Kita pasti akan selamat," ucap seorang gadis yang membantu temannya berjalan. "Tinggalkan aku ... Mery ... a-aku hanya akan menjadi beban buatmu," kata gadis bernama Vivi. Kaki sebelah kirinya dalam keadaan terkoyak dan putus. Luka parah itu pasti disebabkan oleh Zyn yang ingin memangsa keduanya. "Tidak! Kita harus selamat bersama!" kata gadis bernama Mery kekeh. Sama seperti Vivi, Mery juga memiliki luka yang sangat parah di bagian dadanya. Darah segar pun terus mengalir dari lukanya yang menganga tanpa sedikit pun mau berhenti. "Terima kasih." Vivi menangis terharu dan lalu berusaha untuk mempercepat langkahnya dengan kakinya yang tinggal sebelah. Keduanya terus berjalan secepat yang mereka bisa, dan ketika mereka sampai di sebuah persimpangan jalan, sosok bertubuh besar, bertanduk kerbau dengan tubuh yang berwarna merah darah, melompat di atas mereka. Sosok itu mencegat Mery dan juga Vivi yang tengah berusaha untuk kabur. "La ... par," ucap Zyn bertubuh merah. Ternyata, sosok Zyn itu adalah Alan. Dialah yang mengejar kedua gadis malang itu untuk ia santap. Kini, Alan menatap Mery dan juga Vivi sembari menyeringai, sedangkan kedua gadis yang ketakutan itu berpelukan dengan sangat erat dan saling menguatkan diri mereka masing-masing. Sampai akhirnya, Vivi yang kembali merasa kalau dirinya adalah beban, meminta pada Mery untuk pergi meninggalkannya. "M-m-ery ... tinggalkan ... a-aku ...," ucap Vivi. "Aku akan ... mengalihkannya ...." Mery menggeleng, ia masih kekeh ingin selamat berdua, bersama dengan Vivi. "T-tidak ... k-kita akan tetap bersama," ucap Mery. Keduanya sangat ketakutan, tubuh mereka sangat gemetaran, mereka tidak bisa kabur lagi dengan keadaan tubuh yang seperti itu. Alan yang mendominasi keadaan, kini mulai berjalan mendekati keduanya. Air liurnya menetes saking nafsunya ia melihat sosok Mery dan juga Vivi yang ada di depan sana. Dan ketika ia mempercepat langkahnya, sebuah tembakan tiba-tiba saja tepat mengenai pipi sebelah kanannya. Ia pun berteriak kesakitan sembari memegangi wajahnya yang terasa ngilu. Di saat Mery dan Vivi terkejut dengan apa yang terjadi pada Zyn yang ada di depan mereka, sosok Ega datang dan lalu meminta keduanya untuk segera pergi menjauh dari sana. "Kalian, pergilah dari sana!" teriak Ega. Dengan sigap, Mery membantu Vivi agar berjalan lebih cepat. Mereka berdua berjalan menghampiri Ega yang kini mulai bersiap untuk melepaskan tembakan keduanya. "Rasakan ini makhluk jelek!" DOR!! Tembakan keduanya tepat mengenai kening Alan, dan karena hal itu, Alan menjadi kesal dan mulai mengamuk. "Celaka," batin Ega. Alan yang sudah menyembuhkan luka tembakan di wajah dan juga kepalanya, kini bersiap untuk menyerang Ega. "Terus jalan!" kata Ega. "Ikuti terus jalan lurus ini, maka kalian akan sampai di sebuah sekolah taman kanak-kanak. Di sana ada rekan-rekanku yang akan membantu kalian!" "Bagaimana denganmu?" tanya Mery. "Aku akan mengalihkan perhatiannya," jawab Ega. "Tapi--" "Tidak usah memikirkanku! Aku akan baik-baik saja!" Mery pun mengangguk dan lalu kembali membopong Vivi untuk segera pergi dari tempat itu. Setelah kepergian kedua gadis itu, Ega pun bersiap untuk menghadapi Alan yang kini sudah mulai bergerak untuk menyerangnya. Dengan sekali sentakan kaki, Alan berlari dengan sangat cepat untuk meraih tubuh Ega. Namun, ketika tangan besar dan bercakar tajam itu mau menyentuh tubuh Ega, tangan itu malah menembusnya dan kini membuat Alan jadi berjalan menembus tubuh Ega. "Rasakan ini!" ucap Ega. DOR! Satu tembakan tepat mengenai kepala bagian belakang Alan. "RAAARRGH!!" pekik Alan marah. Ia kemudian kembali menyerang dengan mencakar Ega. Tapi lagi-lagi, cakarnya itu dengan ringan menembus tubuh Ega. Kekuatan super yang Ega miliki benar-benar membuat pemuda itu jadi tidak dapat disentuh. "Latihan yang Rakha sarankan ternyata benar-benar berguna. Aku jadi lancar menggunakan kekuatan superku ini," batin Ega. Keduanya pun terus bertarung dengan sengit di bawah guyuran hujan. Alan yang marah terus menyerang Ega yang mana tubuhnya sama sekali tidak bisa ia sentuh, sedangkan Ega yang masih belum tahu kalau Zyn itu adalah sahabatnya, Alan, sesekali melepaskan tembakannya ke arah Alan saat monster bertanduk kerbau itu lengah. Namun, setiap serangan yang ia berikan sama sekali tidak berdampak apa-apa pada Alan. Sementara itu di tempat pos penjaga, Qyan yang sudah selesai membuatkan kopi untuk Ega sekaligus membawa beberapa camilan untuk mereka berdua, merasa terheran-heran karena Ega sudah tidak ada di tempatnya. "Ega?" Ia menaruh kopi dan camilannya di atas meja dan lalu mulai mencari keberadaan Ega. "Ega?! Di mana kamu?!" panggil Qyan. Ia terus memanggil sebanyak beberapa kali, namun sosok Ega tidak kunjung muncul. Firasat buruk pun akhirnya menghinggapinya. "Jangan-jangan ...." Karena merasa panik, ia pun berniat untuk membangunkan Rakha dan juga Karin. Tapi ketika ia baru saja mau beranjak pergi dari tempat itu, teriakan minta tolong pun terdengar. "Tolong! Tolong kami!" Qyan pun mengalihkan pandangannya ke arah pintu gerbang taman kanak-kanak dan terlihatlah sosok Mery dan juga Vivi di sana. Dengan sigap Qyan turun dan lalu menghampiri keduanya. Ia menatap ngeri ke arah dua gadis itu yang mana luka di tubuh mereka terlihat sangat parah. "Apa yang terjadi?" tanya Qyan. "Kami diserang monster," jawab Mery. "Tapi untungnya temanmu datang menolong kami," tambahnya. Seketika Qyan melebarkan kedua matanya. Ia yakin, teman yang Mery maksud pastilah Ega. Kemudian Qyan pun menolong keduanya terlebih dahulu. Ia membawa keduanya masuk ke dalam untuk segera diberi penanganan dan barulah setelah itu, ia akan pergi menolong Ega. Di tempat Ega berada, pemuda yang sedari tadi berhasil lolos dari serangan Alan berkat kekuatan supernya, kini mulai merasa kelelahan. Ia tidak bisa secara terus menerus menggunakan kekuatan supernya seperti itu. "Celaka, aku mulai kelelahan," batin Ega. Sampai akhirnya, ia pun kehilangan fokus atas kekuatannya, menyebabkan ia jadi terkena salah satu serangan Alan. Ekor Alan yang besar dan panjang berhasil menghempaskan tubuh Ega hingga terpental beberapa meter dan jatuh tepat di kubangan air yang berlumpur. Ega langsung mengerang kesakitan sembari memegangi punggungnya yang terasa sangat nyeri. Melihat Ega berhasil ia sentuh, Alan dengan sigap menghampiri Ega dan lalu berniat untuk menghabisinya. Namun, ketika Alan baru saja mau menancapkan cakar-cakar tajamnya ke tubuh Ega, Rakha dengan kemampuan teleportasinya muncul secara tiba-tiba di depan Alan dan lalu menusuk bagian hatinya menggunakan batangan besi yang ia bawa-bawa sejak pertama kali ia melawan Zyn. "Jangan sakiti temanku!" ucap Rakha. Ia lalu menteleportasikan dirinya dan juga Alan agar sedikit menjauh dari tempat Ega berada. Qyan yang datang bersama dengan Rakha, kini membantu Ega untuk berdiri. Sahabatnya itu terlihat begitu kesakitan. "Bertahanlah, setelah ini kita obati lukamu," kata Qyan. "Iya," balas Ega. Ketika keduanya masih saling tatap, Rakha tiba-tiba saja tersungkur tepat di samping mereka. Ia dilempar oleh Alan yang sebelumnya ia lawan. "Argh," erang Rakha kesakitan. "Kamu tidak apa-apa, Kha?" tanya Qyan. Bukannya menjawab, Rakha malah berteriak. "Awas!" Ia kemudian mendorong Qyan dan juga Ega dengan sekuat tenaga hingga keduanya jatuh tersungkur. Tepat setelah ketiganya bergeser, batangan besi yang Rakha gunakan sebagai senjata, mendarat tepat di tempat mereka sebelumnya berada. Alanlah yang melemparnya. "Hampir saja," batin Rakha. Ia kemudian mencabut batangan besinya dan lalu bersiap untuk kembali melakukan serangan. Zyn yang ia lawan kali ini jauh lebih kuat dan jauh lebih tangguh ketimbang Zyn yang ia kalahkan sebelumnya. "Aku harus mencari cara untuk menumbangkannya," batin Rakha. Di tengah keadaan tubuhnya yang sedikit cedera karena serangan Alan sebelumnya, ia pun mencoba untuk menyusun sebuah rencana. Namun, saat ia baru saja mulai memikirkan langkah awal yang akan ia ambil, Qyan dengan gegabah maju dan menggunakan kekuatan supernya. "Rasakan ini!" teriak Qyan. Energi peledak yang berasal dari kekuatan pikirannya, melesat ke arah Alan. Ia yang sudah bisa menargetkan target dengan benar, kini merasa yakin dapat mengalahkan Alan yang ada di depannya. Tapi ia salah. Dengan mudahnya, Alan menghindari serangan Qyan. Serangan yang meleset itu akhirnya meledak dan menghancurkan aspal. "Sial!" batin Qyan dan lalu mencoba untuk melepaskan tembakannya lagi. Rakha yang melihat Qyan menyerang tanpa rencana dan terkesan gegabah, lantas mencoba untuk menghentikannya. "Qyan, berhenti!!" teriak Rakha. Namun Qyan mengabaikannya dan malah terus melepaskan serangan ke arah Alan. DHUAR!! JEGEER!! BOOOM!! Serangan-serangan Qyan terus meleset dan membuat berantakan tempat itu. Dan ketika Qyan ingin kembali menembakkan energi peledaknya, Alan dengan cepat mengambil batu berukuran sedang yang tergeletak di jalanan dan lalu melemparkannya ke arah Qyan. Lemparannya pun tepat mengenai kepala Qyan. "Argh!" Qyan memegangi keningnya yang kini mengeluarkan darah. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Ega khawatir. "Ya, aku baik-baik saja. Tapi, aku tidak bisa menggunakan kekuatan superku," ucap Qyan. Karena kekuatan supernya berasal dari pikiran dan kini kepalanya sedang terluka, maka ia tidak bisa menggunakan kekuatan supernya untuk saat ini. Di tempatnya, Alan menyeringai. Ia merasa puas karena berhasil menyerang Qyan. Dan sesaat kemudian, ia berlari dengan sangat cepat ke arah Rakha, Ega dan juga Qyan. Ia ingin segera mengakhiri semuanya. Rakha yang tidak bisa kabur karena takut monster itu akan menuju ke tempat perlindungan mereka, lantas bersiap untuk kembali melawan. "Bisa! Aku pasti bisa!" ucap Rakha dalam hati. Kedua mata Rakha berubah menjadi biru. Dengan penuh keberanian, ia berteleportasi ke belakang Alan dan lalu dengan kekuatan penuhnya, ia menghujamkan batangan besi tajamnya ke tengkuk Alan. Namun, tepat beberapa senti saat batangan besi itu mau menusuk tengkuk Alan, Alan dengan cepat berputar dan sikunya yang keras itu mengenai rusuk Rakha. Pemuda malang itu pun terpental cukup jauh dengan cedera parah yang tertinggal di tubuhnya. "Rakha!" teriak Ega. Ketika ia masih mengkhawatirkan sosok Rakha yang berada beberapa meter di depan sana, Alan sudah bergerak ke sebelahnya dan lalu meninju Qyan hingga pemuda itu terpental beberapa meter ke belakang. Ega yang mengalihkan perhatiannya pada Qyan, dengan cepat dicekik oleh Alan hingga tubuhnya terangkat sampai ke atas. Ia pun berusaha untuk melepaskan cekikan Alan. Tapi semuanya sia-sia karena Alan begitu kuat. "Sepertinya ... ini adalah akhir dari hidupku," batin Ega. Ketika Alan mengangkat tangan yang satunya dan berniat untuk menembus d**a Ega dengan cakarnya yang tajam itu, tanpa sengaja mata keduanya saling bertemu. Ega yang saat itu sudah sangat pasrah, seketika merasakan perasaan yang sangat aneh saat ia menatap kedua mata Alan. "Kenapa ... aku seperti mengenalnya ...," batin Ega. Di bawah guyuran hujan, ia seperti mengenal sosok Zyn yang ada di hadapannya saat ini. Anehnya lagi, Alan yang sangat beringas dan ingin segera menghabisi nyawa Ega, tiba-tiba saja terdiam sembari memandangi Ega lekat-lekat. Ia seperti tengah tersadar dari suatu hal. Dan tiba-tiba saja Alan melepaskan cengkeramannya pada leher Ega. Ia kemudian bertingkah aneh dengan berteriak kesakitan sembari memegangi kepalanya. "A-apa yang terjadi?" batin Ega bertanya-tanya. "Kenapa ia melepaskanku?" Tak lama kemudian, Alan yang bertingkah aneh pergi meninggalkan tempat itu. Ia pergi dengan tergesa-gesa dan tak butuh waktu lama, sosoknya pun telah menghilang dari pandangan Ega. Dengan lehernya yang terasa sakit, Ega bangkit dari posisi duduknya. Ia terus menatap ke arah perginya Alan. Ia masih kepikiran tentang perasaannya tadi. Perasaan mengenali yang tidak tahu kenapa bisa ia rasakan saat menatap Zyn yang hampir saja membunuhnya. Tak berselang lama, Rakha menghampirinya. Ia berjalan sembari memegangi dadanya yang terasa sangat sakit. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Rakha. Ega hanya mengangguk sebagai jawaban. Sosok Qyan yang sama cederanya seperti Rakha, kini ikut bergabung dengan keduanya. Ia merasa terheran-heran dengan Zyn yang belum lama ia dan kedua temannya lawan tadi. "Kenapa dia kabur?" tanya Qyan. "Apa kamu melakukan sesuatu?" Ia pun menatap ke arah Ega. Ega menggeleng. Ia sama bingungnya dengan Qyan. Karena dirasa tidak ada lagi yang harus mereka lakukan di tempat itu, mereka pun memutuskan untuk kembali ke tempat perlindungan. Mereka harus segera menyembuhkan cedera yang mereka dapatkan. Sembari melangkahkan kakinya kembali ke taman kanak-kanak, Ega terus memikirkan tentang perasaannya tadi. Ia sungguh bingung dan heran dengan apa yang ia rasakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD