01. ADIPATI RAKHA
Seorang remaja laki-laki terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sedikit pusing dan tubuhnya terasa sedikit linu, namun seiring berjalannya waktu semua rasa tidak enak itu menghilang dari tubuhnya.
Kini ia duduk di pinggiran kasur, menatap ke arah jam yang terpajang di dinding kamarnya yang gelap.
"Jam lima pagi," ucapnya.
Ia pun meregangkan tubuhnya sebelum akhirnya bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setengah jam berlalu dan kini remaja itu tengah mengenakan seragam sekolahnya. Ia melebarkan senyumnya ketika melihat pantulan dirinya yang telah rapi di dalam cermin.
"Bagus. Bersih dan rapi."
Remaja yang sangat menyukai kebersihan dan kerapian itu merasa kagum pada dirinya sendiri. Kepercayaan dirinya selalu meningkat berkali-kali lipat ketika ia dalam keadaan bersih dan rapi seperti saat ini.
Dari depan cermin, ia beralih ke meja kecil yang ada di sebelah kasurnya. Ia raih ponsel yang ia letakkan di sana dan lalu mulai mencari nama seseorang di kontak yang ia simpan.
"Orang itu pasti masih tidur," kata remaja itu.
Ia pun melakukan panggilan dan menunggu orang yang ada di seberang sana mengangkat panggilan yang ia lakukan.
"Halo," sapa orang di seberang sana dengan suara paraunya.
"Jam berapa ini? Bisa-bisanya kamu baru bangun." Protes remaja itu pada orang yang ada di seberang sana.
"Eh?! Aku sudah bangun dari tadi kok." Orang di seberang sana mencoba membela diri.
"Kamu tidak bisa menipuku, Rakha, aku tahu kamu baru bangun. Ya sudah, cepat siap-siap, setengah jam lagi aku jemput, kamu sudah harus siap."
"Oke, Adipati ma beibeh," ucap usil orang yang dipanggil Rakha.
"Ish! Gelay!" balas remaja yang dipanggil Adipati.
Rakha pun hanya tertawa geli di seberang sana.
Setelahnya sambungan telepon terputus. Adipati yang telah siap untuk berangkat sekolah lantas bergegas untuk turun ke lantai bawah. Ia akan terlebih dulu melangsungkan sarapan paginya bersama dengan kedua orang tua dan juga kakak perempuannya.
Di lantai bawah tepatnya di ruang makan, Ayah, Bunda dan kakak perempuan Adipati telah menunggu kedatangannya.
"Pagi," sapa Adipati ramah.
"Lama amat sih! Kakak sudah lapar tahu!" kata perempuan cantik sembari memanyunkan bibirnya.
"Kasihan," ledek Adipati sembari tertawa dan lalu duduk di sebelah kakaknya yang ngambek itu.
"Jangan meledek kakakmu, Di, dia lagi PMS, bisa-bisa nanti kamu dilempar cobek sama dia," ucap Bunda iseng.
"Ihh, Bunda!" Perempuan cantik itu semakin memanyunkan bibirnya.
"Tuh lihat, Bunda juga kena semprot." Bunda kembali menggoda anak tertuanya itu.
Si Ayah hanya tersenyum melihat kelakuan anggota keluarganya pagi-pagi begini.
"Ya sudah-ya sudah, ayo kita makan, kasihan Kakak sudah sekurus itu," ledek Adipati dan lalu melemparkan senyum ke arah kakaknya.
"Kurus? Tembam begitu kok," ledek Bunda (lagi).
"Bunda!!" Si Kakak benar-benar menekuk wajahnya.
Si Ayah yang melihat anak wanitanya semakin ngambek, lantas mulai menghentikan keusilan Bunda dan juga anak bungsunya.
"Sudah Bund, Di, kasihan Kartini," kata si Ayah.
"Omelin, Yah! Omelin mereka!" Kartini memanas-manasi ayahnya.
Si Ayah pun hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Kartini, sementara Bunda dan Adipati tertawa geli di tempat duduk mereka masing-masing.
Setelah keadaan menjadi tenang, sekeluarga itu akhirnya memulai kegiatan sarapan pagi mereka. Hidangan yang disajikan pagi itu tampak lengkap seperti biasanya. Bunda yang dibantu oleh seorang asisten rumah tangga selalu menyediakan menu makanan spesial bagi keluarganya. Ia ingin agar suami dan kedua anaknya selalu merasa rindu dengan masakan rumah yang dibuatnya.
"Masakan Bunda selalu luar biasa." Puji Adipati.
Bunda tersenyum senang mendengar pujian Adipati, anak bungsunya itu memang paling pandai kalau soal puji memuji.
"Kamu tunggu ya, Kakak akan bisa memasak makanan seperti ini," ucap Kartini.
"Oke, aku tunggu. Semoga tidak se-encer mie yang Kakak buat kemarin ya," ledek Adipati.
"Ish! Kan sudah aku bilang kalau aku lupa mematikan kompornya!" Kartini berusaha membela dirinya yang gagal memasak mie instan.
Adipati pun hanya mengangguk, mengiyakan pembelaan Kartini, tapi wajahnya tetap menampilkan senyum yang terkesan meledek.
Setelah sarapan pagi selesai, Adipati langsung pamit untuk pergi ke sekolah, sedangkan Kartini pamit untuk pergi ke kampus.
"Hati-hati di jalan ya, Geulis (cantik), Kasep (ganteng)-nya Bunda."
Bunda tak lupa untuk mencium kening kedua anak tercintanya itu.
"Kalau mau main, kabari Ayah dan Bunda ya," ucap si Ayah sembari mengusap lembut kepala anak-anaknya.
Kini Adipati berjalan menuju halaman rumah tempat mobilnya di parkir, sementara Kartini berjalan menghampiri Pak Sule yang adalah sopir pribadinya.
Setelah Adipati masuk ke dalam mobilnya, ia langsung tancap gas meninggalkan rumah dan menuju ke tempat sahabat satu-satunya yang ia miliki tinggal.
Tiga puluh menit perjalanan, Adipati akhirnya tiba di depan kos-kosan Rakha yang terlihat sangat rapi dan bersih. Lingkungan kos-kosannya memang rapi dan bersih, tapi tidak dengan kamar kos-kosan Rakha.
Berbeda dengan Adipati yang dibesarkan oleh keluarga kaya raya yang sangat berkecukupan, Rakha hanyalah seorang anak yatim piatu yang hidup sebatang kara. Ia berjuang sendirian untuk menghidupi dirinya sendiri. Untung saja Adipati dan keluarganya dengan senang hati selalu membantu Rakha jika anak itu sedang membutuhkan bantuan. Namun hebatnya, Rakha adalah seorang remaja yang tahu diri, sehingga ia tidak pernah menyusahkan Adipati maupun keluarganya.
"Pagi, Adipati Rahadian," sapa Rakha ketika memasuki mobil.
Adipati menatap ngeri ke arah Rakha yang tampak acak-acakan. Ia memang tidak bisa mentolerir ketidakrapian seperti saat ini.
"Betulkan pakaianmu dan sisir rambutmu. Kamu tampan, tapi berantakan," kata Adipati sembari memberikan sisir pada sahabatnya itu.
Rakha pun tertawa mendengar omelan Adipati.
"Wanita kan memang sukanya lelaki tampan dan berantakan sepertiku," kata Rakha sembari berpose sok keren di depan Adipati.
"Ihh--jijik!"
Adipati merasa merinding melihat tingkah Rakha, sedangkan Rakha hanya tertawa melihat respons yang sahabatnya itu tunjukkan.
Setelah beberapa menit Rakha merapikan diri, ia pun mengembalikan sisir yang diberikan oleh Adipati. Namun, Adipati yang merasa kalau rambut Rakha masih terlihat acak-acakan, lantas mulai menyisiri rambut Rakha. Remaja yang disisiri itu hanya tersenyum di tempatnya. Ia tampaknya sudah sangat terbiasa mendapat perlakuan seperti dari Adipati.
"Nah, ini baru rapi," kata Adipati dan lalu menaruh kembali sisir di tempatnya.
"Terima kasih," kata Rakha dan lalu mengenakan sabuk pengamannya.
Kemudian, Adipati pun segera melajukan mobil mahalnya menuju ke sekolah.
Selama perjalanan, Rakha menyetel musik cukup keras dan ikut bernyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar. Ia bahkan juga ikut berjoget cukup heboh jika lagu yang sedang diputar adalah lagu bergenre jedag-jedug. Adipati pun hanya bisa memaklumi sifat sahabatnya itu, walau sebenarnya, ia merasa sangat terganggu.
Hingga tiba di tengah perjalanan, perut Rakha tiba-tiba saja meraung minta diberi asupan berupa makanan. Ia lantas meminta Adipati untuk segera menepi di warung makan pinggir jalan yang ada di depan sana.
"Di, berhenti dulu di warung yang ada depan. Aku lapar," pinta Rakha.
"Kamu belum sarapan?" tanya Adipati.
Rakha pun menggeleng sembari melebarkan senyumnya. Ia jadi merasa tidak enak pada Adipati.
Adipati kini mulai menepikan mobilnya ke tepi jalan sesuai permintaan Rakha. Sambil menepi, Adipati mengoceh pada Rakha.
"Aku menawarkan diri untuk membawakanmu sarapan setiap hari, tapi kamu malah menolaknya. Dan sekarang, kamu malah kelaparan."
"Maaf, Di, aku tidak mau menyusahkanmu," ucap Rakha.
"Kamu sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri, Kha, jadi kamu tidak perlu merasa tidak enak seperti itu padaku."
"Tetap saja aku merasa tidak enak padamu, Di."
Adipati pun hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu memang cukup keras kepala.
Kini mobil telah menepi tepat di depan warung makan pinggir jalan yang Rakha tunjuk. Tempatnya terlihat cukup ramai dengan banyak motor dan mobil yang terparkir di depannya. Untungnya Adipati masih mendapatkan sebuah tempat parkir untuk mobilnya.
Rakha yang sudah sangat kelaparan, lantas langsung melesat keluar dari dalam mobil, meninggalkan Adipati yang masih mengoceh. Adipati pun kembali menggelengkan kepalanya sebanyak beberapa kali sebelum akhirnya ikut turun menghampiri Rakha.
Sesampainya di warung makan, Adipati melihat Rakha sudah memesan makanannya dan kini, ia sedang menunggu bibi yang berjualan menyiapkannya.
"Kamu tenang saja, Di, aku akan makan dengan cepat," kata Rakha.
"Santai saja, bel masuk sekolah masih lama kok."
Adipati pun duduk di samping Rakha dan lalu meminta segelas teh hangat pada paman yang membantu sang bibi penjual.
Kini jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, bel masuk sekolah akan berbunyi setengah jam lagi. Mereka masih bisa sedikit santai di tempat itu.
Lima menit berlalu, hidangan yang Rakha pesan pun akhirnya datang. Sepiring nasi uduk komplit dengan ekstra sambal, salah satu menu makanan kesukaan Rakha.
"Mau, Di?" tanya Rakha.
Adipati menggeleng sembari menyeruput teh hangatnya.
Kemudian Rakha mulai menyantap nasi uduk pesanannya dengan sangat lahap. Adipati yang melihatnya sangat yakin kalau sahabatnya ini pasti belum makan sejak sore kemarin. Ia lain kali akan berinisiatif untuk memesankan sahabatnya ini makanan via ojek online.
Setelah beberapa menit berlalu, kini tinggal satu suapan lagi, acara sarapan pagi Rakha akan selesai. Namun, ia malah meminta Adipati untuk membuka mulutnya agar ia bisa menyuapi sahabatnya itu lauk sarapannya yang tinggal sesuap lagi.
"Aaaa ...," pinta Rakha.
Adipati pun menggeleng. "Tidak, aku tidak mau," katanya.
"Aku kenyang, satu suap saja tidak masalah." Rakha memaksa.
Mau tidak mau Adipati pun akhirnya membuka mulutnya lebar-lebar dan lalu melahap sesendok nasi uduk yang tidak Rakha habiskan.
Setelah nasi uduk itu masuk ke dalam mulutnya, Adipati langsung membelalakkan kedua matanya dan keringat pun seketika mengucur deras di kening dan juga lehernya.
"Huwa! Pedas!" katanya.
Ia lalu meminta lagi segelas teh hangat pada bibi penjual dan langsung meminumnya habis hanya dalam beberapa tegukan saja.
Rakha yang melihat Adipati seperti sedang kesetanan karena kepedasan, lantas hanya menyunggingkan tawa kecilnya.
"Kamu terlalu berlebihan, Di," kata Rakha dan lalu meninju pelan pundak Adipati.
"Aku sungguh-sungguh kepedasan, Kha!" protes Adipati.
Setelah selesai membayar, keduanya lantas segera pergi meninggalkan warung makan tersebut. Adipati terlihat masih kepedasan saat tiba di depan mobilnya. Rakha yang melihatnya, lantas menawarkan diri untuk mengemudikan mobil sampai ke sekolah.
"Sini, biar aku yang bawa mobilnya sampai ke sekolah," ucap Rakha.
"Nih, tapi jangan ngebut," pinta Adipati.
"Siap!"
Keduanya pun masuk ke dalam mobil dan kini Rakha yang akan mengemudikannya. Perutnya sudah kenyang dan ia akan mengemudi dengan perasaan yang gembira.
Setelah lima belas menit perjalanan, mereka pun sebentar lagi akan tiba di sekolah. Namun, tepat di jalanan yang cukup sepi, sebuah mobil yang tak kalah mahal seperti milik Adipati melaju dengan cukup kencang, suara mobil itu seakan-akan meledek Adipati dan Rakha yang sedang mengemudi dengan pelan.
"Cih! Itu pasti Nando! Benar-benar orang yang menyebalkan!" kata Rakha kesal dan berniat untuk mengejarnya.
Namun, Adipati dengan cepat menenangkan Rakha. "Sudahlah, abaikan saja dia. Kita sekarang sudah kelas 3 SMA dan sudah seharusnya kita lebih pandai dalam mengendalikan emosi," ucap Adipati.
"Huh, kamu benar," kata Rakha dan lalu mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia pun membatalkan niatnya untuk mengejar mobil yang disinyalir sebagai mobil milik Nando.
Kemudian, mobil terus melaju dengan tenang sampai akhirnya tiba di sekolah dengan selamat.
Setelah memarkirkan mobil Adipati dengan benar, Rakha keluar dari dalamnya dan lalu menutup pintu mobil mahal itu dengan sangat keras. Adipati pun langsung melontarkan protesnya pada Rakha.
"Pelan-pelan!" kata Adipati.
"Iya-iya, maaf," balas Rakha.
Adipati dan Rakha kini berjalan beriringan menuju kelas. Selama perjalanan, banyak siswa dan siswi yang menyapa keduanya. Mereka benar-benar populer baik di kalangan seangkatan maupun di kalangan kakak dan adik kelas mereka.
Setelah keduanya berjalan cukup lama melewati beberapa ruangan yang ada di sekolah yang luas ini, kini sampailah mereka di depan ruang kelas XII-A, ruangan kelas tempat mereka akan belajar.