BAB 9. Bertanggung Jawab Penuh Sampai ke Urusan Hati

1782 Words
Wendy terluka, itu terlihat jelas dari wajahnya ketika dia tertawa dan meragukan pernyataanku soal Sarah yang bukan pacarku. Jika aku tahu dia akan seterluka ini, sudah sejak lama aku mengakhiri hubungan publikku dengan Sarah. Atau jangan-jangan alasannya menambah waktu belajar di Paris juga karena hal ini? Aku tidak peka. Aku pikir jika aku menjelaskan baik-baik pada Wendy semua akan baik-baik saja. Ternyata perasaan wanita tidak sesederhana itu. Aku berhutang maaf yang besar pada gadis ini. Dia bahkan bisa terlihat baik-baik saja di hadapanku, menerima semua perlakuan seenaknya yang aku lakukan dan tidak pernah menyalahkan aku atau menghakimi ku sedikitpun atas luka yang dia terima. Tujuh tahun kami terpisah jarak dan hanya beberapa kali bertemu di tahun kedua setelah perpisahan, tapi gadis ini baiknya tidak berubah. Inilah alasan aku tidak bisa berhenti mencintainya. Aku bahkan terus menyindirnya soal lukaku ketika dia meninggalkanku, tapi aku lupa bahwa aku juga mengirim luka yang sama padanya. Bahkan lebih banyak. Selama perpisahan kami, hanya sekali berita tentang kedekatan Wendy dengan laki-laki yaitu Felik. Tapi selama bertahun-tahun itu, berita kedekatanku dengan Sarah sudah tak terhitung jumlahnya. Bagiamana aku bisa lupa rasa sakitnya melihat Wendy di beritakan dengan Felik dulu? Dia juga pasti terluka melihat pemberitaanku dengan Sarah. Aku bersumpah tidak akan membuatnya menangis dan terluka lagi, tapi lagi-lagi aku melakukannya. Rasa sakit luar biasa yang dia ciptakan saat membuangku dulu, menjadikan aku jahat. Aku memberinya pelajaran sampai dia menangis saat itu. Aku juga memberikan perpisahan yang aku tahu membuatnya menangis. Mela meneceritakan bahwa Wendy kadang menangis malam-malam. Aku berpikir itu wajar karena aku juga menahan kesakitanku. Tapi aku lupa, dia tidak menambah lukaku dengan berdekatan dengan laki-laki lain, sementara aku menambah lukanya dengan terlihat dekat dengan Sarah. Aku terlalu pendendam padahal Wendy tidak pernah menghakimiku sedikitpun. “Sudah kenyang kan? Sana pulang! Mau apa lagi?” ucapnya ketus. Wajahnya terlihat kesal. Aku tersenyum tipis ke arahnya, kemudian meraih tangannya dan memeluknya dengan erat. Wendy langsung berteriak dan memukul-mukul punggungku tapi aku tidak peduli, Aku membenamkan wajahku di lehernya menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang aku rindukan. “Regarta apaan sih! Lepasin nggak? Sana pergi Iblis j*****m!” teriaknya kesal. Tapi kemudian dia berhenti berteriak dan memukuliku karena aku diam saja dan hanya memeluknya. “Ayo menikah dan jangan berpisah lagi selamanya.” Ucapku lirih setelah beberapa menit aku hanya memeluknya. “Memang aku bisa kabur dari pernikahan ini? Bisa di buru Ayah Adrian kalau aku kabur.” Balasnya dengan nada yang tidak terlalu serius. Aku ingin mengatakan jika aku masih mencintainya tapi takut dia tidak percaya. Sepertinya kali ini aku memang harus tegas soal Sarah dan segera mengakhiri semuanya baik di depan Sarah maupun di depan publik. “Tapi aku nggak mau kamu nikah sama aku karena terpaksa.” Ucapku lagi dan aku bisa mendengar desahan Wendy. “Kamu aja nikah sama aku terpaksa kan? Sok-sokan nggak mau aku terpaksa kata kamu? Kurang-kurangin narsisnya! Nggak semua orang mau sama kamu.” “Aku nggak peduli orang lain nggak suka sama aku asal bukan kamu.” “Astaga Iblis ini lagi kenapa sih? Oke, kalau tadi aku ada salah bicara aku minta maaf deh. Sekarang lepasin aku dan kamu harus pulang sebelum ada yang menggrebek kita berduaan di sini.” “Jangan meminta maaf kalau kamu memang nggak ada salah. Kamu membuat aku terlihat jahat.” Desahku lirih. Wendy mendesah lagi, kali ini lebih keras. “Ya terus mau kamu apa sih? Lepasin aku! Kamu pikir nggak gerah apa di peluk mulu kaya gini. Kamu lagi kenapa sih sebenernya? Ada masalah? Habis di omelin Bunda? Atau kenapa?” “Mau nikah sama kamu besok biar kamu nggak bisa kabur lagi.” Ucapku akhirnya pulukan wendy mendarat di punggungku. “Lepasin ih! Gerah Rega gerah!” kesalnya sambil berusaha lepas dari belitan tanganku. “Aku minta maaf udah nyakitin kamu.” Ucapku kembali membuatnya menghentikkan usahanya untuk melepaskan diri dariku. “Ya sudahlah, sudah berlalu dan kita sekarang juga sudah bahagia di jalan kita masing-masing.” Ucapnya kali ini gantian membuat aku mendesah. “Aku nggak bahagia kalau kamu punya pacar.” Jawabku jujur. “Iya soalnya kan kamu jahat.” Balasnya ketus. Aku akhirnya melepaskannya karena dia menggigit pundakku. Aku terkikik geli melihat wajah kesalnya setelah pelukan kami lepas. Wajahnya berkeringat dan ternyata dia memang kegerahan. “Aku nggak mau pulang.” Ucapku kemudian merebahkan diriku di sofa. Wendy berkacak pinggang dan mendesah kesal. “Ya terserah lah aku pusing, aku mau mandi. Jangan ngintip!” “Nggak janji.” Jawabku kemudian aku di lempari bantal olehnya. Aku tertawa puas sambil menatapnya yang menghilang di pintu kamar mandi dengan handuk di pundak dan baju di tangannya. Jalannya masih terlihat pincang, tapi sudah lebih baik dari tadi ketika aku baru datang. Mataku melirik ke meja dan senyumku melebar melihat ponsel Wendy tergeletak di sana. Siapa tahu aku bisa mendapatkan bocoran siapa pacarnya kan dari sini? Sebuah pop up dari nomor yang tidak di simpan oleh Wendy menarik perhatianku. Dengan mudah aku bisa membuka kunci ponselnya. Jangan sebut aku Regarta mantan tim tujuh Morsa jika perkara membuka kunci ponsel Wendy saja tidak bisa. Aku nyaris tertawa lantang membaca pesan dari laki-laki yang sepertinya di sewa Wendy dari jasa penyewaan pacar. Aku buru-buru menyimpan nomornya dan menyimpan akun si jasa penyewaan pacar itu ke ponselku. Setelah itu aku meletakkan kembali ponsel Wendy di tempat semula dengan posisi yang sama. “Kenapa cekikikan?” tanyanya dengan mata memicing curiga setelah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. “Ada yang lucu aja, lucu banget.” Balasku sambil terkikik lagi. Sudah aku duga Wendy memang tidak memiliki pacar. Tidak mungkin orang yang aku perintahkan untuk mengawasinya sampai tidak tahu dia punya pacar. “Nggak lagi jahilin aku kan?” dia masih curiga. Aku kembali tertawa dan melihatnya semakin kesal. “Pede banget, orang aku lagi bacain komentar di sosial media.” Ucapku berbohong. Wendy mendesah. “Kamu kan rajanya jahil, jadi kalau kamu cekikikan itu mencurigakan.” Gumamnya sambil berjalan menjemur handuk, lalu menyisir rambutnya masih basah. Setelah itu Wendy terlihat mengambil tabletnya dan duduk di karpet dekat televisi. Aku bangkiot dan menghampirinya. “Ayo nonton film horor kaya dulu.” Ucapku sambil merebut remot darinya. “Astaga orang ini, pulang sana ih! Nggak enak kalau ada yang tahu kita berduaan lama di sini.” Ucapan Wendy tidak aku hiraukan. Hatiku sedang senang sekali karena tahu yang akan di ajak Wendy bertemu denganku ternyata pacar sewaan. “Rega pulang sana!” dia mendorong tubuhku dengan wajah kesal. Aku terkekeh. “Jangan marah-marah mulu nanti cantiknya ilang.” Balasku sambil tersenyum menatapnya. Wajahnya langsung memerah dan terlihat salah tingkah, aku gemas sekali. “Ya tapi abis nonton pulang.” Cicitnya tanpa menoleh. “Deal.” Sorakku senang. *** Setelah keluar dari Unit Wendy, rasanya seperti aku baru saja mencarger energiku menjadi seribu persen terisi. Kami makan berdua, kami berpelukan, dan kami menonton film sampai dia ketidura. Aku menggendongnya ke kasur, menyelimutinya dengan rapih kemudian aku sempatkan mengecup bibir dan keningnya sebelum pergi. Aku langsung menghubungi anak buahku untuk mengurus laki-laki sewaaan itu. Mengingat dia menyewakan dirinya berarti dia suka uang, ini perkara yang mudah. Aku tidak perlu mengurusnya sendiri juga pasti beres. Di dalam mobil menuju jalan pulang aku cekikikan sendiri. Membayangkan nanti Wendy kesal karena pacar sewaanya aku begal entah kenapa menyenangkan sekali. Jangankan pacar sewaan, pacar betulan saja pasti bisa aku singkirkan karena Wendy hanya milikku dan selamanya akan selalu seperti itu. Sesampainya di Apartemen sudah menjelang maghrib, aku langsung mandi, ibadah setelah itu merebahkan diriku di kasur yang masih bau Wendy. Jika dia tahu bahwa di Apartenmenku sebenarnya ada tiga kamar yang siap di gunakan dia pasti akan mengamuk lagi. Kami sudah satu berada di tempat yang sama malam itu, mana mungkin aku rela kehilangan momen untuk bisa memeluknya hingga pagi. Aku membuka ponsel dan melihat-lihat gambar yang sempat aku abadikan ketika Wendy menyiapkan makan di meja makan tadi. Aku berencana menguploadnya satu di akun pribadiku untuk menarik perhatiannya. Aku yakin sekarang dia sudah bangun karena aku tadi sempat melihatnya membuat story tentang bekas memasaknya yang masih berantakan. “Ngapain foto makan tadi siang di upload begitu? Sengaja biar aku di ledek ngerebut pacar orang?” Sesuai dugaanku, Wendy langsung mengirimi aku pesan dengan emoticin kesal. Aku tersenyum lebar. Kami akhirnya berbalas pesan panjang dan menyenangkan sekali. “Udah ah Regarta, aku males meladeni kegilaan kamu. Aku mau gambar aja, bye.” Balasnya kesal. “Aku mau telpon tapi, nggak akan ganggu kamu gambar kok. Kan kita ngomong.” “Ngapain sih Ahh! Kamu tuh hobby banget ganggu aku. Heran!” Dia langsung membalas lagi dengan kesal tapi ketika aku mendial nomornya dan memulai panggilan, Wendy langsung mengangkatnya. “Apaan lagi, ini juga bagian dari tanggung jawab karena bikin kamu terluka hah?” ucapnya ketus. Aku cekikikan. “Iya dong, mental dan hati aku terguncang karena jatuh dari kursi itu. Makanya kamu harus menghibur aku sampai aku tidur nanti.” Balasku membuatnya mendesah. “Regarta aku nggak enak kalau kamu kaya gini sama aku. Kalau aku jadi Sarah pasti aku terluka.” Ucapnya terdengar serius. “Kalau aku memang benar-benar pacaran sama Sarah, temen-temen aku nggak akan mungkin ledekin kita dan mendukung kedekatan kita kaya yang kamu lihat di kolom komen setiap aku upload tentang kamu. Aku sungguh-sungguh tidak memiliki hubungan apapun sama Sarah Wendy! Aku akan mengumumkannya ke publik kalau itu bisa bikin kamu percaya.” Ujarku kembali berusaha menjelaskan. Wendy diam beberapa saat kemudian mendesah. “Kamu kaya gini karena kita mau nikah aja kan? Kalau kita nggak mau nikah kamu nggak akan kaya gini kan? Kamu pasti masih asyik sama dia kemana-mana?” “Astaga, aku harus bagaimana menjelaskannya.” Desahku frustasi. “Udahlah aku malas bahas ini, lagian aku punya pacar.” Balasnya membuatku nyaris menyemburkan tawa. “Kalau aku bisa membuktikan kalau Sarah bukan pacar aku, kamu harus putus sama pacar kamu! Aku nggak mau ada orang lain di dalam pernikahan kita.” “Nggak janji.” Kikiknya dengan menyebalkan. “Emang apa bagusnya dia di banding aku sih?” tanyaku sengaja memancingnya. “Dia nggak jahat kaya kamu.” Balasnya. “Emang apa kejahatan aku?” kekehku. “Kamu bikin aku darah tinggi tiap hari. Hari-hariku yang tentram selama kurang lebih tujuh tahun lalu langsung musnah ketika aku ketemu sama kamu.” Ungkapnya terdengar jujur. Aku tertawa lantang. “Orang kaya aku ini yang akan kamu rindukan kalau nggak ada loh.” Balasku masih dengan sisa tawa. Hari ini akan aku nobatkan sebagai hari terbaikku karena hampir seharian hanya berisi aku dan Wendy. Aku sengaja mengabaikan semua pesan yang masuk ke ponselku termasuk dari Sarah. Besok aku akan membicarakan dengannya tentang penghentian hubungan saling menguntungkan itu. Agar aku bisa fokus hanya pada Wendy saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD