BAB 10. Ketika Si Iblis Sakit Demam

1508 Words
Hari ini akhirnya aku bertemu dengan laki-laki yang sudah aku sewa untuk aku ajak bertemu Regarta. Sekalipun Berandalan itu belakangan ini jadi manis dan jujur saja ku sedikit goyah, tapi janji tetaplah janji. Bisa di ledek habis-habisan jika aku membatalkan janji memperkanalkan pacar pada si Berandalan itu. Tidak lupa untuk lebih meyakinkan, aku memposting foto bayangan yang terlihat seperti aku sedang bergandengan tangan dengan laki-laki. Aku cekikikan sendiri membaca komentar antek-antek Regarta. Rasanya tidak sabar untuk membuat Berandalan itu kesal. Karena hari ini Sabtu, aku punya waktu luang untuk bertemu laki-laki bernama Nolan ini. Dia terlihat cukup ramah dan yang pasti tampan. Aku yakin Nolan tidak akan terlalu kalah dari Regarta sekalipun memang dari segi manapun tetap Regarta masih pemenangnya. Karena mencari laki-laki yang bisa menyaingi si Iblis tampan itu sulit. Di dunia ini yang bisa lumayan sejajar dengan Regarta hanya Felik saja. Tapi aku tidak mungkin menelponnya untuk terbang jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk membantuku menjadi pacar Sewaan bukan? Ketika aku pulang ke Apartemen, aku di buat kaget dengan kehadiran laki-laki itu yang sedang berdiri di depan pintu Apartemenku sambil melipat tangannya di d**a. Bajunya terlihat santai, itu artinya Berandalan ini dari rumah, “Astaga, mau apa lagi ke sini?” desahku membuatnya akhirnya mendongakkan kepalanya dan tersenyum lebar ke arahku. “Kenapa Cuma bayangannya aja yang di posting. Dia Jelek yah?” ucapnya mengomentari secara langsung foto yang aku posting. Aku berdecak kesal dan memilih untuk tidak menanggapi Iblis ini karena aku tidak boleh terus-terusan marah-marah demi kecantikanku tetap terjaga. “Ngapain ikut masuk Astaga.” Kesalku karena dia memaksa ikut masuk ke dalam Unitku tanpa merasa berdosa sedikitpun karena mendahului pemilik rumah. “Aku mau minta makan sama kamu, dari pagi aku belum makan. Mana kepala aku pusing banget lagi.” Ucapnya langsung menuju dapur dan mengambil sepotong pisang goreng yang aku buat sebelum aku berangkat menemui Nolan. “Bukannya kamu habis dari rumah?” tanyaku sambil membongkar belanjaan yang tadi aku bawa pulang. “Enggak, aku abis jadi Bodyguardnya Chiko makanya pakaian aku hitam-hitam kan? Mana tuh anak kurang ajar banget, nggak di kasih makan abangnya.” Gerutunya kesal. Aku terkekeh geli melihatnya lahap sekali makan pisang goreng. “Tadi aku beli bahan pasta, mau aku buatkan pasta?” ucapku menawarkan. Tidak tega melihatnya kelaparan seperti itu. “Mau banget.” Soraknya girang. “Ya udah sana tunggu di sofa.” “Aku tidur bentar di kasur kamu boleh kan? Kepala aku pusing banget soalnya.” Ijinnya. Aku mengangguk setuju dan Regarta langsung meringkuk di atas kasur. Wajahnya memang terlihat sedikit pucat, apa Regarta sakit? Belakangan ini dia memang terlihat sibuk sekali. Aku sedikit mengkhawatirkannya. Setelah selesai memasak Pasta, aku menghampiri Regarta. “Mas, udah mateng.” Ucapku membangunkannya tapi Regarta hanya bergumam saja dan semakin meringkuk. Aku penasaran apakah dia sakit? Karena itu aku mengulurkan tanganku menyentuh keningnya. “Kamu sakit yah mas? Udah minum obat belum?” tanyaku khawatir karena suhu tubuhnya ternyata naik. “Hmm.” Regarta hanya bergumam saja. Aku tidak jadi membangunkannya dan kembali ke dapur. Sakit Regarta tidak jauh-jauh dari Magh dan Asam lambung. Karena itu aku langsung membuatkannya bubur. Setelah Bubur jadi, aku setengah berlari mengambil kotak obat dan mencari obat Magh di sana. Ketika aku kembali ke meja makan hendak menaruh obat itu di meja, aku lihat laki-laki itu sudah duduk di kasur sambil tersenyum manis. “Kamu masak lagi yah? Padahal pastanya belum aku makan.” Kekehnya. “Udah tahu nggak enak badan, aku buatin pasta iya aja.” Aku mengomel. Perutnya saat sedang sakit sangat sensitif dengan hal-hal berbau s**u. Sementara pasta yang aku buat menggunakan s**u untuk krimnya. “Yahh gagal makan pasta buatan kamu.” Desahnya kecewa. “Nanti kapan-kapan aku bawain ke kantor, sekarang makan bubur dulu sebelum terlanjur parah dan masuk Rumah Sakit. Nanti malah repot soalnya kerjaan lagi banyak. Mau New Season juga.” “Beneran loh, janji adalah hutang loh.” Kekehnya sambil berjalan sedikit sempoyongan menuju meja makan. “Iya, aku nggak akan ingkar janji. Bilang aja kalau mau di bawain pasta.” Ucapku sambil mengambilkannya minum. “Hmmm, buburnya juga enak loh.” Gumamnya sambil mengunyah. “Jangan sendirian dulu di Apartemen deh mas, kamu kalau sakit suka serem soalnya.” “Ya udah ayok temenin aku tidur di Apartemen atau aku tidur sini aja juga boleh.” Balasnya membuat aku menatapnya malas. Dia mengulum senyum geli. “Nggak usah ngaco, udah abisin buburnya terus minum obat. Lagian udah tahu sakit ngapain malah ke sini sih? Bukannya istirahat.” “Di rumah nggak ada orang.” “Loh pada kemana?” “Bunda sama Ayah sama Jelita lagi ke Inggris. Ada acara apa gitu aku nggak tahu.” Balasnya tanpa menoleh ke arahku. Tangannya sibuk menyendok bubur dan matanya sibuk memperhatikan ayam yang aku berikan banyak di mangkuknya. Regarta adalah pecinta Ayam dan Sapi. Tentu saja aku tahu sekali. “Terus gimana?” “Makanya aku nginep yah!” ucapnya sambil meringis. “Nginep di rumah Riko aja deket dari sini nanti aku antar. Di sini nanti kita di grebek mas, belum nikah.” Jawabku membuatnya mendesah kecewa. “Siapa juga yang mau grebek.” Regarta terlihat merajuk. Aku kembali mendesah. Laki-laki keras kepala ini pasti akan sulit di usir jika sudah seperti ini. “Yasudah tapi semalam doang.” Putusku membuatnya kegirangan. *** Sore harinya aku memutuskan untuk memanggil dokter Andin. Dokter langgananku ke Unit karena panas Regarta tidak kunjung turun. Riko juga datang karena aku menelponnya untuk meminta tolong menebuskan obat. Laki-laki manja ini tidak mau di tinggal barang sedetikpun. “Dia semalam kayaknya nggak tidur deh Wen,” ucap Riko sambil mendesah. Setelah minum obat, Regarta akhirnya tidur. “Ngapain sih? Bukannya kerjaan udah beres semua yah?” “Lagi ada masalah di perusahaan nenek kamu. Dia mungkin nggak bilang sama kamu. Tapi ada pegawai yang bermasalah. Kemungkinan dalam waktu dekat kamu bakal lihat ada yang di depak sama dia. Karena itu semalaman dia nyari data. Di tambah paginya Chiko harus Event outdor nggak ada Bodiguard. Jadi dia gantiin.” Penjelasan Riko membuat aku diam sambil menatap laki-laki yang sekarang sedang lelap itu. Di tengah tanggungjawabnya yang segunung, rupanya dia seserius itu mengelola perusahaan Nenek. Dan setelah semua itu yang aku yakin sudah berat untuknya, dia masih peduli sekali pada adiknya. “Dia emang dari dulu suka memaksakan diri.” Gumamku. “Sementara dia disini dulu nggak papa kan Wen? Semua orang rumahnya lagi pergi. Dan kalau sama gue juga nggak bakalan di perhatikan masalah makan dan lain-lainnya. Palingan besok dia udah mendingan dan bisa pulang.” “Iya nggak papa mas Riko. Makasih yah udah mau di repotin.” Ucapku sambil tersenyum. Setelah itu Riko berpamitan dan aku lagi-lagi mendesah sambil menghampirinya. Rencananya hendak membenarkan letak selimutnya tapi tanganku malah di tarik hingga aku jatuh ke kasur dan dia memelukku dengan erat sekali. “Mau di peluk sampai aku bangun nanti, kamu jangan kemana-mana.” Ucapnya dengan suara yang sedikit serak. Aku mengusap keringat di keningnya dan dia semakin membenamkan wajahnya ke dalam pelukanku. “Ya sudah, kamu tidur aja. Aku di sini.” “Sampai aku bangun?” tanyanya memastikan. “Iya.” “Janji?” “Astaga Regarta, kamu itu kalau sakit kaya bocah.” Protesku membuatnya terkekeh. “Aku sayang banget sama kamu.” Ucapnya tiba-tiba. Tubuhku mematung seketika. Aku takut dia bisa mendengar debaran jantungku yang menggila karena ucapannya barusan. Tapi aku tidak mau terlalu percaya diri. Takutnya dia mengatakannya tanpa sadar mengingat kondisinya sedang demam parah. “Jangan punya pacar lain yah Wendy, sama aku aja. Aku janji akan berusaha buat bahagiakan kamu kali ini.” Gumamnya lagi dan aku masih diam sambil memeluknya dan mengusap kepalanya. Regarta suka di usap kepalanya saat sedang sakit. “Tidur mas, biar nanti pas bangun lebih baik.” “Kamu nggak akan lari dari pernikahan kita kan?” tanyanya yang entah kenapa terdengar takut. “Aku tidak akan kabur. Memangnya aku bisa melarikan diri hmm?” “Bisa, dulu kamu bisa pergi dari aku. Kali ini jangan gitu lagi yah.” Suaranya kali ini terdengar lebih lirih dan entah kenapa mataku memanas. Regarta terdengar seperti ketakutan sekali. Luka yang aku buat beberapa tahun lalu rupanya seperti meninggalkan trauma untuknya. “Aku nggak akan pergi kemana-mana kali ini, sekalipun kamu menyuruh aku pergi aku juga nggak akan pergi.” Balasku tulus. “Mana mungkin aku nyuruh kamu pergi.” Balasnya sambil mengeratkan pelukanku dan tidak lama setelah itu napasnya mulai teratur. Tapi air mataku yang jatuh sambil memeluknya erat sekali. Aku juga terluka karena perpisahan kami dulu dan aku pikir aku yang paling terluka karena hingga detik ini pun masih belum sembuh. Tapi ternyata Regarta hanya pura-pura kuat saja selama ini. Dia juga terluka dengan begitu hebatnya. Bahkan nada bicaranya bisa terdengar begitu ketakutan ketika memintaku jangan pergi. Mungkin saja raut bahagia yang dia tunjukkan di publik ketika bersama Sarah itu, memang hanya acting saja mengingat dia pandai melakukannya. Apa boleh jika kali ini aku percaya padanya lagi? Aku masih mencintainya. Dan seberusaha apapun aku menyangkalnya hatiku rasanya semakin sakit. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD