Aku terpaksa membuka pintu unitku karena si Iblis ini menggedor pintunya seperti ingin merobohkannya. Aku tidak enak juga pada tetangga. Senyum jahilnya adalah hal yang pertama kali aku lihat, tapi ketika mataku melirik tangannya, terlihat ada banyak memar di sana. Regarta melindungi kepala dan pinggangku menggunakan tangannya ketika aku jatuh, sudah pasti itu membuat tangannya terkena lantai lebih dulu ketika kami jatuh. Dia tidak mengeluh sakit sedikitpun saat kami baru pertama jatuh. Sekalipun aku yakin dia juga kesakitan. Tubuhnya yang terbanting ke lantai dan terkena kursi bersamaku juga pasti sakit. Tapi dia menahannya karena tidak mau membuat aku merasa bersalah. Aku cukup terharu dengan itu.
“Masuk!” ucapku. Dia mengekori aku masuk setelah menutup pintunya kembali. Aku hendak menuju dapur untuk membuatkan iblis ini makanan, tapi dia menarikku duduk di sofa. Aku mengerjap beberapa kali melihatnya tiba-tiba jongkok di hadapanku.
“Mau ngapain sih mas?”
“Luka kamu di obatin dulu, bengkak begini. Kamu nggak minum obat bengkak yang kemarin aku kasih di meja yah?” tanyanya dengan raut wajah kesal. Aku mengatupkan bibirku sambil mengalihkan pandangan. Kemarin memang ada Memo di dekat meja dari Regarta. Di sana juga ada obat, tapi aku malas meminumnya. Di tambah pikiranku kemana-mana karena kedatangan Ayah dan Bunda sehingga aku semakin tidak peduli dengan ibat itu.
“Aku nggak lihat tuh.” Cicitku. Dia memukul pelan kepalaku.
“Udah gede masih aja susah kalau di sueruh minum obat. Heran banget.” Dia mengomel.
Aku mengulum senyum melihatnya terlihat serius memberikan salep bening ke sekitaran kakiku yang bengkak. Dia juga mengganti plester lukaku. Regarta sangat tampan saat dia sedang dalam mode serius seperti ini. Aku kembali membayangkan ketika kemarin dia menggunakan jas putihnya, tampan sekali. Pasti di Rumah Sakit juga banyak yang menaruh perhatian padanya.
Seandainya tidak ada Sarah, mungkin aku akan bahagia sekali harus menikah dengan laki-laki ini. Karena jujur saja, setelah kembali bertemu dengannya dan terlibat banyak hal denganya, usahaku untuk melupakannya selama bertahun-tahun sia-sia. Nyatanya aku masih berdebar saat ada di dekatnya.
“Mau makan apa? Aku masakin.” Tanyaku pelan. Sudah lama juga aku tidak memasak sesuatu untuknya.
“Apa saja yang kamu masak, pasti aku makan.” Jawabnya tanpa menoleh. Fokusnya masih di kakiku yang saat ini sedang dia beri obat.
“Aku nggak ada beras, roti sama buah dan sayur mau nggak?”
“Mau.” Jawabnya membuat aku tersenyum.
Aku menarik tangannya saat dia sudah selesai mengobati kakiku dan duduk kembali di sofa. Aku ambil salep yang tadi kemudian mengoleskannya di sana. Pasti sakit seharian harus berakltivitas dengan tangan seperti ini. Laki-laki ini tidak mengeluh sedikitpun karena aku tahu keluh kesahnya padaku tadi hanya cara yang dia gunakan untuk membuatku kesal saja. Aku jadi teringat ketika Regarta memar sekujur tubuh, wajahnya babak belur dan pundaknya memiliki luka sobek. Aku menangis semalaman ketika aku tahu alasannya terluka adalah karena dia masuk ke Organisasi berbahaya demi bisa melindungiku dari orang-orang jahat. Dan setelah semua yang dia lakukan itu, aku malah membuangnya dan pergi ke Paris. Wajar saja jika dia sakit hati dan memilih wanita lain. Tidak ada yang bisa dia harapkan dariku.
“Kenapa matanya merah? Kamu sesedih itu hanya karena melihat luka aku?” kekehnya geli. Aku langsung menatapnya malas dan sedikit menekan lukanya sampai dia mengaduh. Regarta tertawa puas melihat aku meninggalkannya menuju dapur dengan kesal.
“Apa pacar kamu pernah datang ke sini?” pertanyaan itu menghentikkan tanganku yang sedang mengangkat roti hangat dari panggangan. Aku mendesah diam-diam mengingat aku harus mengenalkan pacar pada laki-laki iblis ini.
“Belum lah, bisa di gantung Daddy bawa cowok ke Apartemen.” Balasku.
“Berarti aku cowok pertama yang masuk ke sini?” tanyanya dengan kekehan.
“Iya lah kan kamu tukang maksa, kalau nggak kaya mau robohin gedung ini pas ngetuk pintu tadi juga nggak bakalan aku bukain pintu.” Balasku membuat Regarta tertawa geli.
“Bagus, jangan bawa masuk laki-laki manapun ke sini. Bisa berbahaya.” Ucapnya. Aku terlonjak kaget melihatnya tiba-tiba saja sudah ada di dekatku. Bersandat pada meja dapur dan sedang memperhatikan aku masak. Jujur saja di tatap seperti itu olehnya membuat aku berdebar hebat.
“Kamu duduk aja sana!” aku mendorong pundaknya dan dia terkekeh.
“Mau lihat lulusan tata boga Paris masak. Kalau masakan kamu oke, mungkin aku bisa merekomendasikan masakan kamu untuk masuk ke La Bakery.” Ucapnya membuat aku mengernyit.
“Jangan ngarang, La Bakery terlalu bagus untuk mempekerjakan Cheft baru lulus kaya aku.” Balasku sambil terus menyiapkan makanan.
“Loh, kamu nggak tahu kalau La Bakery itu punya Bunda Lisa?” kikiknya geli. Mataku melotot sambil menatapnya tidak percaya.
“Sumpah?” tanyaku memastikan. Regarta tertawa geli sambil menoel hidungku.
“Bisa-bisanya kamu nggak tahu apapun padahal mau jadi mantu.” Kekehnya lagi.
La Bakery adalah salah satu toko kue ternama yang cabangnya bukan hanya ada di Indonesia saja tapi sudah banyak ada di negara tetangga bahkan sampai ke Australia. Toko kue dengan tema Paris itu menyajikan banyak pilihan menu modifikasi kue-kue Indonesia yang di mix dengan resep-resep kue prancis. Banyak jenis Pastry yang juga rasanya tidak kalah dengan toko-toko di Paris menurutku. Aku sudah mencoba berbagai macam menunya saat baru pulang dari Paris kemarin dan dari segi konsep dan rasa memang tidak di ragukan lagi. Karena itu aku paham kenapa La Bakery bisa begitu besar. Tapi aku sungguh tidak menyangka toko kue impian banyak Chef itu adalah milik keluarga Regarta. Sebenarnya seberapa kaya laki-laki ini dan keluarganya? Aku sampai merinding membayangkannya.
“Beneran Bunda Lisa yang merintis dari bawah?” tanyaku lagi masih tidak percaya.
“Iya, dulu toko kue biasa sebelum sebesar sekarang. Sekarang yang kelola Jelita sama butik juga Jelita yang handle. Tapi kalau kamu jadi mantu nanti, pasti kamu juga harus siap buat ikut andil dalam pengelolaan. Apalagi jurusan yang kamu ambil pas dengan dua perusahaan itu. Kamu mungkin akan ikut di libatkan di bagian desain dan resep, sementara Jelita akan di bagian Managemennya.” Ucap Regarta menjelaskan. Dan entah kenapa itu terdengar mengasyikkan.
“Kenapa kamu terdengar seperti tidak keberatan sama sekali nikah sama aku sih? Kasihan loh pacar kamu.” Ucapku heran. Regarta terkikik kemudian mendesah.
“Aku kan nggak punya pilihan lain, lagi pula lebih baik kan nikah sama kamu dari pada sama orang asing yang nggak aku kenal.” Jawabnya santai. Tapi aku kesal karena seolah aku di jadikan opsi paling mendingan bukan prioritas.
“Jawaban kamu seolah-olah lagi bilang kalau aku ini yang paling mendingan doang padahal aslinya kamu nggak menginginkannya.” Ucapku membuat Regarta yang tadi sedang memperhatikan botol kecap di tangannya langsung menoleh. “Kalau terpaksa sebaiknya jangan di lanjutkan bukan? Aku juga bisa terluka Regarta? Pacar kamu juga dan kamu juga bisa terluka kan? Jika di paksakan nantinya kita bertiga akan saling melukai.” Tambahku lagi.
“Apa sudah tidak ada lagi aku di hati kamu sedikit saja? Kamu teru-terusan menolak pernikahan ini seolah kamu memang sangat tidak menginginkannya.” Ucapnya dengan nada serius. Aku diam sesaat, meletakkan potongan roti di tanganku ke atas piring kemudian menatapnya.
“Apa masih boleh ada kamu di hatiku setelah semuanya? Tidak kan? Mana boleh ada laki-laki yang sudah punya pacar di hati aku kan?” ucapku sambil menatapnya juga serius.
“Sarah bukan pacar aku.” Ucapannya mengagetkanku.
“Hah?”
“Karena itu tinggalin cowok kamu dan menikah denganku Wendy!”
“Tapi Sarah bilang dia pacar kamu mas, jangan jahat.” Ucapku lalu memukul dadanya tapi tanganku di tangkap olehnya dan aku di tarik semakin dekat dengannya.
“Kami memang membiarkan publik berasumsi seperti itu demi keuntungan yang kami dapat masing-masing. Tapi tidak pernah ada apapun di antara kami hingga detik ini. Saat pernikahan kita di umumkan ke publik nantinya, hubungan yang tidak resmi itu akan berakhir.” Ucapnya menjelaskan. Aku menunduk menahan debaran yang menggila di hatiku. Entah kenapa aku masih belum bisa percaya bahwa Regarta memang tidak ada hubungan apapun dengan Sarah setelah semua yang aku lihat.
Masih aku ingat ketika dia menggandeng tangan wanita melwati Wartawan di Bandara tujuh tahun lalu. Masih aku ingat dengan jelas foto mereka yang berpelukan sambil tertawa di pantai sekitar dua tahun lalu. Semua itu masih terasa begitu menyakitkan untukku. Tidak mudah mempercayai laki-laki ini lagi.
“Tidak pacaran?” ucapku lirih kemudian tertawa dan mendorongnya menjauh. “Jangan kamu pikir bisa membodohiku setelah semua yang telah terjadi Regarta!” tambahku lagi. Dia terlihat kaget dengan responku.
“Aku tidak bohong.”
“Mata aku tidak buta Regarta! Kamu gandengan tangan, kamu pelukan, kamu datang ke berbagai tempat sama dia, dan yang paling penting kalian terlihat bahagia. Kaya gitu kamu bilang nggak pacaran? Berhenti ngerjain aku menggunakan hal ini Regarta! Nggak lucu sama sekali.” Balasku membuatnya diam. Setelah itu aku melanjutkan masakanku dan dia memilih duduk di sofa. Air mataku jatuh begitu saja, tapi aku langsung menghapusnya. Tidak boleh ada drama air mata dengan laki-laki ini lagi. Aku harus bahagia dan tidak boleh mengharapakannya lagi.
“Udah mateng nih, sini makan! Nggak perlu di suapin, tangan kamu bisa buat gedorin pintu aku sampai mau roboh segala bilang nggak bisa di pakai makan? Aku pukul pakai wajan nih!” ucapku membuatnya tersenyum. Tidak ada kekehan geli atau tawa jahil seperti biasanya. Apakah dia sedang memikirkan masak-masak ucapanku tadi? Itu bagus! Memang seharusnya dia memikirkannya.
“Masakan kamu enak seperti biasanya.” Ucapnya yang entah kenapa terdengar sedih. Eskpresinya yang sebelumnya selalu terlihat jenaka, kali ini hilang. Regarta jadi pendiam setelah perdebatan kami soal perniakhan tadi. Apa aku salah bicara?
“Iya lah kan aku sekolah. Gimana? Udah layak masuk La Bakery?” tanyaku sengaja memancing tawanya. Dia memang tertawa tapi tidak selepas biasanya. Kenapa dia bisa sangat terganggu seperti ini hanya karena aku mengungkapkan opiniku tentang hubungannya dengan Sarah yang di mataku memang tidak terlihat seperti hubungan palsu.
“Lumayan, bisa aku pertimbangkan.” Kekehnya yang lagi-lagi terasa hambar di telingaku.
***