Diki dan Vina berduaan menyaksikan keluarga Dany yang asyik berkuda.
" Mau coba naik kuda?" Diki mengalihkan pandangannya ke arah Vina. Ia menawari Vina untuk menunggang kuda.
" Ga ah, saya mah ga bisa." Vina menggelengkan kepalanya. Seingatnya terakhir kali naik kuda itu waktu dirinya kelas 4 SD. Itu juga naik kuda renggong waktu ada acara hajatan keluarga di kota Sumedang. Lumayan geli juga.
" Ya dipegangin lah, kalau naik doang kan bisa, tuh Nadhifa aja bisa," Diki membujuk Vina sambil menunjuk ke arah keponakannya yang mulai tak terlihat.
" Atau nanti naiknya bareng aku berdua. Aku pegangin deh. Gini-gini aku pernah ikut lomba. " Diki tersenyum jahil.
Semakin lama dekat dengan Vina, ia jadi suka dengan gadis itu. Menurutnya Vina sangat berbeda dengan 14 gadis lainnya yang pernah singgah dihatinya.
Vina bukan sosok gadis yang mudah tertarik dan suka pada dirinya padahal menurut Diki kurang tampan apa dia, kurang kaya bagaimana, kurang baik apa. Anehnya Vina seolah tidak peduli dengannya yang tergolong sempurna di mata para gadis. Vina itu cuek dan judesnya bikin gemas membuat Diki penasaran ingin tahu alasannya.
" Ayo!" Diki menarik lengan Vina.
" Ih, Aa naon sih pegang-pegang tangan saya segala, kita kan bukan muhrim," Vina melotot ke arah Diki lalu melepaskan tangan Diki. Menjauh satu langkah darinya. Kurang ajar pisan. Batinnya berteriak.
" Habisnya kamu lama banget sih Neng. Ayo kita ke sana. Lihat tuh Keluarga Dany seru banget kayaknya." Diki terus memaksa Vina.
" Ga ah, Sok aja A Diki yang naik saya mah lihatin aja." Keukeuh Vina. Gadis itu sedikit waspada dengan Diki yang dinilainya agresif. Tipe pria berbahaya menurutnya. Belum apa-apa udah nge gas. Dasar cowok jomblo.
" Ya udah kalau kamu ga mau." Diki menyerah lalu ia melangkah mendekati kandang kuda.
Vina merogoh ponselnya. Ia mulai mengambil beberapa gambar pemandangan di sana. Pemandangan alam yang indah dan menakjubkan.
" Neng Vina...." Diki melambaikan tangannya ke arah Vina. Vina hanya menatapnya dengan ekspresi sebal, namun sempat juga ia arahkan kamera ponsel yang sedang dipegangnya ke arah pemuda itu. Tanpa sengaja satu sentuhan jarinya tanpa sengaja tertekan tepat saat Diki tersenyum ke arah Vina berhasil memuat gambar pria yang sok kegantengan itu.
****
Vina sudah mulai akrab dengan Diki dan keluarganya. Menjelang makan siang Bu Ratih mengajak Vina ke dapur. Seperti biasa wanita itu paling suka melakukan aksi menguji kemampuan bakal calon menantunya.
" Neng kita masak dulu yuk." Ajak Bu Ratih.
" Iya Tante." Vina tersenyum ramah ke arah wanita itu. Lalu mengekor Bu Ratih menuju arah dapur, di sana sudah ada Heni yang sedang sibuk memotong sayuran.
" Saya bantuin ya Teh" Ujar Vina sambil mendekat ke arah Heni.
" Ga usah kita yang masak nya." Bu Ratih melarang Vina.
Tentu saja dalam acara masak kali ini Vina lah yang wajib menjadi kokinya.
" Itu bapak-bapak pada pesan kopi." Ana datang ke dapur menyampaikan keinginan para pria yang sedang asyik ngerumpi. Lalu Ana ikut bergabung membantu para wanita itu memasak.
" Heni yang bikinin ya Mi." Heni dengan sigap menyiapkan 4 buah cangkir. Mengambil gula dan kopi luwak serta menyeduhnya dengan air panas.
Tidak lama kemudian Heni pun pergi menuju teras depan tempat dimana keempat pria itu berada.
" Silahkan." Heni menaruh cangkir-cangkir di meja.
" Makasih Mama.., yang Papa spesial kan Ma." Dany tersenyum melirik ke arah sang istri.
" Iya, spesial gulanya setengah sendok. kopinya dua sendok, cintanya 150 cc " Jawab sang istri.
" Airnya kali yang 150cc." Seloroh Diki.
"He...he...rasanya pasti mantap." Dany terkekeh. Ia lalu meraih cangkirnya.
" Dany itu masih panas...." Pak Yusuf mengingatkan Dany.
" Cuma mau menghirup aromanya aja kok Pi." Jawabnya santai. Heni menahan tawanya.
" Awas ya Pa kalau Papa merokok." Heni berbisik kepada Dany dengan nada mengancam. Heni paling anti dengan asap rokok.
Sebenarnya Dany bukan perokok tapi kadang-kadang kalau lagi ngumpul sesekali ia menghisapnya.
" Baik Mama." Dany tersenyum lebar.
" Papa jangan bohong." Heni berbisik lagi.
" Kalian ngapain sih bisik-bisik?" Diki menatap kakaknya.
" Gak ada apa-apa kok" Jawab kakak iparnya.
" Udah mbak Heni sana masuk lagi ke dalam." Usir Diki.
Heni pun segera pergi meninggalkan mereka.
" Si Diki baper lihat abangnya." Pak Yusuf tersenyum ke arah Agus yang dari tadi cuma senyum.
" Makanya buruan punya istri." Seru Agus.
" Doain secepatnya ya Om, ini juga lagi usaha." Jawab Diki.
***
Pukul 2 siang Keluarga Pak Yusuf dan Agus meninggalkan villa. Rencananya mereka akan menuju pusat kota Bandung, tentu saja untuk berbelanja oleh-oleh.
Setelah hampir 2 jam berada di pusat perbelanjaan mereka pun bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan.
" Mami, Papi kami pulangnya besok subuh, mau ke rumah Bunda Azizah dulu." Heni mengemukakan niatnya yang sebetulnya sudah diketahui oleh mertuanya.
" Oh, Iya. Maaf kita ga bisa ikut. Besok kan kami harus ke Kalimantan. Salam aja buat Bunda kamu." Bu Ratih tampak menyesal tidak dapat menemui besannya.
" Iya Mi, ga apa-apa." Jawab Heni.
" Kalau begitu kami juga atuh pamit, terimakasih banyak atas traktiran nya dan nuhun pisan udah ngajakan kita jalan-jalan ka Villa." Tutur Ana.
" Sama-sama, kami juga mengucapkan terimakasih atas jamuannya. Kami tunggu kunjungan kalian ke Jakarta." Ucap Pak Yusuf.
" Iya, pokoknya kalian harus ke Jakarta." Bu Ratih sedikit memberi penekanan.
" Iya, InsyaAllah kalau udah ada waktu, kita teh bakal secepatnya ke sana." Janji Ana.
Lalu keluarga Ana, Keluarga Dany dan Pak Yusuf pun saling bersalaman. Sebelum mereka berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing.
***
" Neng sini dulu" Agus memanggil putrinya.
"Ada apa Yah?" Vina lalu duduk tepat di depan Ayahnya.
" Menurut kamu A Diki orangnya gimana?" Tiba-tiba saja pria berusia 56 tahun itu mengajukan pertanyaan tentang Diki.
" Maksud Ayah?" Vina mengerutkan keningnya tanda tak faham dengan arah pertanyaan ayahnya.
" Dia ganteng kan?" Sang ayah tersenyum menggoda.
" Kan dia laki-laki atuh Yah, Ya iyalah ganteng masa geulis." Jawab Vina.
" Kamu suka ga sama Diki?" Agus mengajukan pertanyaan yang membuat Vina kaget.
" Maksud Ayah?" Vina menatap ayahnya.
" Tertarik atawa jatuh cinta mungkin?" Tanyanya. Pertanyaan sang ayah jadi melantur.
" Iya, Neng. Ibu sama Ayah teh rencananya ingin menjodohkan neng sama dia." Tanpa sepengetahuan Vina dan Agus, Ana sudah berdiri di belakang Vina. Lalu mengambil posisi duduk di samping Vina.
" Apa!??" Vina kaget bukan kepalang.vIa menatap orang tuanya bergantian.
" Betul." Agus mengangguk.
" Kalian ini ada-ada saja. Ga lucu pisan." Vina mulai kesal.
" Diki itu lagi nyari calon istri dan orang tua nya minta supaya kamu mau jadi menantunya." Ana menyampaikan maksudnya.
" Aduh Bu, Neng teh belum siap menikah. Neng kan masih harus kuliah, ingin berkarir dulu. Teu kapikiran nikah secepat ini." Vina menatap ibunya.
" Neng, neng Vina teh ga usah khawatir atuh. Menikah bukan berarti putus pendidikan. Mereka bakalan menjamin soal kuliah Neng." Ana memberikan penjelasan.
" Betul Neng, kalau neng mau menikah dengan Diki kehidupan Neng dijamin seratus persen bahagia." Agus meyakinkan.
" Mereka teh orang kaya, kalau Neng mau menjadi menantu Om Yusuf dan Tante Ratih bukan hanya kehidupan finansial neng saja atuh yang terjamin teh. Kehidupan kita oge tentunya bakalan ikut sejahtera." Ana yang agak matre terus mengompori anaknya.
" Maafin Neng Bu, Neng ga mau. Ibu jangan matre begitu. Pikirin atuh perasaan neng. Neng teh ga cinta sama A Diki, kita kan baru saja kenal. Neng masih muda baru 18 tahun. Neng belum siap menikah." Vina tetap tidak mau melakukan perjodohan itu. Gadis itu belum siap jika harus menikah muda dan dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Rencana orang tuanya itu benar-benar konyol menurutnya.
" Kamu teh keras kepala pisan nya. Pokoknya mau tidak mau kamu harus menikah sama Diki, titik. Ibu tidak mau lagi kamu membantah. Yeuh dengarkan baik-baik, kita teh sudah diberi kehormatan oleh mereka jika mau menerima permintaan mereka. Derajat keluarga kita bakalan terangkat. Neng teh harus mengerti perasaan orang tua Neng, sudah saatnya Neng berbakti kepada orang tua. Cinta mah urusan belakangan. Lama-lama juga bakalan datang dengan sendirinya.
Ana bicara panjang lebar sambil memberikan tatapan penuh intimidasi kepada anak bungsunya. Vina tidak mampu lagi berkata-kata. Sang ibu tercinta mulai menunjukkan taringnya. Wanita itu tidak bisa lagi dibantah. Gadis yang baru berusia 18 tahun 4 bulan yang lalu itu lalu tertunduk. Dadanya bergemuruh, tak terasa ia menitikkan air matanya.
****
TBC