“Khiya, gimana keadaan Farel ?” Aliya mengatur nafasnya yang memburu berantakan. Aliya mendapat kabar dari Fauzan mengenai Farel dan Khiya dan langsung melesat ke rumah sakit. Gadis itu bahkan tidak peduli untuk mengatur penampilannya dulu. Ia memakai gamis dan jilbab seadanya.
Khiya tersenyum kecil. “Dia baik-baik aja.”
“Alhamdulillah kalo gitu. Dan Lo? Gue dengar Lo kejebak kebakaran di pasar malam? “
“Iya, aku baik-baik aja,” sahut Khiya.
“Tapi kenapa Lo kekuatan sedih gitu? Lo beberan gak kenapa-napa?” Aliya sejak tadi mengamati ekspresi datar Khiya dan nada suaranya yang terdengar tidak seperti biasanya.
Tidak ada jawaban. Khiya hanya menatap lurus ke depan.
“Khiya...,”panggil Aliya, menuntut respon Khiya.
“Khiya, Lo kenapa? “
“Khy....”
Khiya menoleh, menatap Aliya dengan tatapan sendu dan tiba-tiba langsung memeluk Aliya. Tidak ada kata apa-apa yang keluar dari mulut Khiya, hanya terdengar suara tangis dari mulut kecilnya.
Aliya bingung harus apa. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada Khiya. Aliya hanya bisa menenangkan Khiya untuk tidak lagi manangis.
Setelah tenang, Khiya melepas peluknya. Dengan mata sembab, dia menatap Aliya.
“Yak....”
“Khiya, Lo sebenarnya kenapa?”” tanya Aliya hati-hati.
Khiya menceritakan segalanya mengenai penyakit Farel dam semua pertanyaan dibenak Aliya terjawabkan.
“Jadi itu sebabnya Farel gak kenal Khiya dan Sania sebagai orang yang sama...” gumam Aliya. “Itu juga alasan kenapa Farel langsung melupakan gue dan dokter Fauzan.”
Khiya mengangguk pelan. “Dan hanya Sania yang sekarang wajahnya dia ingat.”
“Ha? “Aliya menoleh bingung. “Maksud Lo? “
“Hanya wajah Sania yang dia ingat, Yak. Bahkan saat aku datang sebagai Khiya, Farel tidak mengenali aku.”
“Tunggu...tunggu dulu....” Aliya mencoba mencerna perkataan Khiya. “Lo dan Sania, orang yang sama. Tapi kenapa Farel cuman ingat wajah Sania? Maksudnya gimana sih? Gue gak ngerti, serius!”
“Khiya, Lo kenapa sih? Lo, Sania satu orang yang sama. Kenapa jadi gini sih! “Aliya frustrasi. Ia menyesal telah menyarankan Khiya menjadi sosok Sania. Sekarang liat apa yang terjadi? Khiya malah tersakiti oleh kehadiran Sania? Sangat aneh!
“Yak... Farel mencintai Sania bukan Khiya. Cinta ada di mata Farel untuk Sania. Khiya tidak pernah ada dalam hidup Farel.”
“Khiya, Lo harus bilang ke Farel. Kalo Lo ya Sania,” kesal Aliya. “Kalo Lo gak mau ngomong, biar gue aja yang bilang semua ini ke Farel.” Aliya bangkit dari kursi.
“Terus apa? “ tanya Khiya lirih. “Apa yang akan kamu dapat, Yak? Apa dengan begitu Farel akan langsung mencintai Khiya? Kenyataan ini malah akan membuat Farel menjauh dari Khiya.”
“Tapi Khy, Lo...kan Sania. Kalo Farel bisa suka sama Sania, kenapa dia gak bisa suka sama Khiya?”
“Karena nasib cinta kami berbeda.”
“Kami? “ Aliya menggeleng pelan, mengkoreksi perkataan Khiya yang terdengar tidak masuk akal. “Gak ada kami, cuman satu orang. Sania, Khiya, satu, bukan dua.”
“Khiya, kalo Lo gak suka Sania, Lo berhenti jadi Sania! Lo sudahi semua ini! “ kata Aliya.
“Tapi Yak...”
“Ini cara terbaik, Khy. Lo gak sukakan sama Sania? Terus kenapa Lo mau jadi Sania terus? Udahlah.. Udah. Lo gak capek apa? Udah berhenti...” Aliya menyakinkan Khiya. “Sekarang Lo harus fokus buat dapatin cinta Farel. Lo harus fokus dan berhenti jadi Sania! “
Khiya tertegun. Sisi lemah hatinya menyetujui saran Aliya, sahabatnya. Khiya tidak boleh terus bersembunyi di belakang, Khiya harus berjuang untuk mendapatkan cinta suaminya.
Selamat tinggal Sania.
**
“Dok, saya sudah bisa melihat dan mengingat wajah seseorang. Tapi hanya satu orang sedangkan yang lain, saya masih belum mengingat dan melihat apa pun.”
“Hem, sebenarnya ini membingungkan Farel. Tidak biasanya seperti ini, terutama kamu mengalami penyakit ini karena trauma di kepala kamu. Tapi mungkin saja hal ini bisa terjadi, karena terlalu cemas, otak kamu merangsang untuk mengingat wajah orang tersebut. Itu artinya dia punya posisi dekat hati mu yang membuat semua ini bisa terjadi. Siapa dia? Apakah istri mu? “
“Ada apa, Hubby? “ tanya Khiya, bingung, melihat Farel nampak gelisah seperti menunggu sesuatu. “Apa ada barang atau sesuatu yang ketinggalan?”
“Apa ada orang yang datang ke sini? “
“Ha? Orang? Aliya ?”
“Bukan. Gadis yang pakai sweter merah.”
Deg!
‘Sania?’ lirih pelan hati Khiya.
“Kamu liat dia gak? “
Kenapa Farel sangat ingin melihat Sania? Tidakkah Farel bahagia hanya bersama Khiya? Seburuk itukah Khiya?
Khiya tersadar dari lamunanya. “Memang dia siapa? “Khiya tersenyum kecil, menyembunyikan rasa nyeri di hatinya.
Farel nampak kebingungan menjawab pertanyaan sederhana Khiya. Dan akhirnya dia hanya bilang, hem...
“Kata dokter Fauzan, keadaan hubby sudah membaik dan diperbolehkan buat pulang.”
“Pulang?” gumam Farel seolah ingin protes mendengar kata itu.
Khiya masih belum sadar, gadis itu dengan semangat mengangguk, karena baginya itu kabar bahagia. Ekspresi sedih yang Farel sampaikan luput dari penglihatan Khiya.
“Kenapa harus pulang sekarang ?”
Senyum Khiya tertahan. Khiya mencoba mencerna kalimat tanya itu. Kenapa?
“Hubby gak mau pulang ke rumah? Ada yabg bilang bahwa tempat ternyama di dunia, adalah rumah. Dan...”
“Oh iya, aku mau pulang,“ ralat Farel, cepat. Baru menyadari pertanyaan itu sangat tidak wajar. Seharusnya orang selalu bahagia pulang ke rumah, bukannya bertanya kenapa harus pulang? Farel tidak tahu ada apa dengan hatinya. Setelah mengatakan bahwa hanya Sania satu-satunya yang wajahnya ia lihat dan ingat, Sania langsung pergi dan tidak datang lagi.
Farel menantap banar pintu menunggu ke datangan mahasiswinya itu. Entah sejak kapan, kenapa dan bagaimana, Sania bisa sedekat ini dengan hatinya, bahkan melebihi posisi Khiya. Posisi yang seharusnya di berikan pada Khiya.
Farel merasa bersalah.
Hatinya gelisah dengan semua rasa ini.
“Hubby....” kemari lembut Khiya, menyadarkan Farel dari pergulatan batinnya. Farel mengangkat kepalanya, bahkan Farel belum bisa melihat dan mengingat wajah Khiya, istrinya.
“Hubby, apa hubby butuh sesuatu?”
“Hem...” Farel bergumam pelan.
“Aku akan ambilkan.” Khiya berbalik. Sendiri tadi, gadis itu terus memperhatikan raut wajah Farel, dan hal itu membuatnya merana, menahan sesak di da*danya. Jelas Khiya tahu apa yang membuat Farel merasa sedih seperti ini.
“Tunggu...” Farel reflek memahan lengan Khiya yang hendak menjauh. “Kamu mau pergi ke mana? Aku tidak minta di ambilkan apa pun.”
Ya Allah....
Hati Khiya bersuara lirih, sudah sulit baginya menahan air mata yang sudah tidak terbendung lagi. Khiya tidak mau, lagi dan lagi terlihat lemah di hadapan Farel.
“Khiya...” panggil Farel karena Khiya tidak kunjung membalik tubuhnya.
Dengan gerak kaku, Khiya pelan membalik tubuhnya. Khiya menunduk dalam menyembunyikan air matanya.
“Kamu duduk di sini saja, temani aku.”
Kenapa? Apa karena Sania tidak ada di sini?
Khiya tersenyum miris. Ia buru-buru menyekat air matanya yang begitu lancang keluar.
“Kenapa kamu diam saja? “
Khiya kaget mendapati Farel menatapnya. Kalo dulu, Khiya akan merasa malu saat Farel menatapnya, tapi sekarang, setelah tahu fakta yang terjadi.
‘Kamu harap apa Farel? Kamu harap aku akan berbicara sepanjang hari seperti Sania? Apa kamu begitu merindukan Sania? Kenapa ? Kalian baru berpisah dua jam yang lalu... Apa begitu sulit melewati jam tanpa ada Sania?
Khiya menyakiti dirinya sendiri dengan semua pertanyaan yang menyayat itu. Khiya ingin berhenti dari semua pikiran itu, tapi setiap kali ia melihat Farel, maka setiap kali itu pula Khiya melihat dan merasakan cinta untuk Sania.
“Apa kamu sudah minum obat mu? Jangan karena terlalu sibuk mengurus aku, kamu jadi melupakan kondisi tubuh kamu, Khiya.”
Khiya tersenyum kecil, lebih baik Farel menjadi alarm obatnya ketimbang terus mengingat Sania. Setidaknya itu lebih baik sekarang bagi Khiya.
“Aku udah minum obat, hubby.”
“Bagus kalo gitu. Apa kamu juga sudah makan?”
Khiya menggeleng pelan. “Nanti saja.”
“Tidak baik menunda makan, lebih baik kamu makan sekarang.”
“Tapi bukannya hubby ingin aku temani? Atau sebenarnya ada yang hubby tunggu? “
Farel menoleh kaget.
Khiya mengubah nada suaranya agar tidak terdengar dingin. Dia harus berpura-pura tidak tahu apa pun, kan?
“Gadis berswiter merah itu...” Khiya sengaja mengandung kalimatnya untuk meihat ekspresi wajah Farel yang seketika nampak sedih. “Hubby, tidak masalah kalo aku keluar sebentar?” tambah Khiya lagi, sengaja mengalihkan topik yang ada.
“Tidak masalah. Aku juga ingin istirahat sebelum pulang.”
“Hem...” Khiya bangkit dari kursi di sebelah ranjang Farel. “Hubby...dia tidak akan kembali lagi,” kata Khiya sebelum pergi.
**