“Farel mencari Sania.” Khiya menatap nanar mangkuk bubur ayam miliknya. Tidak ada nafsu makan yang meliputinya sekarang, dia hanya terus mengaduk tanpa berniat menyuapkannya ke dalam mulut.
Aliya jadi geram sendiri melihat kelakuan sahabatnya itu, ingin rasanya Aliya mengambil alih sendok itu dan menyuapkannya pada Khiya.
“Farel hari ini pulang, kan? “
Khiya mengangguk pelan.
Aliya dan Khiya tengah makan di kantin rumah sakit. Aliya memang sengaja tidak pulang, ia melihat Khiya dalam keadaan tidak baik-baik saja, dan Aliya tidak tega jika pulang cepat.
“Aku sudah mengatakan pada Farel kalo dia tidak akan kembali lagi.”
“Siapa? Sania? Lo bilang gitu? “
Khiya menghentikan pergerakan tangannya, mengalihkan tatapannya sepenuhnya pada Aliya yang nampak terkejut dengan pengakuan Khiya. “Iya.”
Mata Aliya terbelalak. “Tapi, Lo kan ceritanya gak kenal Sania.”
“Cerita itu sudah diubah, Yak. Sekarang aku yang akan menulis cerita itu.”
“Maksud Lo? Gue gak ngerti, Khy. Kenapa Lo bilang gitu sih, gimana kalo Farel curiga sama Lo.”
“Farel....” Khiya tersenyum miris. “ Dia sedih mengetahui Sania tidak akan datang lagi, Yak. Dia sedih...”
Aliya menghela nafas panjang. “Khiya...kenapa Lo gak bilang aja sih? Lo bisa dapatin cinta Farel. Dan kalian hidup bahagia.”
“Gak gitu, Yak.” Khiya menggeleng pelan. “Dia bisa mengingat wajah Sania tapi dia gak bisa ingat wajah Khiya. Gak bisa ya? Gimana bisa aku jujur dan bilang kalo aku Sania? Kita udah bahas hal ini Yak, masalah ini gak semudah yang kamu pikir. Gak semudah dongeng cinderella.”
Aliya memilih diam. Khiya benar, dia tidak tahu apa-apa. Semua tidak semudah itu jika mengenai hati.
“Yak, aku gak maksud bilang kamu bukan siapa-siapa. Aku tahu, kamu punya niat baik. Tapi emang masalah ini gak semudah yang kamu bayangin. Maaf kalo kata-kata aku tadi terlalu kasar.”
Aliya mengangguk mengerti.
Khiya lega, Aliya memang sahabatnya yang mengerti apa yang kini tengah Khiya rasakan.
“Khy, sini biar gue suapi Lo. Gue greget banget liat Lo ngaduk-ngaduk bubur gitu.” Aliya tiba-tiba meraih sendok dari tangan Khiya.
“Ayo buka mulut Lo...” Aliya sudah menyendok bubur dan menyodorkannya di depan mulut Khiya. “Buruan...,” desaknya.
Khiya tidak bisa menolak. Ia terpaksa membuka mulutnya.
“Nah gitu dong, anak pintar harus banyak makan,” kata Aliya layaknya seorang Ibu yang bangga karena berhasil membujuk anaknya.
Khiya spontan terkekeh. Begitu pun sosok yang sejak tadi memperhatikan mereka. Dia berjalan menghampiri keduanya.
“Boleh gabung? “ tanyanya.
Khiya dan Aliya langsung melihat ke sumber suara.
“Eh, dokter Fauzan, lagi istirahat dok? “tanya Khiya ramah.
“Iya, istirahat mumpung gak ada pasien. Jadi boleh gabung duduk di sini? Makan sendirian tidak terlalu menyenangkan.” Fauzan melihat ke arah Aliya sekilas. Aliya nampak salah tingkah terlebia karena dia sedang menyuapi Khiya. Aliya tidak peduli jika orang lain yang melihat itu, tapi untuk Fauzan, itu terkecuali.
Aliya refleks menurunkan sendok yang ia angkat tinggi.
“Boleh, Dok. Duduk aja,” sahut Khiya.
“Boleh kan Yak?” tanya Khiya tiba-tiba membuat Aliya gelagapan, makin salah tingkah.
Khiya...
Khiya terkekeh, tatapan mata Aliya menunjukkan kata tanpa suara dan kata itu hanya Khiya yang bisa mendengarnya.
“I-iya, boleh, Dok. Duduk aja,” kata Aliya setelah melempar tatapan kesal pada Khiya.
“Apa kamu sakit, Khiya? “tanya Fauzan.
“Eh, enggak dok.” Khiya menggeleng pelan. “Alhamdulillah, Dok.. penyakit lupusnya lagi pada tenang.”
“Oh, syukurlah kalo gitu. Saya pikir kamu sakit, soalnya tadi saya liat Aliya, nyupain kamu.”
“Iya itu dong, saya agak kurang nafsu makan, makanya Aliya nyuapin. Dia emang udah cocok banget dok, jadi ibu apalagi jadi istri. Udah siap lahir batin.”
Mata Aliya membulat sempurna. Khiya menikmati ekspresi kaget Aliya.
“Iyakan, Yak? “Khiya melempar pertanyaan tiba-tiba. Sekarang Aliya menjadi pusat perhatian keduanya. Fauzan juga menanti jawaban Aliya.
Aliya seolah kehilangan kata-kata di kepalanya. Khiya benar-benar menyebalkan.....
“Oh iya, Dok, apa boleh pekan ini saya bolong untuk pemeriksaan. Soalnya saya gak tega ninggalin Farel di rumah sendiri, apa lagi dia masih sakit,” kata Khiya mengalihkan topik pembicaraan. Khiya menyelematkan Aliya. Aliya diam-diam menghela nafas lega, tapi masih sebel dengan Khiya hingga dia masih melempar tatapan sinis.
Fauzan menimbang sejenak, sebelum mengiyakan permintaan Khiya. “Tapi kamu jangan terlalu kelelahan dan tetap jaga kondisi kamu. Setelah Farel sehat, kamu harus cek up kondisi kamu ya...”
“Insyallah, Dok. Makasih ya Dok.” Khiya tersenyum, lega.
Makanan pesanan Fauzan datang, Fauzan izin untuk menikmati makan siangnya, sedangkan Aliya kembali menyuapi Khiya yang sebenarnya masih murung.
“Nah gitu dong kalo makan dihabisi. Kalo perut kenyang, imun tubuh jadi kuat, jadi gak mudah sakit,” spontan Aliya. Ia melupakan keberadaan Farel sangking senangnya melihat Khiya menghabiskan buburnya meski dengan sedikit paksaan.
Fauzan melirik meja di hadapan Aliya. Terlihat hanya segelas jus al-pokat di sana.
“Dan kamu?” sela Fauzan.
“Ha?” Aliya refleks mengalihkan perhatiannya pada Fauzan.
“Kamu gak makan...padahal ini jam makan siang. Kamu ada di sini sejak tadi pagi, mustahil kamu sudah makan siang di tempat lain.”
Khiya menahan tawanya, Aliya kena batunya. Dia memaksa Khiya makan tapi dia sendiri tidak mau makan, alasannya dia ingin diet dan hnaya minum segelas al-pokat.
“Dia lagi diet, Dok. Cowok jaman sekarang suka cewek kurus,” sahut Khiya, cepat.
“Saya gak suka,” sahut Fauzan. “Yang terpenting bukan kurus atau gendut, yang terpenting nyaman. Itu sudah cukup bagi saya.”
“Emang dokter mau nikah sama gentong? Gak ada sempurna-sempurnya dikit ...” sahut Aliya, sedikit ngegas. Aliya sebenarnya keki karena Khiya terus-terusan menggodanya yang sedang cosplay jadi cewek pendiem.
Dan rencana Khiya berhasil. Nyablak Aliya keluar dengan sendirinya.
“Menikah tidak boleh menuntut satu sama lain untuk menjadi sempurna tapi menikah seharusnya membuat kita saling membantu dalam mengatasi ketidak sempurna.”
Aliya terdiam.
“Saya bahagia apa pun yang Allah takdirkan untuk saya. Dan saya akan semakin bahagia, seadanya takdir saya itu kamu.”
Wajah Aliya menghangat. Khiya bisa melihat rona merah di wajah Aliya. Jantung Aliya pasti berdegup sangat kencang, sama seperti yang pernah Khiya rasakan saat melihat Farel.
“Ini makan sandwitch saya.” Fauzan menggeser sandwitch ke hadapan Aliya.
“Tuh dok marahin aja, Aliya. Dia gak nurut banget dibilangin . Badan Udah kurus gitu, masih aja mau diet. Kurang gizi baru tahu rasa...” adu Khiya.
“Kalo dia gak akan, kamu kasih tahu saya ya...”
“Ha! Buat apa? “Aliya menyahut, kaget.
“Saya bakal datang ke rumah kamu dan bahwa banyak obat, antispiasi kalo tiba-tiba kamu tumbang,” sahut Fauzan, santai. Berbanding terbalik dengan Aliya yang sudah seperti kucing kejepit.
Khiya tertawa pelan. Sedangkan Aliya, wajah gadis itu makin menghangat, malu.
“Saya makan nih..” kata Aliya, akhirnya mengalah.
“Nak gitu dong...,” kata Khiya. “Calon istri dokter harus sehat, kan...”
“Iya, kan dok?”
Fauzan kini menjadi korban Khiya. Fauzan nampak gelagapan menjawab pertanyaan mendadak yang Khiya ajukan, berbeda dengan Aliya, Fauzan cukup handal menetralisir detak jantungnya dan bersikap setenang mungkin.
“Kapan mau nyebar undangan, dok? “ kata Khiya lagi.
“Saya tergantung teman kamu. Kapan dia mau terima saya.”
Hufk....
Aliya terbatuk, kaget.
Fauzan langsung memberikan air mineral pada Aliya.
“Tuh, Yak... Kapan kamu mau terima dokter Fauzan? “Khiya masih melancarkan aksinya sebagai mak comblang dadakan.
Aliya masih terbatuk, Fauzan sedikit panik.
“Butuh air mineral lagi? “ tanya Fauzan, karena sebotol air mineral yang ia berikan sudah habis.
Aliya mengangguk cepat. Kesempatan ini akan dia gunakan dengan baik. Fauzan bangkit dan membeli air mineral.
“Khiya, Lo apa-apan sih?” Aliya melotot. “Mau gue pecat jadi sahabat?! “kekinya.
“Lagian, Yak, gak baik gantungin anak orang. Dia itu manusia, bukan jemuran.”
“Idih siapa yang gantungin.”
“Kamu lah, siapa lagi? Gak mungkin mak ijah.”
“Gue gak gantungin dia.”
“Kamu gantungin. Kamu harus jelas, Yak... Kalo suka, terima, kalo gak suka tolak.”
“Apaan sih, Khy. Gue udah pusing sama skripsi, gue gak mau tambah pusing lagi.”
“Jangan di pikirin, Yak, tapi di jalani. Jangan takut sebelum perang. Nikah gak akan buat kamu pusing kok...”
“Gimana kalo ternyata pernikahan gue kayak Lo? Gue gak sekuat Lo, Khya.”
***