Bab 2

1027 Words
"Baiklah. Aku akan tidur di sofa." Mas Bima mengurungkan niat keluar dari kamar ini. Suamiku mengambil salah satu bantal kemudian berjalan menuju sofa. Meski hatiku kecewa, tetapi aku sedikit lega karena dia masih mau mengindahkan permintaanku. Aku merebahkan diri di sisi Vano, menatap wajah putraku yang bak pinang dibelah dua dengan ayahnya. "Kamu membenciku, Mas?" Satu pertanyaan lolos begitu saja. "Tidurlah, Namisya. Ini sudah malam." "Boleh aku tahu apa alasanmu menikah lagi? Apa kamu ingin membalas perbuatanku dulu?" Mulutku tidak berhenti bertanya. "Aku tidak serendah itu dengan mempermainkan pernikahan hanya untuk membalas dendam." "L-lalu? Kenapa kamu menikahi Salwa?" Terdengar helaan napas gusar dari mulut Mas Bima. "Aku menikahi dia karena aku mencintainya. Salwa wanita yang baik. Dia pandai menjaga diri dan penampilan. Dan yang terpenting, dia menjaga marwahnya sebagai seorang istri. Sudah puas? Aku mau tidur karena besok harus bangun pagi-pagi sekali." Ya. Aku puas mendengar jawabanmu, Mas. Aku puas meski hatiku sangat sakit mendengar kenyataan yang sebenarnya. Awalnya aku mengira, kamu menikahi Salwa karena ingin membalas dendam padaku. Aku kira, kamu tidak akan pernah berpaling pada wanita lain karena dulu kamu sering berkata, aku-lah satu-satunya wanita yang bisa membuatmu jatuh cinta. Namun ternyata aku terlalu percaya diri. Hatimu kini telah menjadi milik wanita lain. Wanita yang telah berhasil menggeser posisi diriku yang dulu menjadi satu-satunya Nyonya Brawijaya. Andai kamu tahu. Aku tidak pernah berhenti menyesali diri karena telah mengkhianati pernikahan kita. Andai aku tidak pernah berpaling pada pria lain, mungkin saat ini kita tengah berbahagia tanpa kehadiran orang ketiga. Aku menyesal, Mas. Sungguh-sungguh menyesali semuanya. ??? Rasa haus di tenggorokan memaksaku untuk bangun. Kulirik Vano yang masih terlelap, kemudian ke arah Mas Bima yang ternyata sudah tidak ada di tempatnya. Tidak perlu dipertanyakan lagi ke mana perginya suamiku itu. Dia pasti berpindah ke kamar istri mudanya karena tidak tahan berada satu ruangan denganku. Perlahan, kaki ini menapaki lantai dan bergeser untuk menjangkau kursi roda. Aku harus ke dapur mengambil air minum karena tadi aku lupa tidak membawanya. Ya, gara-gara melihat kemesraan Mas Bima dan salwa, aku sampai lupa pada kebiasaanku membawa air minum ke kamar. Entah sampai kapan aku bisa kuat dan bertahan tinggal satu atap dengan maduku Jika setiap hari disuguhi pemandangan yang membuatku cemburu. Dengan susah payah, aku bisa keluar dari kamar dan menggerakkan kursi roda menuju dapur. Sayup kudengar suara dua orang yang tengah berbincang dengan diselingi tawa. Aku yang penasaran, menggerakkan kursi rodaku dengan sedikit cepat karena takut ada orang jahat dan semacamnya yang menyelinap ke rumah ini. Namun, seketika aku menyesali diri yang harus keluar kamar hingga menyaksikan kembali adegan mesra sepasang suami istri yang tengah dimabuk cinta. Mas Bima memeluk tubuh Salwa dari belakang dan mereka saling melempar candaan. "Mas, jangan ganggu terus, dong." Terdengar suara Salwa yang merengek manja. "Mas kan cuma meluk. Gak ganggu kamu." "Tapi kamu meluknya kekencangan. Aku susah gerak." "Habisnya kamu wangi banget.Nanti Mas tidur di kamar kita saja ya." "Jangan begitu, Mas. Kasihan Mbak Nami. Dia juga kan istri Mas yang harus Mas perhatikan, apalagi baru sembuh. Tidak adil kalau Mas terus bersamaku sedangkan ada istri Mas yang lain yang juga membutuhkan Mas." Ah ... Aku tidak ingin lagi mendengar perbincangan mereka yang membuat da daku bertambah sesak. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan menahan rasa hausku sampai pagi. Kuputar kursi rodaku dengan susah payah. Jangan sampai mengeluarkan suara yang bisa mengundang perhatian mereka. Biarlah malam ini sepasang suami istri itu berbahagia di atas lukaku. Karena aku pastikan, setelah aku sembuh nanti, aku tidak akan pernah membiarkan Mas Bima terus bersikap tidak adil seperti ini. Akan kurebut lagi hatinya hingga berpaling padaku seperti dulu. Mas Bima akan tergila-gila pada pesona Namisya yang selalu membuatnya mabuk kepayang. Dug! "Aww!" Si alnya, kursi rodaku malah menabrak lemari yang terletak di dekat pintu dapur. Sudah bisa kupastikan, dua sejoli itu bisa mendengarnya dan pasti akan mengetahui kehadiranku. "Mbak Nami? Ya Allah, Mbak gak kenapa-napa?" Suara Salwa sarat akan kekhawatiran. Ia mendekat ke arahku dan memeriksa tubuhku dari atas sampai bawah. Aku dibuat terpaku oleh penampilannya malam ini. Gaun tidur berbahan satin yang ia kenakan membuatnya nampak sek si. Rambut panjang yang tadi siang ditutupi kerudung lebar itu kini terlihat menjuntai indah, pun dengan kulitnya yang putih mulus bak pualam, menambah kesempurnaan dan kecantikan maduku ini. Pantas saja Mas Bima mudah sekali berpaling padanya. Salwa yang tadi siang berubah seratus delapan puluh derajat dengan yang kulihat malam ini. Aku akui, sebagai sesama wanita aku pun memuji kecantikannya yang hampir mendekati sempurna. Apakah aku iri? Oh tentu saja tidak! Aku pun tidak kalah cantik darinya. Aku jauh lebih seksi jika sudah berpenampilan seperti Salwa. "Mbak." "Eh ... iya. Aku tidak apa-apa, kok. Tadi hanya ingin mengambil air minum tapi gak jadi karena takut mengganggu kalian. Aku ke kamar lagi, ya." "Tunggu, Mbak!" Tangan Salwa menahan kursi rodaku. "Mbak mau minum? Biar aku yang ambilkan ya. Mbak ke kamar saja dulu. Ayok, Mas. Bantu Mbak Nami ke kamarnya." Pria bergelar suami kami itu dengan setengah malas menghampiri. Aku memalingkan wajah karena kesal dia memilih keluar kamar dan berduaan dengan istri mudanya, ketimbang menemaniku dan putranya. "Tidak usah! Kalian lanjutkan saja yang tadi. Aku bisa ke kamar sendiri." Aku menolak ketika tangan Mas Bima hampir saja menyentuh kursi rodaku. "Maaf, Mbak. Tadi Mas Bima ingin makan mie, jadi dia membangunkan aku. Tidak mungkin memintanya pada Mbak karena kondisi Mbak Nami belum pulih." Salwa beralibi, tetapi aku tetap tidak percaya. Bilang saja kalian ingin bermesraan, apa susahnya sih! "Ayok, Nami. Aku antar kamu ke kamar." Akhirnya, pria itu membuka suara. "Tidak perlu!" Aku menepis tangan Mas Bima. Kembali kugerakkan kursi rodaku, tetapi lagi-lagi ditahan olehnya. "Jangan keras kepala, Namisya." Tangan kokoh itu tiba-tiba mengangkat tubuhku hingga tanganku refleks mengalung di lehernya. Dalam jarak sedekat ini, bisa kuhidu aroma tubuhnya yang dulu selalu membuatku candu. Aku tidak ingin menyiakan kesempatan. Kusandarkan kepalaku di bahunya yang lebar. Mas Bima menoleh. Kuberikan senyum terbaik padanya yang raut wajahnya tidak berubah. Tetap datar seperti tadi siang. "Jangan berharap lebih. Kalau bukan karena permintaan Salwa, aku tidak mau susah payah menggendongmu seperti ini," ujarnya dingin. Senyumku memudar. Asa yang sempat melambung kini kembali terhempas ke dasar jurang yang paling dalam setelah mendengar perkataan Mas Bima. ????
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD