Tak terasa sudah satu bulan aku kembali ke rumah milik suamiku dan selama itu pula, hampir setiap hari aku harus menahan cemburu melihat kemesraan Mas Bima dengan istri mudanya. Sikap pria itu padaku masih sama. Dingin. Seolah aku ini hanya orang lain yang tidak mempunyai ikatan apa pun dengannya.
Sesekali Mas Bima memang tidur di kamarku dan itu atas permintaan Salwa. Suamiku memilih tidur di sofa, membiarkan aku sendirian di atas ranjang, merasakan kedinginan meski tubuhku telah dibungkus oleh selimut tebal.
Setelah menjalani beberapa kali terapi, kondisiku perlahan makin membaik. Kaki ini sudah bisa berjalan kembali meski masih harus berhati-hati. Vano. Putraku adalah alasan mengapa aku bersemangat untuk segera sembuh. Ia ingin aku mengajaknya jalan-jalan seperti dulu, setiap anak itu sedang merasa jenuh di rumah.
Ya, jika bukan aku, siapa lagi yang akan mengajaknya jalan-jalan dan menikmati dunia luar? Dari dulu, Mas Bima selalu saja disibukkan oleh pekerjaan hingga tidak ada waktu untuk kami. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa aku nekat mencari kesenangan di luar sana hingga akhirnya ... ah sudahlah! Jika mengingatnya, rasa bersalah selalu saja muncul. Aku memang bukan istri yang baik untuk Mas Bima. Mungkin memang pria sebaik dia lebih pantas jika disandingkan dengan wanita seperti Salwa yang penurut dan lemah lembut.
Namun, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berubah supaya Mas Bima kembali mencintaiku. Aku akan berusaha untuk menjadi istri yang baik meski kini ada Salwa di antara kami. Mas Bima harus bisa bersikap adil karena walau bagaimanapun, statusku masih istrinya.
Ya, malam ini aku harus berbicara padanya. Aku tidak bisa membiarkan ketidakadilan ini terus terjadi padaku. Aku juga mempunyai hak yang sama dengan Salwa. Tidak hanya mendapatkan nafkah lahir, tetapi juga nafkah batin yang selama satu bulan ini tidak pernah Mas Bima berikan untukku.
Aku memutuskan mendatangi Mas Bima yang sedang berada di ruang kerja. Kebiasaan pria itu jika pulang lebih awal, pasti membawa pekerjaannya untuk diselesaikan di rumah. Semoga saja tidak ada Salwa di sana. Karena biasanya, maduku itu selalu saja menempel bak lintah kepada suaminya ... oh ralat. Suami kami!
"Yang sebelah sini, Sayang. Jangan di situ."
Langkahku terhenti ketika mendengar suara Mas Bima. Tidak salah lagi. Salwa pasti berada di dalam bersama suamiku. Sempat ragu, tetapi aku tidak boleh kalah. Toh, aku juga mempunyai hak yang sama dengan maduku itu.
Kubuka pintu dengan kasar tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dua sejoli itu nampak terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Mas Bima sedang berbaring di atas sofa berbantalkan paha Salwa. Maduku itu meminta Mas Bima untuk bangun dan sang pria menurut meski terlihat sangat enggan.
"Ada apa, Namisya? Kenapa tidak ketuk pintu dulu?" Nada bicara Mas Bima terdengar malas.
"Kita harus bicara, Mas."
"Bicara apa lagi?"
"Tentang kita. Aku ini juga istrimu. Aku ingin kita membuat jadwal pembagian waktu. Bukankah dalam poligami kamu harus bisa bersikap adil? Tapi selama ini kamu lebih condong pada istri mudamu itu!"
Pria yang malam ini memakai piyama tidur berwarna navy itu menaikkan sebelah alis. Ia terkekeh sinis sebelum akhirnya berkata.
"Bukankah aku sudah pernah menegaskan padamu bahwa aku tidak bisa bersikap seperti dulu? Kenapa kamu sangat tidak tahu diri, Namisya. Aku tidak menceraikanmu saja itu sudah untung. Sekarang malah sok ingin aku berlaku adil?"
"Mas, jangan berbicara seperti itu!" Salwa menegur Mas Bima.
"Sudahlah, Salwa. Ini urusan Mas dengan Namisya. Bisakah kamu keluar dulu? Tunggu Mas di kamar kita." Mas Bima menggenggam jemari istri mudanya dan mengecupnya lembut. Seakan sengaja ingin menegaskan bahwa saat ini hanya Salwa-lah yang berhak mendapatkan perlakuan se-manis itu.
Akan tetapi, aku tidak akan lemah. Aku mengangkat dagu seolah tidak terpengaruh oleh sikap sok mesra yang ia perlihatkan padaku.
"Baiklah, tapi Mas jangan kasar pada Mbak Nami. Ingat, Mas. Aku tidak suka pria yang kasar pada perempuan apalagi istrinya sendiri."
"Iya, Sayang. Kamu tidak perlu khawatir."
Salwa beranjak dari duduknya dan menghampiriku. "Aku keluar dulu, Mbak. Semoga pembicaraan kalian menemukan titik terang. Aku yakin Mas Bima masih mencintai Mbak Nami," ucapnya sebelum benar-benar keluar dari ruangan ini.
Aku tak menggubris ucapannya. Wajahku tetap fokus menghadap Mas Bima yang masih duduk dengan angkuh di atas sofa.
"Jadi, kamu ingin pembagian waktu yang adil?" tanya Mas Bima sembari melipat kedua tangan di depan d**a.
"Ya. Aku juga istrimu. Aku berhak diperlakukan sama dengan Salwa."
"Setahuku adil itu tidak harus sama."
"Tapi perlakuanmu lebih condong sama Salwa. Padanya kamu bersikap manis, sedangkan padaku kamu justru bersikap dingin. Kamu ... kamu bahkan enggan menyentuhku."
Mas Bima bangkit dan menghampiriku. Ia meneliti penampilanku yang memakai gaun tidur seperti yang digunakan Salwa malam itu.
"Kamu sengaja berpenampilan seperti ini untuk memancingku?"
"T-tidak. Bukankah Mas tahu kalau dari dulu aku sering memakai pakaian seperti ini?" Aku tergagap dan salah tingkah.
"Ya. Aku tahu." Mas Bima mengikis jarak di antara kami. Wajahku dan wajahnya begitu dekat hingga hidung kami hampir bersentuhan. Mata ini refleks terpejam ketika hangat napas Mas Bima menerpa wajahku. Aku menunggu moment di mana ia akan memberi kecupan di tempat favoritnya yang dulu hampir setiap hari ia berikan padaku.
"Baiklah. Aku akan bersikap adil pada kalian, tapi ...."
Mas Bima menggantung ucapannya.
"Hanya adil soal pembagian waktu. Jangan harap aku akan menyentuhmu, Namisya. Aku tidak sudi harus men ja mah tubuh yang sudah dinikmati pria lain."
Tanganku terkepal mendengar ucapan Mas Bima. Mata yang tadi terpejam kini kembali terbuka. Ternyata ... aku memang sudah berharap lebih padanya. Bukan kecupan mesra yang aku dapat, melainkan kata-kata penuh hinaan yang mencabik harga diriku sebagai seorang perempuan.
"Aku tidak serendah itu, Mas. Aku memang pernah khilaf dengan berselingkuh, tapi aku tidak pernah sampai melakukan hal sejauh itu."
"Oh ya? Haruskah aku mempercayai kata-katamu?" Ia tertawa mengejek.
"Tidak. Kamu tidak harus percaya." Kuhapus air mata yang mulai menerobos keluar.
Ah, ayolah, Namisya! Jangan menangis di hadapan dia yang bahkan tega menghinamu.
"Lupakan saja permintaanku tadi. Aku lupa jika kamu mempertahankanku hanya demi Vano, bukan karena cinta. Maaf karena aku sudah lancang dan tidak tahu diri. Tidak apa kamu membenciku jika memang hal itu bisa menebus dosaku padamu." Lagi, kuhapus air mata ini dengan sedikit kasar. "Aku permisi." Kutinggalkan Mas Bima yang masih bergeming.
Ternyata aku kalah. Aku tidak akan bisa meluluhkan hati suamiku, apalagi untuk memilikinya kembali.
????